Selama ini, petambak garam di Sidoarjo mengalami ketidakpastian nasib. