*ONE DAY ONE POLITIC*

*Selasa, 30 Rabiul Awal 1439 H/ 19 Desember 2017*

“POLITIK MACHIAVELLI; BAIK ATAU BURUK?”

Salah satu tokoh politik tergolong kontroversial adalah Niccolo Machiavelli. Pasalnya, pemikiran tentang politiknya banyak yang menanggapi dengan sikap pro maupun kontra. Di pihak kontra, pemikirannya sering dijastis sebagai politik berwatak setan. Misal saja nama Machiavellian sering dikonotasikan kepada gambaran suatu negara, politisi dan kawan yang hanya mementingkan diri sendiri, licik, munafik, tidak jujur, pembohong, pengecut dan immoral, bahkan amoral.

Atau dalam bahasa yang mashur dipahami sebagai “menghalalkan segala cara guna terrealisasikan kepentingannya.” Bahkan, ada pula yang mengatakan buku karya Machiavelli merupakan buku pedoman wajib bagi para diktator. Maka, tak heran jika Bertran Russel dalam bukunya The History of Western Philosopy mengatakan, “filsafat politik Machiavelli lebit tepatnya merupakan filsafat politik para gangster.”

Sebut saja pemikiran yang ia rekam sendiri dalam karyanya, Il Princepe (The Prince, Inggris). Ia mengatakan, “seharusnya rakyat diperlakukan dengan murah hati atau dihancurkan sama sekali. Sebab, mereka bisa melakukan tindakan balas dendam hanya karena penderitaan kecil saja. Tindakan penghancuran berupa penderitaan berat justru akan menghapuskan keinginan mereka untuk balas dendam.”

Di tulisan yang lain ia juga menulis, “yang terbaik bagi seorang pemimpin ialah bila ia bisa menciptakan rasa cinta sekaligus rasa takut. Tapi, karena sulitnya mempertahan keduanya pada saat yang sama, akan lebih aman bila ia ditakuti jika harus memilih salah satu di antara keduanya”.

Masih dalam Il Principe, “lebih baik untuk bersikap keras dari pada hati-hati. Sebab keberuntungan itu ibarat perempuan. Jika ingin mengendalikan perempuan, laki-laki harus mengekang dan memukulnya.”

Bahkan yang lebih ekstrem lagi, “sang pangeran harus pandai-pandai memanfaatkan keberuntungan (fortuna) yang diberikan oleh kesempatan (occasione) kepada mereka. Namun, yang paling penting dari semuanya adalah sedapat mungkin meminimalisir lawan-lawannya untuk meraih kesempatan dan keberuntungan untuk menyerangnya. Dengan kata lain, sebelum lawan menghancurkan, sang pangeran dituntut untuk terlebih dahulu menghancurkannya.” Dan “pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pandai tidak menepati janji. Kalaupun harus menepati janji, maka janji itu harus memberi kontribusi terhadap kepentingan kekuasaan.”

Sekalipun begitu, tidak sedikit pula yang mengagumi mahakarya Machiavelli, Il Principe. Pengagum inilah dapat diposisikan sebagai pihak pro. Tidak hanya berhenti sampai di sana, pihak pro juga mengkritik pihak kontra terhadap filsafat politik Machiavelli yang terkesan terburu-buru menyimpulkan filsafat politiknya. Selain itu, masih dalam pandangan pihak pro, mereka menilai filsafat Machiavelli harus dilihat sebagai kategori filsafat politik yang realis.

Menyikapi hal itu, saya mencoba menjabarkan dan menganalisis corak pemikiran Machiavelli menggunakan pendekatan metodologi-fenomenologi. Hemat saya, sebenarnya filsafat politik yang digagas oleh Machiavelli tidak seburuk apa yang orang pikirkan. Ada beberapa tuduhan yang dilontarkan kepada Machiavelli selain beberapa stigma mengutip dari tulisannya di Il Principe di atas. Seperti, ia dituduh sebagai orang yang dalam filsafat politiknya, ia menghindari peran moral dan agama. Sehingga, filsafat politiknya terkesan menghalalkan segala cara demi maksud-tujuan kepentingannya.

Menjawab itu, hemat saya, ada beberapa hal pula yang perlu ditelusuri sebelum mengambil kesimpulan terkait filsafat politik Machiavelli. Di antaranya adalah perlu kiranya kita melihat corak historis, sifat dan karakteristik filsafat politik Machiavelli.

