Penulis : Diky Kurniawan Arief

Editor : Dwi Rachma Aulia

Musik tidak hanya sebatas menghibur. Namun, juga menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan perlawanan dan kritik sosial. Ini menjadi semacam jembatan baru dalam kebebasan berekspresi. Mulai dari musik genre Rock, Indie, Hip-hop, hingga Punk yang selalu tajam mengupas isu isu sosial.

Buat penggemar musik era 2000-an pasti tidak asing lagi dengan Green Day, band punk asal California. Band musik tersebut terkenal akan lirik-liriknya yang banyak menuai perhatian. Salah satunya yang paling kontoversial yakni lagu “American Idiot” yang rilis pada September tahun 2004 dengan judul album yang sama pula. Memang judul lagu maupun album ini banyak yang mengangap telah menghina dan merendahkan rakyat USA. Namun, dibalik itu semua ada pesan penting yang ingin disampaikan oleh Billie Joe Armstrong tentang negaranya.

Don’t wanna be an American idiot

Tidak ingin menjadi orang Amerika idiot

Don’t want a nation under the new media

Tidak ingin suatu bangsa berada di bawah media baru

And can you hear the sound of hysteria?

Dan bisakah Anda mendengar suara histeria?

The subliminal mind f**k America

berpikiran bawah sadar, F**k Amerika

Dari lirik awalan tersebut bisa kita tangkap bahwa vokalis Green Day, Billie Joe Armstrong mengkritik orang Amerika yang tidak kritis atau mudah dibodohi oleh media dan propaganda. Terlebih lagi banyak media yang ditunggangi oleh kepentingan politikus demi tercapainya tujuan dengan cara penggiringan opini yang dilakukanya. Ini berarti media tidak bisa menjaga integritas dengan banyaknya intervensi tersebut. Apalagi berada di zaman serba digital yang bersifat Post Thruth. Sebuah televisi diibaratkan sebuah bola peramal yang meramalkan masa depan sehingga dengan mudahnya menghipnotis pikiran masyarakat dengan apa yang mereka tontonkan. Media dapat membentuk dan memanipulasi persepsi masyarakat melalui berita yang sensasional nan bias.

Welcome to a new kind of tension

Selamat datang di ketegangan jenis baru

All across the alien nation

Di seluruh bagian negara

Where everything isn’t meant to be okay

Dimana semuanya tidak boleh untuk baik-baik saja

In television dreams of tomorrow

televisi, harapan hari esok

We’re not the ones who’re meant to follow

Bukan kita yang seharusnya mengikuti

For that’s enough to argue

Karena itu sudah cukup untuk berdebat

Dalam kedalaman bait-bait berikutnya, dengan meluap- luap Green Day menggambarkan bagaimana situasi sosial dan politik di Amerika Serikat pada saat itu, khususnya mengenai pengaruh media. Apabila ditarik ke belakang melihat sisi historisnya, lagu ini muncul setelah peristiwa 9/11 dan invasi Amerika ke Iraq. Lirik “Where everything isn’t meant to be okay” menjadi semacam sindiran Armstong bahwa segala sesuatunya memang dirancang untuk tidak berjalan dengan baik. Lagu tersebut mengkritik bagaimana struktur kekuasaan dan media menciptakan ketidakstabilan serta ketidakpuasan dalam masyarakat.

Secara tidak langsung, Green Day menyatakan bahwa mereka beserta para pendengarnya menyerukan untuk berpikir kritis, mandiri, dan menolak mengikuti arus tanpa skeptis terlebih dahulu. Masyarakat tidak harus mengikuti norma atau panduan yang ditetapkan oleh media maupun pemerintah. Hal seperti ini lumrah saja dalam Punk, karena kultur Punk sendiri terbentuk atas penolakan terhadap norma yang konstuktif. Punk menolak dengan anggapan bahwa norma-norma sosial, budaya, dan politik dapat mengekang kebebasan individu. Sesorang bebas melakukan apa saja yang dia mau tanpa ada tekanan atau batasan tertentu. Hal ini kemudian tercermin dalam musik, fashion, dan cara hidup sebagai perlawanan mereka dalam mengkitik pemerintahan. Gerakan ini sering kali bersifat anti-otoriter atau anarkisme.

Lantas, bagaimana dengan media massa di Indonesia?

Kita semua tentu tak asing lagi dengan berbagai berita yang muncul akhir-akhir ini, seperti isu politik 2024, isu kemanusiaan di Indonesia Timur, permasalahan geopolitik dan agraria. Begitu juga tentang orang yang memakai rompi oranye karena kasus korupsi sampai dengan informasi dampak perang di palestina. Ini semua tentu menjadi topik hangat bagi para pembaca dalam merespon itu semua. Namun, jika kita melihat paragraf-paragraf sebelumnya, tentunya sebagai pembaca perlunya bersikap skeptis terlebih dahulu dalam mencerna berbagai informasi. Begitu juga sebaliknya, media massa harus berpegang pada sejumlah prinsip etika yang profesional dan esensial. Dengan berprinsip pada etika jurnalistik yang ketat seperti kebenaran atau akurasi data, transparan, serta bersikap netral untuk kepentingan publik.

Namun, baru-baru ini kita dihadang oleh batu besar dalam dunia jurnalistik. Permasalahan tentang kebijakan RUU penyiaran. Pelarangan itu ada dalam Pasal 50B ayat (2) dalam RUU Penyiaran. Draf RUU penyiaran tersebut hanya tinggal beberapa langkah saja akan masuk ke tahap penetapan. Ini menjadi tembok penghalang yang merenggut independensi pers serta dapat membunuh media juga para jurnalis. Karena, didalamnya mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Negara yang seharusnya memberikan ruang kebebasan bagi semua orang, kini malah merampasnya.

Bayangkan, kelak pada suatu masa dimana ketika seseorang mengkritik suatu instansi, kebijakan, atau apapun itu lewat media tulisan atau visual. Mungkin kelak orang tersebut masih bisa menyampaikan pesan yang ingin dia sampaikan, tetapi bukan berinteraksi dengan masyarakat lagi melainkan jeruji-jeruji besi.

Do Wanna Be An Indonesian Idiot?