Penulis: M. Akbar Darojat Restu

Editor: Chintya Octavia SH

Apa yang anda rasakan dan pikirkan ketika mendengar kata PKI atau komunis? Kekejaman, kebejatan, ataukah tidak bertuhan? Barangkali sederet konotasi negatif itu yang muncul di benak anda. Namun, apakah anda pernah memikirkan ulang mengapa PKI bisa dicap seperti itu? Atau bahkan justru anda menerima stigma itu tanpa pernah mencari tahu atau bahkan tak mau tahu karena merasa tidak mempunyai kontribusi signifikan bagi kehidupan anda?

Kebanyakan orang Indonesia barangkali berpendapat bahwa stigma tersebut tak terpisah dari tindakan PKI selama konstelasi politik di Indonesia pada tahun 60-an. Konon, selain mendesiminasi ajaran atheis, PKI juga beritikad untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Hal ini bisa diidentifikasi dari tragedi pembunuhan terhadap enam jenderal loyal di Lubang Buaya yang juga konon dilakukan oleh PKI.

Jika memang demikian, apakah untuk mengadili PKI harus dengan membantai seluruh anggotanya, simpatisannya dan bahkan orang yang dianggap mempunyai kedekatan dengan anggotanya? Mungkin anda akan menyeletuk, “emang pernah ada kejadian seperti itu?” Ada dan bahkan merupakan peristiwa genosida terbesar yang pernah terjadi di dunia.

Namun, peristiwa tersebut memang tak pernah dicatat dalam buku-buku sampah yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi. Dari dulu hingga sekarang, pemerintah berusaha untuk menyembunyikan kebenaran sejarah tersebut dan hanya menyuguhkan sekaligus mendramatisir peristiwa pembunuhan enam jenderal tersebut. Persis dalam konteks tersebut, film Jagal patut untuk diulas.

Judul film: Jagal (The Act of Killing)

Sutradara: Joshua Oppenheimer

Genre: Dokumenter/Sejarah

Durasi: 2 jam 2 menit

Pemain: Anwar Congo, Herman Kotto, Syamsul Arifin, Haji Anif, Adi Zulkardy, Sakhyan Asmara, Soaduon Siregar, Suryono, Haji Marzuki, Ibrahim Sinik, Safit Pardede, Japto Soerjosoemar, Jusuf Kalla

Film dokumenter yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer ini menceritakan tentang pembunuhan terhadap orang PKI yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Anwar Congo, Herman Kotto, Safit Pardede, dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok pemuda bioskop merupakan eksekutor dalam tragedi tersebut. Mereka tega melakukan tindakan bejat tersebut, salah satunya, disebabkan karena orang PKI telah memblokir lapangan pekerjaan mereka.

Patut untuk diketahui bahwa sewaktu muda mereka merupakan preman yang pekerjaannya memalak orang-orang yang mampir ke bioskop, Namun, sejak PKI melarang peredaran film-film Amerika demi meng-counter ideologi kapitalisme, mereka tidak bisa lagi memalak orang. Akhirnya, mereka kerap kelaparan dan luntang-lantung di pinggir jalan.

Dalam melaksanakan aksi pembunuhan, mereka menggunakan berbagai cara yang terkadang meniru gaya-gaya pembunuhan yang terdapat dalam film. Anwar Congo mengaku bahwa ia membunuh orang-orang PKI dengan mencekik leher mereka menggunakan kawat sembari menenggak alkohol dan mendengarkan lagu.

Gaya pembunuhan itu dilakukan demi meminimalisir jumlah darah yang akan menyembur. Gaya yang agak seirama dimanfestasikan dalam tindakan menempatkan leher satu atau dua orang PKI di kaki meja yang kemudian diduduki sembari menyanyi dengan besorak ria.

Ada juga aksi pembunuhan yang dilakukan dengan lebih kejam. Mereka menceritakan dan mereka ulang peristiwa tersebut dengan bangga. Pertama-tama, mereka datang ke suatu kampung dan membakar rumah orang-orang PKI. Kemudian mereka menangkap secara paksa atau membunuh orang-orang PKI secara langsung tanpa mempedulikan jerit tangis anak dan istri mereka. Pembunuhan yang paling kejam adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menghantam, menendang, membacok tubuh orang PKI, dan diakhiri dengan meminum darah serta memakan organ tubuhnya.

