Perayaan Hari Kartini

Siapa yang tak kenal sosok Kartini ? seorang wanita yang memberikan jasa besar bagi wanita Indonesia agar mendapatkan hak-haknya terutama dalam hal pendidikan. Mengulas sekilas pada kisah perjuangan RA. Kartini untuk melanjutkan pendidikan yang terhalang oleh restu ayahnya dikarenakan saat itu Kartini berusia 12 tahun dan ayahnya menyuruhnya untuk menikah. Namun, Kartini muda saat itu menolak dan memutuskan untuk memperjuangkan cita-citanya. Dari semangat Kartini untuk terus belajar, belajar dan belajar inilah adalah satu semangat Kartini yang menarik hati penulis, yaitu semangat kartini untuk memahami isi Alqur’an.

Mengutip dari dawuh KH. Maimoen Zubair atau yang akrab disapa Mbah Maimun, yang pernah mengatakan bahwa “Zaman sekarang itu orang yang ngaji tinggal sedikit, yang banyak itu pada sekolah, pada nyari (gelar) sarjana. Tidak akan ada lagi orang yang mengaji jika Alquran sudah tidak lagi dianggap ilmu. Tapi Alquran hanya dianggap sebagai bacaan dan simakan saja”. Disini  penulis merasa sadar akan ketiadaan pemahaman Alquran dalam diri masyarakat, terutama penulis sendiri. Penulis sepakat dengan dawuh mbah maimun yang berkata demikian, sebab seiring berkembangnya zaman yang semakin modern ini, masyarakat kita lebih mengedepankan posisi mereka  dalam masyarakat dibanding posisi mereka dihadapan Tuhan. Seperti dawuh yang pernah ditulis oleh Gus Ahmad Haybat Kannaby dalam salah satu akun pribadinya yang mengatakan bahwa banyak orang yang beragama islam namun sedikit sekali yang menjalankan syari’at islam. Disini timbul pertanyaan dalam benak hati penulis, yaitu bagaimana menjalankan syari’at Islam jika isi Alquran saja yang berposisi sebagai pedoman hidup bagi masyarakat muslim tidak dipahami dengan baik?

Maka benarlah jika Kartini sempat gelisah ketika beliau mempelajari Alquran hanya sebatas mengeja dan membaca tanpa memahami apa makna yang tekandung di dalamnya. Beliau memberontak dan merasa jika Islamnya belum sempurna jika beliau belum faham apa makna kitab suci yang dibacanya selama ini, sedangkan beliau tidak memahami bahasa arab sama sekali. Apalagi dalam Alquran ada ayat yang memerintahkan umat islam untuk mengerjakan sholat.

Salat adalah tiang agama, jika umat muslim tidak memahami dengan baik makna ayat “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang rukuk” (Q.S Al-Baqoroh: 43), maka pantas jika banyak dari umat muslim yang menyepelekan salat, pun bahkan jika mengerjakan salat, hanya sekedar salat tanpa merenungi, memahami makna salat sebenarnya. Hal ini tidak berlaku hanya pada sholat saja, tapi semua ibadah yang menjadi kewajiban bagi umat islam, seperti zakat , puasa, haji.  Maka, untuk mengatasi hal ini RA Kartini memilih untuk berguru pada Mbah Sholeh Darat. Karena pada waktu itu belum ada buku yang memuat tentang tafsir Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan hanya Mbah Sholeh Daratlah yang mampu membina Kartini, karena beliau pernah sempat bermukim di tanah Arab. Bahkan pada hari pernikahan RA. Kartini Mbah Soleh Darat menghadiahkan sebuah kitab tafsi Faidhur Rohman dalam bahasa Jawa bertulis Arab Pegon.

Dari sedikit kisah dari perjuangan Kartini pada dunia pendidikan, terutama pendidikan agama ini penulis sadar banyak sekali hal-hal yang harus dipelajari di dunia ini, terutama hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Karena hidup tidak hanya berbicara soal dunia saja, tapi ada yang lebih utama , yaitu akhirat.

 

“Zaman sekarang itu orang yang ngaji tinggal sedikit, yang banyak itu pada sekolah, pada nyari (gelar) sarjana. Tidak akan ada lagi orang yang mengaji jika Alquran sudah tidak lagi dianggap ilmu. Tapi Alquran hanya dianggap sebagai bacaan dan simakan saja”. (KH. Maimoen Zubair)

 

*Oleh Fatimah; Mahasiswa Ilmu Hadis, FUF