Surabaya Waterfront Land adalah salah satu dari 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) terbaru pada 2024 yang dikeluarkan Jokowi pada 18 Maret 2024. Proyek ini diklaim mempercepat pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan pemulihan ekonomi nasional. Namun, proyek ini juga akan merusak ekosistem laut selat madura dan mengancam mata pencaharian para nelayan di pesisir Surabaya.

Penulis: Diky Kurniawan Arief dan Baharuddin Chabib Chakim

Editor : Muhammad Chaidar

Beberapa tiang bambu berdiri di bibir pantai, dihiasi dengan jaring-jaring yang terurai di bawah sinar rembulan. Langit masih gelap dan fajar belum tampak di pelupuk mata. Kala itu, Handoko melangkahkan kaki menuju bibir pantai, tempat perahunya bersandar.

Air laut dengan perlahan membawa perahunya menuju ke tempat jaring yang ia pasang kemarin malam. Ia ingin mengambil udang yang tersangkut dalam jaringnya.

“Nelayan disini pergi kelaut itu jam 1 petang, pulangnya jam 6 pagi,” terang Handoko pada 5 Agustus 2024.

Sebab, pada malam hari air laut akan naik sehingga angin dan arus akan membawa perahu nelayan ke tengah laut. Dan pagi hari adalah waktu air laut akan surut sehingga angin dan arus akan membawa perahu nelayan menuju daratan.

Handoko adalah salah seorang nelayan udang rebon di Sukolilo. sebuah kawasan pesisir di Surabaya bagian utara. Ia melakoni pekerjaan ini sejak tahun 1998. Tiada niatan lain baginya untuk menjadi nelayan selain untuk meneruskan pekerjaan ayahnya. 

Bagi Handoko, laut adalah rumah kedua. Hampir setiap hari ia menghabiskan waktu untuk pergi berlayar. Ia pun, sebagaimana nelayan lain di pesisir Surabaya utara, memiliki pondok bagansendiri (semacam patokan buatan di tengah laut untuk menangkap ikan kecil).

“Bagan ini pemberian turun-temurun dari mbah-mbah dulu, bahkan kalau dijual harganya bisa sampai 50 juta,” ucap pria berumur 54 tahun itu

Bagan biasanya dibuat dari bambu bambu panjang yang dilengkapi dengan waring(baca: jaring). Ia akan menunggu ikan masuk dalam jaring itu untuk kemudian menangkapnya. Ia menganggap cara ini jauh lebih ramah lingkungan dan aman ketimbang menyelam atau menggunakan pukat.

Ia bercerita bahwa banyak nelayan dari kota lain seperi Pasuruan dan Probolinggo yang mencari ikan di pesisir ini dengan menggunakan cantrang, sebuah alat penangkapan ikan yang sebenarnya ilegal. Handoko dan para nelayan lain pantang menggunakan teknik penangkapan itu karena dampaknya yang negatif bagi lingkungan. 

Pengunaan cantrang sangat dikutuk oleh kementrian kelautan dan nelayan sendiri. Sebab, cantrang akan menyeret apapun yang ada di dasar laut dapat merusak habitat laut seperti terumbu karang. Kerusakan ini mengganggu ekosistem laut yang penting bagi keberlangsungan kehidupan berbagai jenis biota laut.

Lagi pula hanya dengan menggunakan bagan, ia dapat memperoleh banyak udang. Pada musim biasa misalnya, ia dapat mencairkan ikan yang ia tangkap dengan uang rata-rata sebesar 100-200 ribu per hari. Pada musim panen, uang yang ia peroleh jauh lebih banyak, yakni sekitar 1-2 juta per hari.

jika menggunakan bagan, teknik penagkapannya dengan menggunakan lampu yang biasanya dipasang di sekitar bagan. Lampu digunakan untuk menarik plankton yang merupakan makanan udang rebon. Dengan adanya plankton di sekitar bagan, udang rebon akan tertarik mendekat

Tapi jauh sebelum itu, Handoko dulu selalu mencari ikan ke arah timur hutan mangrove. Daerah pesisir timur Surabaya itu sekarang tidak sesubur waktu Handoko masih muda. Pasalnya, tambak buatan disekitar bibir pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove menyebabkan sendimentasi lumpur naik tiap tahun sehingga ekosistem laut menjadi berubah.

Hal ini ia buktikan dengan menacapkan bambu di bibir laut sekitaran tambak ke dasar tanah. Handoko mengamati bahwa tiap tahunnya, endapan lumpur selalu naik 2 ros bambu atau sekitar 70 cm.

