Penulis : Baharudin Chabib Chakim

Editor : Dwi Rachma Aulia

Tulisan kali ini, saya ingin berkomentar mengenai beredarnya kasus yang dapat dipastikan seluruh mahasiswa UINSA mengetahui bahkan sampai tersebar luas ke dalam media-media pers luar UINSA. Tepatnya dalam tulisan ini, saya ingin menguak fakta dua kasus skandal oleh mahasiswa UINSA, dan satu kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen IBA/I (Intensif Bahasa Arab/Inggris) FSH (Fakultas Syari’ah dan Hukum). Terkait dua berita kasus skandal tersebut saya hanya berhasil menggali data salah satu kasusnya. Sementara satunya yaitu kasus skandal grepe-grepe pantat, saya telah mendapatkan informasi dan menemukan narasumber. Namun dalam penggalian data tersebut, narasumber tidak ingin untuk membeberkan perbuatan pelaku. Sementara untuk kasus pelecehan seksual sendiri, saya mendapatkan informasi dilansir dari LPM Arrisalah. Mengenai tempat kejadian dua kasus skandal tersebut, saya telah menemukan lokasinya yang berada di kampus 2 UINSA Gunung Anyar tepatnya gedung Fakultas Saintek dan di jalan antara Fakultas Dakwah dengan Fakultas Tarbiyah.

Berkomentar dengan dua kasus skandal tersebut, saya menanyakan bagaimana tanggung jawab rektor. Saya mengetahui dua kasus skandal memang ulah mahasiswa yang birahi. Namun perlu dicatat bahwa rektor juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Hal itu membuktikan kebobrokan dari rektor, bagaimana bisa kocolongan kasus skandal sampai beredar ke masyarakat luas. Begitu juga saya menilai bahwa rektor telah lalai dalam menjaga lingkungan akademis kampus yang seharusnya digunakan untuk belajar dan membuka ruang diskusi. Namun, saat ini telah beralih fungsi menjadi tempat skandal.

Sementara itu, tersebarnya dua kasus skandal tersebut juga merupakan suatu hal yang memalukan bagi pelaku. Bagaimana tidak, nama baiknya sudah tercemar dengan tersebarnya CCTV atau video perbutannya. Bahkan, salah satu dari dua kasus tersebut kena drop out dari pihak kampus. Andaikan saja pelaku cerdas sedikit, pasti dia akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib dengan UU ITE pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Sayangnya bercumbu di lingkungan kampus saja sudah merupakan hal yang bobrok, tidak mungkin dia dapat berpikir sampai sejauh ini.

Selain itu, pada kasus skandal grepe-grepe pantat narasumber berpendapat, “Kasus ini merupakan sebuah kasus yang memalukan jika diungkapkan, apalagi kampus yang kamu tempati merupakan kampus dengan klaim UINSA. Apa kata masyarakat jika kampus dengan nama UINSA ternyata ada kasus skandal di dalamnya”. Menurut saya, hal ini merupakan pola pemikiran yang sangat bobrok karena sudah dari dulu nama UINSA buruk. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai kasus dan kebijakan-kebijakan rektor yang bobrok. Bobrok disini dapat dibuktikan dengan kebijakan rektor tentang restrukturalisasi UKM, registrasi ulang mahasiswa baru dengan menyertakan surat mampu membayar UKT yang didalamnya menolak permohonan peninjauan ulang, kasus pemukulan dan senioritas dalam kampus, serta kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen IBA/I FSH. Namun, kenapa nama UINSA baru dinilai bobrok hanya dengan mengungkap kasus skandal. Perlu diketahui untuk para pembaca bahwa, nama UINSA sudah buruk sejak lama serta disinilah peran pers yang bukan merupakan humas kampus.

Saya akui sikap rektor dalam menindak lanjuti kasus ini cepat tanggap. Namun sayangnya,  sikap yang dilakukan rektor dalam merespons kasus ini sangat mengecewakan. Rektor hanya meriliskan kode etik mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan. Sangat besar harapan saya, rektor dengan sikap tegasnya mengeluarkan sebuah kebijakan efektif yang dapat menanggulangi kasus ini. Bukan hanya sekedar peraturan yang sifatnya benda mati saja, seperti penambahan satpam setiap fakultasnya atau perlu adanya penertiban ulang.

Mari lanjut membaca dan jangan keburu skip. Karena pada paragraf kali ini, saya ingin mengomentari tentang tugas satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Fakultas Syariah dan Hukum. Menurut saya, satgas PPKS FSH telah gagal dalam menjaga mahasiswi di fakultas tersebut. Sesuai dengan pendahuluan yang saya tulis pada paragraf pertama, bahwa telah terjadi kasus pelecehan seksual nonverbal yang telah dilakukan oleh oknum dosen IBA/I FSH. Respons saya dengan terjadinya kasus ini ialah saya berpikir, jika kasus seperti ini dapat terjadi maka selama ini apa yang telah dikerjakan oleh satgas PPKS. Begitu juga oknum pelaku merupakan seorang dosen yang bisa diakui keilmuannya, bisa-bisanya bobrok seperti mahasiswa skandal. Sebenarnya apa yang mereka pelajari selama ini, sampai bisa melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswi. Kalau sange nikah sekalian aja sama mahasiswinya, untuk apa pake chatting-chatting gak jelas seperti pacaran saja. Orang mau melangkah ke jenjang pacaran saja masih perlu PDKT, anda selaku dosen bisa-bisanya chat mahasiswi layaknya pacar anda sendiri.

Dengan terjadinya tiga kasus tersebut, saya menyimpulkan dan memberikan judul untuk tulisan kali ini adalah UINSA DARURAT SKANDAL. Selain itu, sebagai penutup tulisan perlu diiingat bahwa saya memang tidak setuju akan tersebarnya identitas pelaku skandal tersebut. Karena, hal itu merupakan aib bagi pelaku dan saya sebagai pers hanya tidak setuju dengan tersebarnya identitas pelaku bukan tersebarnya informasi kasus skandal kampus. Perlu di ingat juga, jika pembaca teliti dalam membaca berita-berita skandal di UINSA, tidak ada satupun media pers yang mengungkapkan identitas pelaku skandal. Mereka hanya menginformasikan bahwa telah terjadi skandal di kampus UINSA.