  1. Corak Historis Filsafat Politik Machiavelli

Biar bagai manapun, gagasan filsafat politik yang diajarkan oleh Machiavelli tidak terlepas dari konteks situasi dan kondisi zamannya. Jika saja kita memahami kondisi sosial-kemasyarakatan yang sedang terjadi pada masa Machiavelli hidup, kita akan memahami bahwa, ada sesuatu yang memaksa gagasan filsafat politik Machiavelli seperti demikian.

Searah dengan itu, kita bisa menggunakan metode doble possition milik tokoh hermeneutika modern, Scleiermacher. Bahwa, untuk memahami teks, haruslah kita mencoba pula memahami kondisi situasi dan kondisi sang penulis guna menyelami kondisi psikologisnya. Ringkasnya, untuk memahaminya, mestilah kita mencoba menjadi dirinya di saat ia hidup pada zamannya. Dengan begitu, akan memudahkan kita untuk menyelami-memahami pemikiran sang penulis (Machiavelli).

Adapun situasi dan kondisi serta kontestalasi perpolitikan yang terjadi pada saat Machiavelli hidup, yang mana gagasan filsafat politik mengharuskan ia harulah demikian, ia hidup di saat zaman yang sarat akan perebutan kekuasaan dan kewilayahan. Selain itu, kontestalasi perpolitikan yang mendominasi pada saat ia hidup terlalu dikungkung oleh kaum Gereja.

Sehingga kedua kejadian ini berkonsekuensi pertama, perang pun menjadi tak terelakkan. Kedua, pengambilan sikap yang cenderung lambat. Diibaratkan musuh di depan mata lengkap dengan peralatan perangnya, penguasa dan masyarakatnya masih bercanda-tawa. Karena, sudah menjadi hal lumrah diketahui khal layak umum, ajaran kristen, yang menjadi agama yang sangat mendominasi masyarakat Machiavelli hidup, sangat mengidealkan kelembutan dan kerendahan hati, cinta akan pengorbanan serta meremehkan hal-hal duniawi, sehingga mendorong dan meransang manusia untuk mengejar kepuasan rohani, secara pribadi mengakibatkan pernyataan sikap dan bergerak melalui tindakan dan perpolitikan pun terbengkalai.

 Menghadapi hal itu, Machiavelli berasumsi perlu kiranya bersegera untuk menyatakan sikap dan mengambil keputusan. Karena jika terlalu lambat, maka hal itu akan berpengaruh terhadap keamanan dan stabilitas negara. Menanggulangi itu, Machiavelli telah menyusun seperangkat persiapan berupa taktik dan strategi. Kedua hal ini menjadi komponen salah satu filsafat politik yang tentunya merupakan buah kreasi dan inovasi Machiavelli. Maha karya tersebut kemudian diabadikan dalam karyanya berjudul Il Principe. 

Hidup dalam masa peperangan dan stabilitas sosial yang berantakan memang tidaklah mengenakkan. Begitu pula apa yang sedang Machiavelli, penguasa dan masyarakatnya rasakan. Pada saat itu, sulit membedakan antara lawan dan kawan. Pemberontakan yang bermula dari intervensi musuhpun tak terhindarkan. Sehingga, dalam tulisannya ia menulis, “seharusnya rakyat diperlakukan dengan murah hati atau dihancurkan sama sekali. Sebab, mereka bisa melakukan tindakan balas dendam hanya karena penderitaan kecil saja. Tindakan penghancuran berupa penderitaan berat justru akan menghapuskan keinginan mereka untuk balas dendam.”

  1. Sifat dan Karakteristik Filsafat Machiavelli

Saat membaca sekilas buku Il Pricipe karya Machiavelli, mungkin akan terlintas sebuah anggapan bahwa buku ini berisi nasihat kepada pangeran yang akan, bahkan yang sudah dinobatkan sebagai raja atau pemimpin. Selai itu, akan terlintas pula anggapan bahwa buku ini bercorak dramaturgis. Sebenarnya, jika kita lebih teliti lagi, ada bebarapa sifat dan karakteristik yang menjadi gaya sekaligus dapat mengantarkan kepada pemahaman filsafat politik Machiavelli. Sifat dan karakteristik ini merupakan analisis saya pribadi guna menuntun pembaca agar sampai kepada memahami Machiavelli yang sering dipandang miring oleh kebanyakan orang.