Meski demikian, mereka tak pernah bersalah atas tindakan tersebut. Dengan berbagai dalih, mereka tetap mempertahankan kepercayaan bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Tindakan tak manusiawi itu, bagi mereka, tak masalah untuk dilakukan. Bahkan, salah satu dari algojo mengaku jauh lebih sadis dan kejam dari PKI.

Terlepas dari itu, mereka sekarang menjadi orang-orang terhormat dan disegani masyarakat. Mereka dapat menjadi tokoh masyarakat dan bahkan beberapa dari mereka merangkak naik menjadi orang-orang yang bekerja di pemerintahan. Privilese-privelese itu mereka dapatkan sebagai bentuk balas budi atas kerja-kerja pembunuhan yang mereka lakukan.

Nasib mereka berbanding terbalik dengan orang-orang PKI yang tak dibunuh, di mana mereka diasingkan di penjara atau pulau buru tanpa pernah diadili; dan setelah dibebaskan hak-hak mereka tercerabut. Mereka juga harus menyiapkan mental dalam menghadapi cercaan dan sikap permusuhan yang diperlihatkan oleh para tetangga. Yang cukup menyedihkan ialah akses mereka atas lapangan pekerjaan telah ditutup oleh pemerintah, sehingga mereka kesulitan dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Apa yang disodorkan dalam film ini, secara implisit, ialah mengangkat wacana rekonsiliasi. Keluarga pembunuhan 65 mesti mendapatkan kembali hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Mereka adalah manusia pada umumnya yang layak dimanusiawikan. Memang wacana rekonsiliasi pernah digulirkan oleh para aktivis, peniliti, dan penyintas dalam organisasi IPT (Indonesia People Tribunal). Tapi pemerintah justru tidak mendukung dan menuduh mereka bermaksud menyebarkan ajaran komunis.

Langkah yang cukup progresif pernah diadakan oleh Gus Dur. Selain meminta maaf (walaupun Pramoedya Ananta Toer yang merupakan korban 65 menolaknya), Gus Dur juga mencabut TAP MPRS tentang pelarangan ajaran marxisme/leninisme/komunisme. Sikap itu diambil karena menurut Gus Dur ideologi merupakan sesuatu yang berada di otak manusia sehingga adalah kesia-siaan bila melarangnya.

Karena itu, pemerintah sebagai wakil bangsa Indonesia mesti meminta maaf kepada para korban 65. Maaf di sini mesti dipijakkan dalam konsepsi Derridean, di mana maaf inheren dengan keadilan. Derrida mengkritik kecenderungan basa-basi dan seremonial dalam meminta maaf. Ini merupakan model maaf transaksional, sebagaimana kerap dipraktikkan oleh negara-negara yang mengeksponen impunitas.

Bagi Derrida, maaf harus digenjot hingga titik ketakbersyaratan karena pelaku bukanlah subjek yang berdaulat di hadapan korban. Pelaku mesti tunduk pada imperatif korban, yang tak bersyarat dan yang tak terbatas.

Namun, korban tak boleh mengejar keterbatasan ketika memberikan maaf. Dengan kata lain, korban tak boleh memberi syarat syarat konsesi atau keuntungan ekonomis ketika memberikan maaf. Misalnya, korban bersedia memberi maaf asalkan pelaku harus dihukum seberat-beratnya atau merasakan penderitaan yang dulu pernah dialami korban. Pemberian maaf model ini akan terpasung dalam logika penghukuman yang justru tidak akan memberikan makna keadilan yang hakiki.

Sebab, hal ini justru mengawetkan kekerasan karena mentransformasi korban menjadi pelaku dan pelaku menjadi korban. Dalam arti tersebut, pemerintah mesti meminta maaf yang disertai dengan sikap menyesal untuk tidak mengulangi kejadian itu di kemudian hari; dan tentu saja memberikan keadilan sepenuhnya kepada korban 65. Di samping itu, korban 65 mesti memaafkan pelaku dan tidak berniat untuk membalas dendam.