*One Day One Knowledge; Sosiologi*
*Rabu, 20-Desember-2017*
*”Teori Konflik; Penyelesaian Konflik”*
Banyak yang beraggapan bahwa konflik merupakan patologi masyarakat yang menjadi keharusan untuk dihindari. Mereka lebih memandang konflik sebagai musibah yang membawa seribu malapetaka.
Sebut saja pendiri salah satu grand teori dalam disiplin sosiologi, Talcon Parson. Talcon Parson dikenal sebagai pendiri aliran Struktural Fungsional menjelaskan bahwa teorinya bertujuan untuk keteraturan dan stabilitas sosial serta menghindari konflik yang berorientasi kepada kekacauan. Tentunya pandangan ini menghadirkan beragam respon. Salah satunya respon bernada kritik yang tajam dari Dahrendorf, salah seorang tokoh yang dikenal sebagai pendiri teori konflik dalam khazanah disiplin sosiologi.
Dahrendorf berkata, banyak yang mengkonotasikan konflik sebagai patologi sosial yang harus dihindari. Mereka juga menganggap konflik semata-mata merupakan ancaman, bahkan musibah yang dapat menghadirkan perpecahan dan menghancurkan stabilitas sosial. Pada hal, jika saja konflik dapat dimenej sebaik dan semaksimal mungkin, ia juga dapat berguna sebagai perekat persatuan dan penyeimbang stabilitas sosial.
Selain itu, kritik lain yang dilontarkan kepada kaum Struktural Fungsional karena teori ini dicurigai faktor yang menjadi penyebab legitimasi kepada status quo. Sehingga, apabila teori ini diterapkan, maka ia akan melegitimasi kepentingan terselubung (ideologi) yang berkembang subur di masyarakat. Sebagai contoh, ambillah tentang kasus Semen vs Samin. Pihak Semen selaku pembeli tanah memaksakan kehendaknya agar keinginannya diamini oleh kaum Samin. Pihak Semen pun meluncurkan ideologi berupa “kesejahteraan” yang tak lain memiliki maksud terselubung agar keinginan untuk membeli tanah diamini dengan dalih berupa “mitos-mitos” kesejahteraan. Pada hal, masyarakat kaum Samin tanpa uang dari kaum Semenpun sudah merasa berkecukupan.
Kritik lain yang dihantamkan kepada teori Struktural Fungsional tidak lain karena teori ini dicurigai sebagai media monopoli “kebenaran”. Sehingga, jika saja kesadaran masyarakat telah didoktrin oleh perihal tentang “kebenaran”, mereka akan melupakan, bahkan enggan mencari “kebenaran-kebenaran” lain. Mereka terlalu terlelap dalam zona-zona kenyamanan. Dalam artian, teori ini dapat menstatiskan daya kreatifitas dan inovasi manusia. Salah satu yang beranggapan demikian adalah Cosser. Cosser juga merupakan bagian dari tokoh teori konflik. Lebih jelas Cosser berkata, ketiadaan konflik hanya akan berdampak melegitimasi kepentingan dan mematikan daya kreasi dan inovasi.
Memgikuti alur pikiran Cosser, kita bisa bercermin kepada masa lalu saat Islam mencapai masa kejayaannya sebut saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan intelektual. Hal itu disebabkan kentalnya sikap konflik intelektual satu dengan yang lain. Misal saja konflik Imam Hanafi dengan Imam Syafi’i. Siapa sangka dengan metode Istihsan yang dikembangkannya dalam menggali hukum, beliau dikritik oleh Imam Syafi’i. Bahkan Imam Syafi’i berasumsi, “barang siapa yang menggunakan Istihsan, ia telah membuat syari’at baru.” Namun, pendapat Imam Syafi’i ini kemudian mendapat respon berupa kritik pula oleh Imam Syatibi.
Contoh lain yang sering kali dijumpai yaitu konflik intelektual antara Imam Ghazali, selaku tokoh anti filsafat beserta pengikutnya dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh yang pro terhadap filsafat. Yang mana dalam hal ini, konflik intelektual tersebut dapat dilihat dalam kedua karya ulama’ besar masa lalu sebagai warisan agung bagi generasi kini yang patut untuk diapresiasi. Yaitu, Tahafut al-Falasifah dan Tahafut al-Tahafut.
Penting untuk dicatat, konflik tidak selalu dimaknai sebagai pertikaian dan perkelahian. Konflik juga dapat dimaknai sebagai pertentangan. Contoh perdebatan antara Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd, Imam Hanafi, Syafi’i dan Syatibi juga dapat dikategorikan sebagai konflik.