* Alegoris

Dalam hal ini, ada banyak penyampaian yang dilakukan oleh Machiavelli menggagas pemikirannya dengan menggunakan alegoris. Seperti sang pemimpin haruslah belajar kepada Chiron. Chiron merupakan hewan mitologi Yunani yang memiliki badan manusia dan berkepala hewan. Pembelajaran itu penting dilakukan agar pemimpin dapat mewarisi dari sifat Chiron itu sendiri. Yakni, memiliki sifat kemanusiaan dan kehewanan.

Jika sang pemimpin memiliki sifat manusia, maka hal yang dikhawatirkan terjadi adalah tidak jauh berbeda dengan sikap ajaran Kristen. Yakni, terlalu lambat dan lembek dalam mengambil sikap saat dalam situasi stabilitas sosial mengancam. Ambil saja sebuah contoh, mengutip dari tulisan al-Kitab, “jika kau ditampar pipi kananmu, barilah pipi kirimu.”  Hal ini cukup membuktikan bahwa ajaran Kristen yang mendominasi Italia tempat Machiavelli hidup, bukan mengajarkan melawan saat terjadinya kedzoliman, malah menganjurkan tertimpanya kedzoliman yang lain.

Demikian, penting kiranya menurut Machiavelli bahwa seorang pemimpin mestilah memiliki sifat kehewanan. Hewan itu ialah singa dan rubah. Karena jika singa saja, ia hanya menjadi pemimpin yang kuat dan berkuasa mengalahkan lawan, tapi tidak memiliki daya saat menghindari jebakan lawan. Rubah inilah sebagai manifestasi dari hewan yang dapat menghindari jebakan. Karena biar bagai manapun, dalam pandangan Machiavelli, sekuat-kuatnya seorang raja melawan musuh, ia belum tentu akan menang melawan jebakan seperti tipu muslihat.

Senada dengan itu, tidak heran kenapa Machiavelli menganjurkan raja untuk menumpas dahulu musuh-musuhnya. Karena jika tidak, ia akan menumpas sang saja tersebut.

* Realis

Filsafat politik Machiavelli berkategorikan filsafat politik yang realis. Ia tidak sedang mencoba mengajarkan filsafat politik yang bersifat absurd dan sebatas idealisme. Lebih jauh, ia mengajari kita melihat realita bahwa beginilah  politik. Namun, ia juga mengajarkan cara menghadapi lawan, mempertahankan kekuasaan dan memenejemen kekuasaan.

Penting untuk dicatat, Machiavelli mengajarkan bahwa politik tidak hanya dapat dipandang sebagai baik dan buruk, bermoral atau amoral. Karena politik adalah ranah kekuasaan. Jika kekuasaan itu jatuh ke tangan yang salah, maka kesengsaraan rakyat pun di depan mata.

Maka, filsafat politik Machiavelli ini mencoba menyadarkan kita, bahwa tidak ada cara lain untuk merebut kekuasaan dengan cara buruk sekalipun. Karena ini merupakan perebutan kesejahteraan orang banyak atau segelintir orang, yang mana demi membangun kepentingan kesejahteraan pribadinya ia harus menindas yang lain. Sekalipun itu merupakan jumlah yang besar.

Adalah hal yang menjadi paradoksal apabila gagasan filsafat politik Machiavelli dikatakan menghalalkan segala cara guna mendapatkan kepentingan yang diinginkan. Jika saja Machiavelli memisahkan agama dan moralitas dalam filsafat politiknya, hal itu adalah wajar, bahkan baik. Karena bagi Machiavelli dalam ranah politik-realistis, jika agama mencampuri ranah politik, hemat saya, mengikuti alur pemikiran Machiavelli melalui statemen Hardiman, hal itu hanya akan menghilangkan kesakralan agama. Ringkasnya, Machiavelli sedang mencoba mengembalikan ranah agama, moral dan politik pada relnya.

* Stabilitas

Sebenarnya, tujuan dari filsafat Machiavelli ialah stabilitas. Filsafat politik Machiavelli dibangun dari situasi kondisi zaman yang chaos dan menghendaki stabilitas sosial. Demi tercapainya stabilitas sosial inilah sebenarnya cara apapun mesti dilakukan dalam Machiavelli. Meski tak terkecuali harus dengan cara kejam sekalipun. Sebab, dalam pandangannya lebih baik berlaku kejam demi kebaikan, dalam artian menghasilkan kebaikan, yakni tercapainya stabilitas dari pada melakukan kebaikan tapi menghasilkan kejahatan.

