Reporter : Diky Kurniawan Arief dan Baharuddin Chabib Chakim
Editor : Dwi Rachma Aulia
Proyek Underpass adalah salah satu proyek ambisius pemerintah Kota Surabaya. Proyek ini digadang-gadang sebagai solusi atas penanggulangan kemacetan. Namun, dalam pelaksanaanya proyek underpass mengakibatkan tercerabutnya hak warga Kampung Jemur Gayungan sehingga warga menjual tanahnya dengan harga yang murah.
FORMA (21/06) – Kami berkunjung ke Kampung Jemur Gayungan RT 01 RW 03 yang letaknya tak jauh dari Kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Kami hanya perlu menempuh jarak 1,6 KM saja menuju timur untuk sampai ke kampung tersebut. Kampung tersebut berada di sebelah Taman Pelangi yang lokasinya berada di Bundaran Dolog, jalan untuk putar balik menuju arah Wonokromo.
Kampung ini dibelah oleh dua jalan utama yang menjadikannya terimpit oleh aktivitas urban. Desing suara sepeda motor yang berlalu lalang dan ditambah dengan laju kereta api yang melintas, rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari warga Kampung Jemur Gayungan.
Saat menginjakan kaki di kampung tersebut, kami beristirahat sejenak di Poskamling. Dua selongsong meja kotor di depan pos menjadi penanda bahwa tempat ini kerap digunakan berkumpul orang.
Sejurus kemudian seorang laki-laki muda menyapa kami dan berkata,
“Kape nang ndi Mas? (mau kemana Mas),” tanya pria itu.
“Mau numpang istirahat dulu Mas,” jawab kami. Ia ikut duduk bersama kami seraya menyalakan rokok yang diambil dari saku celananya.
Tanpa ditanya, laki-laki tersebut langsung menceritakan keresahan warga tentang proyek underpass yang akan dibangun. Kami pun terkejut, seakan ia tahu tujuan kami kemari.
“Wong-wong wes kape pindahan kabeh wisan Mas, kape digosor Mas (orang-orang sudah mau pindah semua Mas, mau digusur Mas),” keluh pria bernama Abud saat bertemu kami 9 Mei lalu.
Dilansir dari Surabaya.go.id, Eri Cahyadi selaku Wali Kota Surabaya mengatakan bahwa underpass adalah jalur di bawah permukaan tanah untuk lintasan kendaraan yang dibangun guna meminimalisir kemacetan. Untuk merealisasikan proyek ini, Pemkot Surabaya akan berkolaborasi dengan pemerintah pusat. Dana yang dikeluarkan untuk proyek ini sangat besar yakni 80 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Karena digusur Abud mengatakan, bahwa kini satu per satu warga Kampung Jemur Gayungan RT 01 RW 03 mulai mengosongkan isi rumahnya. Tidak ada harapan bagi warga selain menjual tanahnya kepada Pemkot Surabaya. Untuk mengerti alasan mereka lebih jauh, kami dibekali nomor Ketua RT kampung guna menanyakan lebih lanjut.
Beberapa hari setelah itu, kami menemui Pak Anom yang menjabat sebagai Ketua RT Kampung Jemur Gayungan. Ia mengatakan bahwa jauh sebelum rencana pembangunan ini, Pak Anom adalah orang pertama di kampungnya yang mengetahui kampung tempat tinggalnya akan digusur.
“Beritanya sudah muncul di awal tahun 2023, namun masih belum pasti,” kenang pak Anom waktu bertemu kami pada 12 Mei lalu.
Maka, ketika warga menggelar syukuran akhir tahun 2023 yang sekaligus juga merupakan adat turun-temurun, Pak Anom pun memanfaatkan momentum itu untuk berdiskusi sekaligus memberi peringatan kepada warga tentang hal buruk yang terjadi ketika kampung ini digusur.
Esoknya, warga pun berbondong-bondong mengambil meteran untuk mengukur luas lahan rumahnya agar tahu berapa kisaran harga yang sesuai apabila digusur. Sekalipun, surat terkait dana pencairan lahan dari Pemkot Surabaya saat itu masih belum turun.
Namun, ancang-ancang mereka pupus seketika tatkala surat dari Pemerintah Kota Surabaya telah keluar pada awal Januari 2024. Pasalnya, harga yang mereka harapkan tak sesuai dengan harga yang ditawarkan oleh Pemkot Surabaya.
“Rumah-rumah yang pinggir jalan raya ini dihargai 30 juta per meternya, kalau yang tengah sini dihargai 20 juta per meternya,” jelas Pak Anom.