 “Jaraknya sekitar 150-200 meter-an dari tempat saya mencari udang dulu. Saya hampir 20 tahunan nggak bisa menempatinya, setelah ada tambak buatan tadi” kenang Handoko

“Sekarang itu udah hampir rata dengan lumpurnya itu, istilahnya rusak-lah sekarang itu” ujar Handoko

Sebab, udang rebon banyak ditemukan di perairan dangkal dekat pantai atau di muara sungai, di mana udang rebon banyak ditemukan. Tapi, sedimentasi lumpur mengakibatkan rusaknya kualitas air laut, sehingga menyebabkan udang menjadi stress dan rentan terkena penyakit.

Meskipun begitu, hasil dari bagan miliknya masih cukup untuk memenuhi isi perut sehari hari anak istrinya. Udang-udang tangkapanya bisa dijual ke pengepul, dikirim ke pabrik, bahkan tak sedikit warga yang mengelolanya secara mandiri.

Olahan kripik kentang udang rebon yang diproduksi warga (Photo by Forma)

Ini tak mengagetkan mengingat kawasan pesisir Surabaya Utara adalah wilayah yang terbilang subur. Berdasarkan penelitian Efendy, Firman, Haryo yang berjudul “Pemetaan Lokasi Fishing Ground dan Status Pemanfaatan Perikanan di Perairan Selat Madura” Selat Madura mempunyai perairan dengan kosentrasi klorofil tinggi yang menjadikan produksi primer dan sumber makanan bagi ikan. Ini menjadikan ikan-ikan berkumpul di tempat tertentu yang suhunya cocok untuk ikan.

“Disini itu ada nelayan udang rebon, ikan sembilang, ikan pari, teripang, kerang ijo, banyak mas,” terangnya

Sukolilo tempat tinggal Handoko juga terkenal dengan olahan lautnya. Orang luar menjuluki daerah ini dengan sebutan kampung nelayan, sudah bertahun tahun kampung ini tetap eksis. Masyarakatnya adalah nelayan-nelayan tangguh di kota ini.

Kampung nelayan sendiri sebenarnya banyak dan tak saling berjauhan di pesisir ini. Bermulai dari ujung Suramadu sampai ke Wonorejo tetapi, Sukolilo dan Nambangan adalah kampung nelayan paling populer di kota pahlawan.

Keahlian para nelayan dan masyarakat dalam mengolah hasil laut tidak hanya menarik perhatian penduduk lokal, tetapi juga menarik minat pendatang dari kota-kota jauh. Kampung ini, dengan segala kekayaan lautnya, menjadi bukti bahwa laut adalah sahabat nelayan.

Semua nelayan di kampung tersebut tergabung dalam suatu kelompok nelayan yang disebut dengan Kelompok Usaha Bersama (KUB). KUB adalah kelompok nelayan yang dibentuk untuk meningkatkan kualitas produk ikan lokal sekaligus sebagai ikatan solidaritas sesama nelayan.

KUB dibentuk sesuai dengan jenis usaha nelayan sehingga ada KUB udang rebon, KUB ikan teripang, KUB ikan sembilang dsb. Di seluruh pesisir Surabaya Utara ini ada 32 KUB yang secara administratif masuk dalam Kecamatan Bulak dan Kecamatan Kenjeran. 

Salah seorang sahabat Handoko bernama Qodir* adalah ketua KUB udang rebon. Menurutnya, Semua KUB saling bahu-membahu dalam menciptakan kesejahteraan nelayan. Misalnya, ketika ada nelayan udang yang merasa berat menarik jarik karena tersangkut kerang hijau. Maka, dengan senang hati nelayan KUB lain akan mengambilnya. Kerja sama ini menjadikan kedua belah pihak sama sama senang.

Kerjoan dadi luwih gampang, ambil jaringnya juga gampang” jelas Handoko

Beberapa kampung nelayan yang berisi bermacam macam KUB (Photo by Google Earth)
Tambak tambak buatan di samping Mangrove Wonorejo (photo by Google Earth)

Mimpi Buruk Yang Datang Ke Kampung Nelayan

Waktu berlalu begitu cepat hingga tiba satu hari di awal bulan Juli dimana seluruh warga kampung dikagetkan dengan rumor reklamasi. Kabar ini menyebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga Handoko. Laut yang membentang dari Kenjeran hingga Wonorejo akan diuruk habis untuk membuat pulau buatan!

Nantinya, proyek reklamasi ini akan dibangun 100 m dari bibir pantai. Tak terkecuali laut dibelakang kampung Handoko yang juga terkena pembangunan ini.

