Surabaya Waterfont Land merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) di Jawa Timur. Tujuan proyek ini ialah membangun pulau buatan yang akan dipenuhi pemukiman elite. Meskipun rencana reklamasi ini ditolak mentah-mentah oleh kelompok nelayan karena dampaknya yang mengancam ekosistem pesisir dan mata pencaharian mereka, Namun PT. Granting Jaya sebagai kontaktor tetap berambisi mendapatkan persetujuan Amdal dari berbagai pihak untuk melancarkan pembangunan.

Penulis: Diky Kurniawan Arief

Editor : Muhammad Chaidar

Tulisan ini merupakan lanjutan Feature yang berjudul “Kami Rela Mati Demi Laut Ini: Cerita Nelayan Sukolilo Nambangan Menolak Reklamasi” sekaligus menjelaskan perkembangan isu-isu reklamasi Surabaya Waterfont Land.


Sinar matahari begitu terik pada siang hari 3 september 2024, di saat Julyan Fathir (20) masih terlelap  di rumahnya. Dering ponsel yang memekik tiba tiba menggugah tidur siangnya. Lelaki itu bangkit, dengan mata mengantuk ia membaca pesan teks dari seorang kawan yang tinggal sekampung dengannya.

“Ayo cak, iku nang Kenpark onok demo” (Ayo mas, itu di Kenpark ada demo)

Tanpa berpikir panjang Fathir segera mempersiapkan diri dan bergegas menuju Kenjeran Park (Kenpark).

Letak Kenpark tak jauh dari kampung Sukolilo. Hanya berjarak 1,8 kilometer ke arah selatan yang secara administrarif keduanya termasuk bagian dari Kecamatan Bulak Surabaya Utara.

Fathir merupakan anak kedua Handoko. seorang nelayan di Sukolilo yang dituakan oleh warga sekitar dan kelompok nelayan disana. Sedangkan Fathir, baru menjadi nelayan di usia 20 tahun, usianya sekarang.

Ketika Fathir, dan kelompok nelayan lainnya sampai di Kenpark. Ia melihat ratusan nelayan dan warga yang dihadang oleh para polisi. Sebab, aparat kemanan tersebut melarang demonstran masuk ke dalam Kenpark.

“Nelayan-nelayan dari Keputih sampai Nambangan Cumpat itu datang Semua (untuk menyampaikan aspirasi)” kenang Handoko ayah Fathir pada 7 September 2024 ketika ditemui LPM Forma.

Suasana demonstrasi di pintu masuk Kenpark (Photo by Forma)

Hari itu merupakan momen pertemuan antara perangkat desa dan tokoh masyarakat yang diundang PT Granting Jaya, Kontraktor dibalik proyek Surabaya Waterfont Land. Tujuan pihak kontraktor mengudang mereka ialah berdiskusi tentang Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) yang menjadi syarat pelaksanaan proyek tersebut.

Sebab, sebelum melakukan reklamasi, perusahaan harus melewati beberapa tahap untuk mendapatkan perizinan reklamasi; seperti peta titik lokasi, kajian ilmiah, Amdal, dan konsultasi publik.

Hal itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 25/PERMEN-KP/2019 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil pada Bab I Pasal 1 Nomor 6 dan Bab V pasal 14 Nomor 1.

Meskipun spanduk kritik dan orasi dari para nelayan terus menggelegar di pintu masuk Kenpark itu, mereka tetap tidak diperbolehkan masuk ke dalam kenpark. Situasi buntu itu berlangsung hingga pukul 14.00 siang, lantas massa aksi menerobos gerbang sambil berteriak.

“Wes ayoo bukak ae” (Sudah ayo buka saja) kenang Fathir menceritakan kejadian.

Situasi semakin tak terkendali. Tamu undangan dan pengelola Kenpark-pun terpaksa mengakhiri pertemuan rapat saat siang itu.

Rapat tersebut hanya diisi tokoh masyarakat kampung dan satu kelompok usaha bersama (KUB). KUB merupakan wadah solidaritas antar nelayan, ada sekitar 32 KUB di pesisir Surabaya, tetapi hanya ada satu KUB yang diundang.

Kelompok nelayan yang pencahariaanya tergantung pada hasil laut hanya beberapa orang saja yang dilibatkan, padahal dampak reklamasi ini mempunyai pengaruh besar ke nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut.

“Pokoknya yang diundang KUB satu aja, itu aja gak disebut KUB mana” terang Rohim Ketua KUB teripang di Sukolilo pada Kamis 12 September 2024.

Menjaring Harapan

Huru-hara rencana proyek Surabaya Waterfont Land ini terus menghantui kelompok nelayan di seluruh pesisir Surabaya. Apalagi, proyek ini termasuk PSN yang langsung ditangani pemerintah pusat, Presiden RI Joko Widodo. Menurut kelompok nelayan, kemungkinan proyek ini dibatalkan begitu kecil

Meski begitu, semua kelompok nelayan pesisir Surabaya dari Tambak Wedi, Nambangan, Sukolilo, hingga Keputih terus melakukan penolakan dengan gugatan hukum maupun gerakan kolektif antar nelayan.