Total lahan di Kampung Jemur Gayungan berjumlah 27 persil (petak tanah untuk bangunan), namun hanya 6 persil saja yang sudah cair pembayarannya oleh Pemkot Surabaya pada bulan Mei, sisanya akan dibayar pada bulan Juni. Beberapa warga pun ada yang menolak, tapi kebanyakan dari mereka tidak ingin konsinyasi di Pengadilan Negeri. Sebab, surat ahli waris mereka akan diperiksa. Konsekuensinya bila ditemukan problem pada surat itu, nilai harga yang ditawarkan akan mengalami penyusutan.
Dalam konsinyasi, jika warga yang tidak mempunyai sertifikat hak milik akan terkena sanksi berupa pemotongan harga. Konsinyasi adalah suatu bentuk kerjasama antara dua pihak di mana satu pihak (konsinyor) dalam kasus ini adalah Pemkot yang menyerahkan barang dagangannya kepada Pengadilan Negeri (konsinyi) untuk dijual. Dalam perjanjian ini, konsinyor tetap memiliki barang tersebut sampai barang itu terjual oleh konsinyi. Konsinyi akan mendapatkan komisi atau sebagian dari keuntungan setelah barang tersebut berhasil dijual.
SKT-pun tak luput dari pemeriksaan ketat oleh Pengadilan Negeri. SKT (Surat Kepemilikan Tanah) memberikan kejelasan hukum mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak yang terlibat dalam konsinyasi. Ini termasuk detail seperti siapa yang memiliki barang sampai terjual, bagaimana pembagian keuntungan, tanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang, dan prosedur penyelesaian sengketa. Dengan adanya SKT maka kedua pihak memiliki perlindungan hukum yang jelas, mengurangi risiko perselisihan di masa depan dan tentunya sebagai bukti kepemilikan tanah yang sah.
Karena tak mau bermasalah dengan hal administratif yang rumit semacam itu, ada sebagian warga yang rela menjual tanahnya dengan harga murah sebagaimana ditawarkan oleh Pemkot Surabaya. Namun, ketimpangan harga antara rumah yang di pinggir jalan raya dengan rumah tengah kampung bukan tanpa masalah. Pak Anom khawatir bahwa hal tersebut dapat menimbulkan kecemburuan warga yang rumahnya berada di tengah kampung.
Kendati demikian, rumah warga yang berada di pinggir jalan raya juga merasa tak sesuai dengan harga yang ditawarkan oleh Pemkot Surabaya. Pak Anom yang rumahnya berada di sana berpikir bahwa harga 30 juta per meter tak akan cukup untuk membeli rumah baru yang layak di Surabaya. Bidang tanah yang mahal di Kota Surabaya membuat beberapa warga memilih alternatif pindah ke Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Pasuruan.
Masalah yang menimpa warga tak berhenti di sini. Ternyata terdapat regulasi mengenai sempadan sungai yang berisi larangan untuk mendirikan bangunan di atas sungai. Regulasi tersebut ditetapkan demi melindungi ekosistem sungai, mencegah kerusakan lingkungan, dan mengurangi resiko banjir. Sialnya, beberapa rumah warga berdiri melebihi batas sempadan sungai. Rumah warga yang berdiri di atas sempadan sungai, akan dipotong harga tawarnya oleh Pemkot Surabaya sesuai garis batas yang dilewati bangunan rumah. Hal ini membuat warga semakin putus harapan. Namun, ada kejanggalan dalam hal ini. Jika dilihat dalam peraturan penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR Bab III Pasal 7, menetapkan bahwa garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, yakni ditentukan paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.
Sedangkan, utusan Pemkot Surabaya mengatakan bahwa sempadan sungai ini paling sedikit berjarak 5 meter dengan beralaskan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang pengelolaan sungai. Untuk mengatasi kebingungan itu, warga sepakat untuk mendatangkan Armuji ke Kampung Jemur Gayungan RT 01. Wakil Walikota Surabaya itu pun datang pada bulan April untuk membantu permasalahan warga terkait sempadan sungai. Dalam kunjungannya ke Kampung Jemur Gayungan, Armuji ditemani orang utusan Pemkot Surabaya dan Lurah. Dalam kunjungan itu, terjadi perdebatan antara mereka dengan warga Kampung Jemur Gayungan.
Utusan Pemkot Surabaya itu bersikukuh bahwa sempadan sungai berjarak 5 meter yang didasarkan pada Peraturan Daerah Jawa Timur. Namun, ketika dimintai bukti keterangan yang sah dan valid oleh warga, ia hanya diam dan tidak memberikan jawaban. Warga pun kembali menunjukkan bukti melalui Bab III Pasal 7 oleh PUPR soal Perda Provinsi Jatim, mereka menyodorkan Pasal 11 ayat 4 Nomor 18 Tahun 2016 tentang pengelolaan sungai yang menyatakan, “Sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan, dengan garis sempadan sungai paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.”