 “Awalnya kami nggak tahu, Kami baru tahu ini itu ketika tiap RT kampung ini diberi kabar oleh mereka (PT Granting Jaya). Saya kecewa yang diberitahu itu aparat desa dahulu, bukan nelayan dahulu” ucap Handoko dengan kecewa

Diketahui, proyek reklamasi ini bernama Surabaya Waterfont Land. Semacam pulau buatan yang fungsinya nanti hampir mirip seperti di Pantai Indah Kapuk Jakarta. Dan PT Granting Jaya adalah kontraktor pelaksana yang ditunjuk oleh pemerintah dalam pembanguan ini.

Surabaya Waterfont Land adalah salah satu program dari proyek strategis nasional. Proyek Strategis Nasional (PSN) sendiri adalah program infrastruktur yang dikeluarkan oleh Jokowi dengan tujuan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Surabaya Waterfont Land adalah salah satu dari 14 PSN terbaru yang dananya bukan dari APBN tetapi murni dibiayai oleh swasta.

Dalam pengerjaan proyek ini, akan ada 4 blok yang dibangun. Blok A memiliki luas 84 hektare sebagai perkantoran, hotel, ruko, dan kawasan rekreasi. Blok B seluas 120 hektare untuk pelabuhan modern, pasar ikan segar, cold storage, lelang perikanan, fasilitas pemeliharaan kapal, pusat perbelanjaan olahan laut, dll Blok C seluas 260 hektare untuk kompleks Marina, museum maritim, hotel, villa, apartemen, perguruan tinggi kemaritiman. Dan Blok D Utara seluas 620 hektare untuk pusat hiburan dan bisnis, hotel, apartemen, dan SWL Square.

Karena hal tersebut, para nelayan pun kemudian sepakat untuk membawa persoalan ini ke DRPD komisi A dan komisi C untuk meminta kejelelasan tentang proyek Surabaya Waterfont Land. Dalam hal ini, ada nelayan yang datang ke Komisi A dan Komisi C.  

“Waktu itu saya yang ke Komisi C, dan hasilnya pun mereka tidak menyetujui akan proyek ini” ucap Handoko.

Tapi, hasil yang berbeda diperoleh oleh nelayan yang datang ke Komisi A DPRD yang mana wakil rakyat itu justru mensetujui reklamsi ini.

Handoko menuturkan, bahwa Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya Baktiono menolak rencana proyek ini dengan alasan bahwa PSN ini akan menggangu ekosistem laut yang ada di selat madura. Ketua komisi C itu juga mewanti-wanti kepada pihak PT Granting Jaya untuk lebih memperhatikan dampak dampaknya terhadap lingkungan dan juga nelayan pesisir

Alih alih menolak proyek reklamasi, Komisi A Berbanding terbalik dengan komisi C. Komisi A justru mendukung proyek PNS Surabaya Waterfont Land. Ketua komisi A mendukung PSN ini dengan dalih bahwa Surabaya Waterfont ini akan meberikan kemajuan pembangunan untuk Kota Surabaya ini

Karena keputusan tersebut, maka pada tanggal 19 juli 2024, semua KUB sekecamatan Bulak-Kenjeran melakukan rapat tentang bagaimana perjuangan ke depannya. Tiap KUB diwakilkan oleh pengurusnya dan membahas tentang langkah-langkah yang akan diambil untuk memperjuangkan hak-hak mereka, seperti mempelajari pengajuan hukum maupun melibatkan lembaga-lembaga yang dapat memberikan bantuan.

Situasi rapat oleh perwakilan Nelayan dari tiap KUB sekecamatan Bulak-Kenjeran (photo by Forma)

Problema Baru

Pada Rabu, 24 Juli 2024, PT Granting Jaya menggundang perwakilan nelayan tiap KUB untuk datang dan mendiskusikan adanya proyek reklamasi ini. Sepanjang acara berlansung, tak henti hentinya pertanyaan dan kritik dilontarkan. Semua nelayan yang ada diruangan menentang adanya rencana proyek ini. Sebab, mengingat dampak dari reklamasi akan berpengaruh pada ekosistem laut dan mata pencaharian nelayan.

Suasana tegang dan penuh gejolak memenuhi ruangan pertemuan. Tiap KUB hanya boleh datang 4 orang sebagai perwakilan.

Qodir* sebagai ketua KUB udang rebon tadi juga datang sebagai perwakilan dari KUB-nya. Qodir mengajak Darso*, teman seperjuanganya yang juga merupakan Ketua KUB teripang di Sukolilo ini. Darso* adalah salah satu nelayan di Sukolilo yang juga vokal di kampung ini dalam menyuarakan kritik dan protes terhadap reklamasi.

“Kalau ini direklamasi, lantas bagaimana mata pencaharian kami yang bergantung pada laut, ini tidak hanya soal mata pencaharian saja tapi lingkungan juga berpengaruh” kenang Darso* menceritakan dampaknya saat di forum

Darso* menceritakan, bahwa PT Granting Jaya sewaktu melakukan pertemuan dengan nelayan rabu lalu sempat menggandeng 2 dosen dari Institut Teknologi Sepuluh September (ITS) Surabaya dan Universitas Brawijaya (UB) Malang. Dua orang inilah yang menjelaskan tentang analisis dampak lingkungan terhadap Proyek Surabaya Waterfront Land tersebut.

Namun, semua dahi nelayan berkerut tatkala mendegarkan penjelasan dari sang dosen tersebut. Pasalnya, beberapa poin yang disampaikan berkontadiksi dengan fakta yang ada di lapangan.

“Saya bukan orang pendidikan, tapi saya tau betul apa yang ada di lapangan,” ungkap Qodir selaku ketua KUB Udang rebon pada 1 Agustus 2024.

Qodir menceritakan bahwa sewaktu di pertemuan, dua dosen tersebut menjelaskan bahwa proyek ini tidak akan menggangu habitat laut dan tidak akan merusak ekosistem mangrove di sebelah timur. Mereka juga menjanjikan pekerjaan untuk warga, kapal untuk nelayan, dan bahkan menyuruh nelayan untuk mencari ikan di wilayah lain jika proyek ini terealisasi.

Qodir marah dengan perkataan dosen itu. Sebab, mereka mengatakan jika perahu-perahu nelayan yang ketinggalan jaman itu akan diganti dengan kapal modern. Dan mereka disuruh untuk mencari ikan di wilayah yang lebih jauh

Pemetaan proyek Surabaya Waterfont Land yang dibagai menjadi 4 blok (Photo by Forma)

“Seakan kita ini (nelayan) dipaksa untuk mencari ikan ditempat lain yang lebih jauh,” kata Qodir

Padahal, bila berlayar di tempat lain, jarak yang ditempuh bisa memakan waktu sampai berhari hari. Sedangkan, para nelayan semuanya berlayarnya hanya 6-7 jam saja. Faktor keluarga dan kesehatan menjadikan alasan penting tentang ini.

“Nelayan dari Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo itu mencari ikan disini, kok kita malah disuruh kesana ini bagaimana?” ungkap Dasro yang ikut ke obrolan kami

Qodir* juga mengungkapkan bahwa mereka akan menjanjikan pekerjaan untuk masyarakat bila nantinya Surabaya Waterfont Land sudah terrealisasi.

“Kita ini mau dipekerjakan katanya, tapi itupun khusus orang Sukolilo dan Larangan. Warga luar sini yo ngamuk” sahut Darso* disela sela percakapan

Darso bercerita di sebelah timur Kampung Sukolilo terdapat kampung yang bernama Kampung Sukolilo-Larangan. Masyarakatnya adalah nelayan kepiting, tapi jumlah mereka kini tinggal sedikit sebab lahannya oleh Kenpark. PT Granting Jaya dibeli untuk dijadikan tempat hiburan.

Handoko menambahkan bahwa kala itu para sesepuh kampung Sukolilo-Larangan setiap lebaran Idul Fitri selalu didatangi oleh pria tua yang konon dari PT Granting Jaya.

“Nggak ada yang tahu pasti nama si pria itu. Orang orang akrab menyebutnya dengan panggilan Tauke (bahasa cina untuk sebutan juragan besar),” kenang Handoko

Semua warga diberi manisan. Tetapi, sepucuk surat yang berisi negosisasi lahan juga diselipkanya. Hal ini dilakukanya bertahun tahun sampai dia benar benar memilikinya.

Bagi Qodir* dan Darso*, apabila ada pekerjaan kotor tersebut masuk ke kampung ini, maka mereka berdua menghimbau untuk tidak menerima segepok uang dari siapapun.

Darso* pun menjelaskan bahwa mereka sudah krisis kepercayaan dengan pihak perusahaan. Janji mereka dulu untuk mempekerjakan warga ke Atlantis Land di Kenpark nihil hasil.

