Penulis: Fahmi Ayatullah
Editor: Sabitha Ayu Nuryani
Langkahnya terhenti di depan masjid jami’ kota, wajahnya lesu, raut wajah yang kusam penuh harapan menandai tragedi yang dialami. Seolah-olah, ia memang kebingungan mencari tempat “ngehening” untuk dinapaktilasi melebur kebohongannya meminta izin langsung di hadapan Kiai Padi. Perlahan, langkahnya mengarah ke tempat wudu. Diputarnya keran sejalur dengan kebingungannya lalu membasahi tangan, berkumur-kumur yang diulang-ulang penuh penyesalan, membasuh wajahnya seakan ia ingin sekali menampar. Mengenang di saat ia tak pernah memalingkan ke-ta’dzim–an (atau ketakziman) wajahnya di hadapan kiai hari lalu.
Sesaat mengulang, pandangannya terhenti di depan kaca tepat di bak belakang ia berdiri. Apa artinya berwudu jika masih ada penyesalan yang menjadi bayang-bayang, apakah Tuhan hanya sebagai pelarian saja? Apa harus ada tangisan di dalam ibadah?, desahnya di dalam hati yang masih terpaku menatap kaca.
Sesegera mungkin ia pergi dari masjid itu, dengan ketakutannya ia berpikir diselingi pikiran yang kacau. Tuhan sedang murka, hatinya bergeming ketakutan. Menilai hasil didikan dan doa–yang sepanjang malam Kiai Padi tuturkan dan menurutnya tidak berguna–dalam duduknya sembari mengisap rokok. Santri itu menangis sepi. Mengenang saat-saat ia sowan ke ndalem Kiai Padi.
“Assalamu’alaikum, Bah.” Abdi masuk sembari santri itu meraih tangannya sungkem.
“Duduk,” ujar Kiai Padi.
“Abdi minta izin pulang kampung, Bah, di rumah ada acara besar,” ujarnya.
“Sepenting apa keperluannya? Hahaha.” Kiai Padi tertawa.
Nampaknya, Kiai Padi merasa terganggu dengan ucapan santri itu yang memaksa kata-katanya untuk segera diberi izin. Lama mereka berbincang hingga terdengar Padi sudah dipanggil untuk menemui tamunya. Hendak berdiri, Kiai Padi tersenyum, “Besok jam berapa mau pulang?” ujar Kiai Padi sambil meninggalkan ruang tamunya.
Sontak santri itu menjawab dengan tenang menutupi kebohongannya.
“Jam 9 malam, Bah.” ujar santri. Ia membohongi Kiai Padi dengan adanya acara besar itu, namun tetap tenang dan tidak ada kegugupan dari ucapannya.
Lamunannya terhenti, terlintas cahaya lampu di depannya yang membuatnya bertanya, hanya lampu, sepeda, dan mobil yang bisa berhenti dengan teratur seirama waktu yang berharga. Malam itu, baginya tidak ada yang menarik selain memandang lampu kota yang teratur. Pandangannya yang tajam seakan memecahkan sepi gerobak asongan di pinggir ia duduk. Sedang keadaan kemarin tidak terbayang, hanya kata-kata yang terucap bisa dipercayai Kiai Padi. Baginya, membohongi Kiai Padi bukan menjadi jaminan barokah, dari situlah semenjak ia memandangi lampu yang terus menciptakan jarak dan kepergian dari keteraturan waktu.
Dari kelap-kelipnya ia menafsiri berkah. Barokah yang ia temukan di tempat gelap, jauh dari cahaya pesantren yang berbau remang-remang canda yang tak melukiskan mutlaknya kehidupan pesantren, kemustahilan bahasa dan kata barokah yang menjadi dominan tujuan masuk ke dalam pesantren ia temukan di dalam kegelapan. Atau inikah dunia yang segalanya kembali kepada niat baik?, ucap santri dalam hatinya.
Melanjutkan lamunannya, santri itu teringat kembali saat meminta izin kepada Kiai Padi untuk meminta barokah-nya, yaitu merokok di dalam pesantren. Tentunya Kiai Padi menggelengkan kepala. Santri itu dengan karakternya yang unik menjadikan perbincangan malam itu dengan guyonan ala bapak dan anak. “Keberkahan akan diperoleh dengan kebaikan dan peraturan yang sudah ditetapkan penguasa, dan penguasa di dalam pesantren itu siapa? Ya pengasuh,” ucap Kiai Padi.
“Berarti peraturan yang sudah dikonsepkan Tuhan itu sudah menjadi program yang turun-temurun,” ucap santri pada pertemuan malam itu.
“Lalu agama itu penting?” tanya Kiai Padi.
“Tentu penting, Bah.”
“Goblok, Santri Goblok. Kenapa tidak mencari keterkaitan agama dan penderitaan manusia?” Songkoknya yang lapuk kekuning-kuningan, rambut yang memutih, dan keriput di dahinya, menggambarkan ketekunan. Di sisi lain, santri itu adalah ketakutan yang dikemas dengan senyuman.
“Kok bisa ada penderitaan, Bah?”
“Tuhan Maha Kaya. Kenapa kamu melarat mencari alasan untuk merokok dengan tenang terbebas dari peraturan pesantren, sedang keuanganmu belum tentu pengeluarannya bisa terjadwal?”
Santri itu menundukkan kepala sedalam-dalamnya.
Entah sudah berapa jam ia menjumpai kesunyian, menanti bus yang tak pasti datang. Mencari pemahaman dawuh yang telah keluar dari ucapan Kiai Padi. Matahari perlahan memunculkan sinarnya, santri itu mulai memahami kenapa ia bisa kesasar di tengah jalan, lalu ia betul-betul menyadari bahwa keberkahan tidak untuk dipertanyakan. Nilai tambahan suatu kebaikan berawal dari perbuatan yang baik, sebaliknya buruk pun akan buruk jika kelakuan sesuai dengan apa yang diniatkan. Mungkin begitu pula pertanyaan Kiai Padi mengenai agama. Mungkin nabi juga membuat perlawanan kepada orang yang bakhil, bukan perkara dari agama tetapi penindasan dan kekuasaan, lantas siapakah yang dusta?
Santri itu masih termenung dalam tatapannya, mencari jawaban itu. Apa harus kembali ke ndalem Kiai Padi?, ujarnya dalam hati. Ingin sekali menanyakan “Siapa yang mendustakan agama?” atau pertanyaannya bertambah menjadi dua, “Agama siapa yang dusta?” Lalu, ia melihat bus kota berhenti di depan halte tempat ia duduk. Ia pun melanjutkan perjalanan pulang.