Namun, Armuji justru menjawab bahwa hal tersebut tak sesuai dengan bukti. Sama dengan utusan Pemkot, ia menganggap bahwa sempadan sungai berjarak 5 meter. Maka, Pak Anom selaku Ketua RT tak tinggal diam dengan membuat laporan ke PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) Kota Surabaya terkait garis sempadan Sungai Kebon Agung secepatnya.
Namun, Jauh sebelum permasalahan pembangunan Underpass dan pelebaran jalan. Dulunya Kampung Jemur Gayungan RT 01 merupakan satu kesatuan dengan RT 02. Dengan seiring bertambahnya tahun, maka bertambah pula kepadatan penduduk Kota Surabaya yang mengakibatkan meledaknya volume kendaraan bermotor. Maka, Pemkot Surabaya berinisiatif untuk melebarkan Jalan Ahmad Yani.
Soekamto Hadipati, sebagai salah satu tetua kampung menuturkan bahwa dulunya kampung tempat tinggalnya masih terhubung dengan kampung yang sama di sebelah barat.
“Mbiyen sak durunge ono dalan gede iki sek nyambung nang kampong kono (dulu sebelum ada jalan besar masih terhubung ke kampung sana),” ujar Soekamto.
Menurutnya, awal mula adanya kampung di tengah jalan ini karena pembangunan pelebaran jalan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya yang dimulai pada tahun 1974. Kemudian pada tahun 2017 juga dilakukan pelebaran jalan lagi untuk jalur putar balik dari arah Gayungan ke arah Rungkut dan Sidoarjo.
“Taman Pelangi iku tanahe Dolog, dituku Pemkot (Taman Pelangi itu tanahnya Dolog, dibeli Pemkot),” ujar pria baya tersebut.
Ketika dulu masih muda, Soekamto masih bisa merasakan pergi berkunjung ke RT 02 tanpa harus menyebrang jalan terlebih dahulu. Sebab, jalan masih belum selebar sekarang. Namun, semenjak saat itu warga yang hendak pergi kemana pun susah karena ruang gerak kampung yang terbatas dihimpit dua jalan besar yakni Jalan Ahmad Yani.
Dan rumornya, pada tahun-tahun berikutnya pembangunan underpass juga akan dibangun di perempatan Margorejo dan persimpangan Wonokromo. Pemkot berdalih jika underpass adalah untuk mengurangi kemacetan.
Sungguh disayangkan, pemerintah Kota Surabaya sangat tergesa-gesa dalam memutuskan suatu perkara. Seharusnya jika problem utama kota yakni kemacetan maka yang seharusnya dibangun adalah kesadaran warganya untuk mendigdayakan transportasi massal, seperti Suroboyo Bus, Feeder Wirawiri, atau lyn. Bukan malah justru memperlebar jalan atau malah membangun underpass guna menanggulangi kemacetan.
Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Indonesia semakin meningkat. Orang-orang dari desa atau kabupaten berbondong bondong pergi ke kota untuk merantau mempertaruhkan hidupnya. Kota menjadi semakin padat sebab menjadi pusat bisnis dan lahan baru bagi pencari kerja.
Hal ini pernah disampaikan Tiara Uci, Jurnalis Terminal Mojok yang mengeluh tentang transportasi dan jalanan Kota Surabaya. Menurutnya, seharusnya Pemerintah Kota Surabaya lebih bijak lagi dalam menyikapi permasalahan urbanisasi dan kemacetan. Membangun kesadaran warga untuk menggunakan transportasi umum, bukan justru sebaliknya yang sama saja memberi panggung bagi kebisingan, asap polusi, dan kepadatan.
Uci mendukung peningkatan infrastruktur transportasi massal dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Dengan begitu diharapkan dapat mengurangi kemacetan secara signifikan. Langkah ini juga dinilai lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Selain itu, solusi yang ditawarkan pemerintah dengan adanya pembangunan jalan underpass adalah solusi yang salah. Sebab, memang kenyataanya melalui jalan underpass hasilnya lebih terlihat secara cepat. Namun, transportasi umum adalah solusi kemacetan jangka panjang yang paling efektif.
Memang, pada kenyataanya transportasi publik tidak langsung laris begitu saja. Sebab, warga Surabaya harus dibiasakan untuk menggunakan transportasi massal. Tentu susah, namun hal ini merupakan bagian dari usaha bersama yang akan melepaskan dari kebiasaan buruk ketergantungan pada kendaraan bermotor.
Ketika kami akan angkat kaki dari kampung, beberapa warga terlihat sedang mengangkat perabotannya. Mereka memasukkan barang-barang ke dalam angkutan pickup sampai isi rumah telah habis dipindahkan seluruhnya. Sekarang kita hanya menunggu waktu.
*Nama disamarkan untuk menjaga identitas Narasumber
Tulisan ini menggunakan sudut pandang orang pertama (Jurnalisme Gonzo).