“Yang kerja di PT itu orang luar semua, dulu pembangunan Atlantis dijanjikan yang kerja kita semua. Tapi sekarang? hampir nggak ada!” tegas ketua KUB teripang itu

Disela sela pembicaraan kami. Seorang pria tua di kampung ini yang sedari tadi nimbrung ke obrolan ini melontarkan kalimat “wes mas, pokok e reklamasi iki wani maju tok aku, wani mati iki”

Salah satu bagian dari point yang disampaikan Dosen utusan PT Granting Jaya di Forum (Photo by Forma)

Lautan Adalah Sahabat Kami

Warsito*, Ketua KUB kerang hijau di pesisir Nambangan juga turut andil dalam menyikapi rencana reklamasi ini. Nambangan sendiri adalah sebuah perkampungan nelayan di samping Taman Suroboyo.

Warsito* akrab dengan para nelayan di Sukolilo sana. Nelayan kerang hijau berbeda dengan nelayan yang lain. Secara teknis, resiko kecelakaan nelayan kerang hijau jauh lebih besar, sebab untuk mencari itu seorang nelayan harus menyelam ke dasar laut.

Sebagai ketua KUB, Warsito* sudah sangat banyak mendengar keluhan tentang isu reklamasi dari nelayan dan juga warga. Tetapi, menurutnya, ini bukan kali pertama kampung ini berlawanan dengan hal seperti ini.

“Dahulu, sebelum ada rencana proyek reklamasi ini, pasir di sini dikeruk (seraya menunjuk laut belakang kampungnya). Tapi, semua warga menolak,” kenang Warsito* pada 2 Agustus 2024

Ia menceritakan bahwa pada tahun 2006 ada perusahaan bernama PT Gora Gahana melakukan pengerukan pasir di daerah nambangan. Akibatnya, selain beberapa rumah warga di pesisir roboh akibat abrasi, pendapatan nelayan juga turun drastis.

Namun, berkat keberanian dan kekompakan warga Kampung Nambangan yang vokal dalam menyuarakan dampak lingkungan membuat berita ini terdengar luas ke masyarakat. Sehingga, tidak ada lagi aktivitas pengerukan pasir di laut ini.

Meskipun Warsito* lebih muda dan baru dilantik menjadi ketua KUB, spirit nelayan terdahulu yang solid dan berani mengusir raksasa tambang masih melekat dalam dirinya. Hal ini bisa dilihat dari aksi massa yang dilakukan warga dan para nelayan Pada 2 Agustus 2024.

“Itu inisiatif warga, sebagai bentuk protes reklamasi. Mereka punya motivasi sendiri buat (menyuarakan) kampung ini” jelas Warsito dengan mata terkantuk.

Salah satu spanduk protes yang dipasang di depan kampung (Photo by Forma)

Pria paruh baya ini mengaku belum tidur semalam. Sebab, Kampung Sukolilo-Nambangan akan menggelar acara sedekah laut. Upacara ini dilaksanakan secara turun-temurun setiap bulan Suro dalam kalender Jawa. Semua orangsibuk mempersiapkan dan menyelasaikan tugasnya masing masing.

“Kita mensyukuri hasil tangkapan laut, Sebab laut tempat mata pencaharian kami. Kalau di darat ada sedekah bumi, kalau di sini ya sedekah laut,” ucapnya.

Warsito* menuturkan acara sedekah laut ini dimulai pada pukul 6 pagi waktu air surut, di mana semua perahu berlayar dan beberapa orang diatasnya membaca Shalawat Burdah dengan lantang. Mereka meminta perlindungan, kesejahteraan, dan keamanan kepada sang pencipta untuk semua masyarakat pesisir.

Spanduk spanduk protes menentang reklamasi dikaitkan pada tiang tiang perahu yang mengitari pesisi dari Tambak Wedi sampai Wonorejo. Suara lantunan burdah membelah lautan, membuat wilayah yang dilewati rombongan perahu ini merasa tersentuh dan terbakar semangatnya

Hari itu, pantai nambangan dipenuhi oleh wartawan dari media media massa serta mahasiswa yang datang dari berbagai universitas untuk memberikan dukungan. Mereka berdiri di samping para nelayan, merasakan betapa berat perjuangan yang harus dihadapi oleh mereka yang mempertahankan hidupnya dari laut.

Meskipun situasi tampak berawan, harapan masih ada di hati setiap nelayan. Mereka tahu bahwa dengan persatuan dan dukungan dari berbagai pihak, mereka bisa melawan proyek reklamasi ini. Laut yang bersedih kini menjadi saksi bisu dari perjuangan yang belum selesai. Di bawah langit yang sama, di atas air yang sama, nelayan-nelayan Sukolilo dan Nambangan akan terus berjuang demi hak mereka, demi masa depan mereka, dan demi kelestarian alam yang mereka cintai.

Galeri Foto :

Surabaya Waterfront Land (Photo by Forma)