Maka, dari sinilah kita dapat sedikit belajar tentang pentingnya mengenal apa itu konflik. Karena biar bagai manapun, konflik merupakan salah satu komponen kehidupan yang tak bisa terhindarkan. Jika saja konflik dapat dimenej dengan baik, menjadi barang tentu ia akan menjadi barang berguna. Hal itu ditentukan oleh sejauh mana kita dapat memenej konflik tersebut. Misal saja konflik antara orang pribumi dan kolonial. Pengalaman konflik berupa penindasan di negeri sendiri dan penjajahan melahirkan sikap persatuan dan komitmen mendirikan negara yang merdeka, berdaulat adil dan sejahtera. Pengalaman konflik ini pula memberikan dampak psikologis berupa trauma akan penindasan dan penjajahan. Sehingga dari sanalah mereka belajar, hal itu haruslah dihapuskan sekalipun tanpa adanya sikap kompromi dan negosiasi.
Selanjutnya, belajar dari hal di atas, tergantung kita sendiri sejauh mana dapat memenejemen konflik agar keluar dari masalah sekaligus terciptanya stabilitas sosial. Berikut adalah menejemen konflik yang sering kali dipakai dipakai sekaligus cara menggunakannya guna menyelesaikan masalah dan terciptanya stabilitas sosial.
*CONTENDING*
Contending berarti melawan atau bertanding. Penyelesaian ini bertendensi kepada pertikaian, perkelahian bahkan peperangan. Ada beberapa hal yang menjadi penyelesaian ini menjadi keharusan. Pertama, jika kedua belah pihak bersikeras mempertahankan kepentingan, maksud dan tujuannya tanpa ada kompromi bagi kedua belah pihak yang berkonflik untuk mengalah.
Kedua, jika kedua belah pihak bersikeras mempertahankan kepentingan, maksud dan tujuannya, sementara kompromi berupa kesepakatan bukanlah solusi atau malah dirasa menguntungkan pihak satu dan merugikan pihak lainnya. Seperti kasus konflik antara orang pribumi dan para kolonial, dan konflik antara Semen vs Samin.
*YIELDING*
Yielding berarti menahan diri. Yielding juga dapat disama-artikan sebagai mengalah. Mengalah bukan berarti kalah. Begitulah kata pepatah. Namun, terkadang mengalah digunakan sebagai media strategi untuk menang.
Penyelesaian ini digunakan ketika kedua belah yang bertikai dapat diajak bernegosiasi dan berkompromi. Saat mengutarakan pendapat antara kedua belah pihak, salah satu di antaranya mengalah dan membiarkan pihak lainnya hendak merealisasikan kepentingannya. Hal ini memiliki beberapa tujuan. Di antaranya ialah membiarkan pihak lawan merasa senang dan bangga akan kemenangan dan keberhasilannya di sisi lain pihak yang mengalah sebenarnya menunda untuk menyusun taktik dan strategi sembari mengumpulkan kekuatan. Langkah ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saat melakukan perjanjian Hudaibiah dengan kaum Kafir Quraisy. Rasulullah membiarkan dirinya seakan-akan kalah dan pihak lainnya seakan-akan menang. Namun, hasil akhirnya terjadilah peristiwa Fathu Makkah yang merupakan kemenangan terbesar sepanjang zaman.
*PROBLEM SOLVING*
Problem solving adalah menyelesaikan masalah. Biasanya, langkah ini digunakan saat ada pihak ketiga yang hendak menengahi. Atau kedua belah pihak yang berkonflik setuju untuk berkompromi hendak memanggil orang ketiga agar dapat menengahi konflik tersebut. Bisa pula tanpa pihak ketiga, yaitu kedua pihak yang bertikai mencari solusi dan jalan keluar dengan cara berkompromi dan bernegosiasi.
*WITH DRAWING*
Berarti menarik diri. Langkah ini digunakan saat kemenangan bagi salah satu pihak yang bertikai untuk tidak memungkinkan untuk menang.
*INACTION*
Inaction sendiri memiliki arti kelambanan. Maksudnya adalah menunggu saat yang tepat untu bertindak. Selain itu, tindakan ini juga digunakan sebagai pilihan saat salah satu kelompok yang terjerat dalam situasi konflik tidak tahu harus melakukan apa. Tindakan ini pernah dilakukan oleh ummat Islam pasca perang shiffin. Pasalnya, pada waktu itu ummat islam terpecah menjadi 4 kelompok. Kelompok pro Sayyidina Ali, kelompok pro Muawwiyah, kelompok kontra keduanya dan terakhir, kelompok netral yang tidak berada di di pihak manapun.
Dalam mekanisme menyelesaikan konflik, cara penyelesaian konflik tidaklah menjadi hal yang statis. Karena penggunaan itu tergantung permasalahan, situasi dan kondisi. Kadang kala salah satunya menjadi suatu keharusan, kadang pula salah satu tersebut menjadi suatu yang harus dihindarkan. Maka, dianjurkan bagi pengguna penyelesaian ini untuk pandai-pandai membaca permasalahan, situasi, kondisi dan orientasi. Serta yang tak kalah penting pandai-pandai dalam menyusun taktik dan strategi.
*[Lembaga Kajian dan Diskusi Komunitas Renaissance Pesantren Darullughah Wal Karomah, Sidomukti, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia]*