Mengikuti alur logika Machiavelli, diibaratkan tolong-menolong dan korupsi. Tolong-menolong adalah hal kebaikan, dan korupsi hal keburukan. Keduanya berbeda, namun bukan berarti tidak bisa berdampingan. Tolong menolong akan menjadi buruk mana kala ia diarahkan kepada tolong menolong untuk korupsi.

Begitu juga sebaliknya, hal kejelakan akan menjadi baik mana kala ia diarahkan kepada hal yang baik. Misal pembunuhan pembunuh. Jika dibiarkan, pembunuh itu akan terus menerus melakukan aksi pembunuhan dan pastilah akan meresahkan masyarakat. Demikian, demi tercapainya stabilitas berupa keamanan, mestilah pembunuh itu segera dibunuh. Bila perlu dibunuh dengan cara keji sekalipun. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada lagi yang berani mana melakukan hendak melakukan aksi pembunuhan.

* Kondisional

Kunci memahami filsafat politik Machiavelli terletak pada gagasan tentang Chiron. Chiron merupakan makhluk dalam mitologi Yunani berbadan manusia dan berkapala hewan. Sebenarnya, gagasan Chiron merupakan manivestasi dari sifat kemanusiaan dan kehewanan. Dalam artian, Machiavelli bermaksud hendak mengajarkan bagi para pemimpin, hendaklah ia memiliki sifat setengah manusia dan setengah hewan. Setengah hewan dan setengah manusia inilah yang menjadi dasar kunci memahami atau epistemologi filsafat politik Machiavelli.

Jika ditelusuri lebih mendalam, sebwnarnya Machiavelli bermaksud mengajarkan kepada para pemimpin agar pandai-pandai meneje sikap kondisional. Mereka harus mengetahui kapan harus menjadi manusia dan kapan harus menjadi hewan. Lebih spesifiknya, bahwa hewan yang dimaksud oleh Machiavelli ialah singa dan rubah. Singa merupakan manifestasi sifat keberanian melawan lawan, dan rubah manifestasi dari sifat cerdik menghindari jebakan.

* Strategis

* Taktis

* Kaya Pengertian

Hal inilah yang sering kali disalah pahami dalam pemikiran Machiavelli. Kebanyakan orang beranggapan, hanya karena Machiavelli mengatakan pemimpin yang baik adalah mereka yang ditakuti, ia disalah pahami mengenyampingkan dicintai dan selalu dikonotasikan kepada hal-hal kebencian. Perlu dicatat, Machiavelli memang mengatakan pemimpin yang baik adalah ia yang ditakuti, tapi bukan berarti ia menekankan untuk dibenci.

Pada hal, dalam tulisannya berapa banyak ia berbicara tentang kepentingan negara dan rakyat adalah hal utama. Lebih jauh Machiavelli mengingatkan, “seorang penguasa tak bisa hidup tanpa bersama dengan rakyat, sehinggaharus hidup bersama rakyat. Sebaliknya, penguasa bisa hidup tanpa para bansawan karena ia setiap hari selalu bisa menciptakan atau menhapuskan para bangsawan.”

Dalam tulisan yang lain ia berkata, “orang yang menjadi penguasa atas dukungan rakyat, bagai manapun juga harus tetap mempertahankan persahabatannya. Hal ini akan mudah dilakukannya, karena rakyat tidak menuntut apapun, kecuali agar mereka tidak mengalami penindasan. Tetapi, orang yangmenjadi penguasa bertentangan dengan keinginan rakyat dan karena mendapat dukungan para bansawan, ia harus berusaha mengambil hati rakyat.”

Selain itu, Machiaveli juga menegaskan, “sangat penting bagi seorang penguasa memelihara persahabatan dengan rakyat. Sebab, jika tidak, sang penguasa tidak akan mempunyai teman yang memberi bantuan pada waktu negara dalam keadaan bahaya.”

Belajar dari filsafat politik Machiavelli ini kita akan tersadarkan pentingnya berpolitik. Ia juga akan menyadarkan, saat banyak yang mengatakan politik itu bangsat, licik dan laknatullah, bahwa politik itu asik, seni mengatur kekuasaan, berkuasa dan menguasai, memimpin dan rahmatan lil alamin.

*[Lembaga Kajian & Diskusi Renaissance Pondok Pesantren Darullughah Wal Karomah, Sidomukti, Kraksan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia]*