Sebab, jika laut tersebut akan direklamasi, kelompok nelayan takut jika ekosistem laut akan mati dan mata pencaharian nelayan akan terancam.

Begitu pula Fathir. Memang, usia Fathir yang berusia 20 tahun terbilang masih muda untuk ukuran seorang nelayan. Meskipun begitu, ia menaruh perhatian lebih ke ekosisetem laut Surabaya.

Alasan ia menjadi nelayan pun, sama seperti ayahnya dulu, yakni meneruskan pekerjaan ini turun temurun, dan mulai berlayar saat masih duduk di bangku kelas 2 SMP.

“Itu (awal awal) cuma libur sekolah diajak bapak (melaut), daripada ga lapo-lapo nang omah” kenang Fathir sewaktu SMP.

Dahulu ketika masih SMP, lanjut Fathir, sepanjang pantai pesisir utara surabaya masih berpasir dan dipakai warga serta wisatawan untuk bermain bola di sana. Tapi lambat laun pasir itu berubah menjadi lumpur karena air laut yang naik.

Gak ono reklamasi ae koyo ngene, ndanio ono reklamasi, opo gak tambah rusak laut e” (Tidak ada reklamasi saja seperti ini, apalagi ada reklamasi) ujarnya

Fathir (kanan) menjaring ikan bersama Ayahnya (kiri) saat malam hari. (Photo by Forma)

Menjadi nelayan tidak segampang membalikan telapak tangan. Fathir menjelaskan, Tantangan alam seperti pergantian cuaca dan arah mata angin akan mempengaruhi hasil tangakapan ikan.

Nelayan harus jeli menghadapi cuaca ekstrim, sehingga perlu belajar memprediksi konsisi laut dengan mengamati bulan purnama, kemudian menjaga kesehatan saat berlayar, sampai urusan bahan bakar perahu. Dan biasanya, nelayan menghitung terlebih dahulu kalender Jawa jika akan berlayar.

“Hitunganya itu tidak lepas dari kalender Jawa kalo nelayan, nggak pake tanggal umum soalnya” ujar Handoko. 

Ada beberapa bulan dalam kaleder Jawa yang mengisyaratkan nelayan untuk pergi berlayar malam hari dan ada pula pagi hari. Sebab mengikuti perubahan arah mata angin.

Tapi, kini reklamasi muncul sebagai tantangan baru. Bukan hanya alam yang mereka hadapi, tetapi juga perampasan lahan laut yang mengancam kehidupan mereka.

Mengambil Pelajaran Dari Muara Angke

Meskipun Fathir terbilang nelayan muda, tapi perhatianya terhadap kelautan tak diragukan lagi. Ia tak ingin pesisir Surabaya akan bernasib sama seperti di Jakarta.

Yang terjadi di Muara Angke seperti penurunan hasil tangkapan nelayan dan minimnya air bersih merupakan bukti nyata dari dampak reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta. Melalui persoalan tersebut banyak nelayan Surabaya gelisah terhadap janji janji PT Granting Jaya.

“Lah lek misale reklamasi iki terjadi, yok opo biota-biota laut e” (Lah kalau semisal reklamasi ini terjadi, bagaimana tentang biota biota lautnya) katanya.

Project Multatuli melalui Feature Alfian Putra Abdi dan Evi Mariani yang berjudul “Nelayan Kecil di Muara Angke: Rakyat Paling Alot Mencari Sejahtera Bersama” memaparkan tentang krisis air bersih, banjir rob, dan pencemaran air laut yang terjadi di Jakarta.

Fathir-pun, seperti nelayan lainya. Tak ingin mimpi buruk itu terjadi di Surabaya, Fathir tak ingin laut Surabaya dieksklusifkan untuk kelas tertentu saja.

Para Nelayan dan Pedagang Sukolilo gotong royong membenahi perahu (Photo by Forma)

“Saiki kan enak wes langsung berdampingan dengan laut. engko lek semisal e dibangun reklamasi? Akses nang laut e tambah sulit” (Sekarang enak masih berdampingan dengan laut. Nanti semisal direklamasi, akses ke laut tambah sulit)

Dilansir dari Surabaya.suaramerdeka.com Agung Pramono selaku juru bicara PT Granting Jaya mengatakan bahwa sosialisai tentang AMDAL tidak berhenti sampai disini, ada beberapa tahapan yang lama dilewati.

“Jadi jangan punya pikiran kalau sudah melakukan AMDAL besok si pengembang sudah mau ngapain, itu masih terlalu jauh” terangnya.

Perjuangan kelompok nelayan se-Surabaya belum berhenti sampai disini. banyak kemungkinan manuver perusahaan akan terjadi. Artinya, membuka kemungkinan ada persoalan persoalan baru yang akan dihadapi kelompok nelayan Surabaya.


Pembaca bisa membaca laporan sebelumnya yang berjudul: “Kami Rela Mati Demi Laut Ini: Cerita Nelayan Sukolilo-Nambangan Menolak Reklamasi”

Galeri Liputan: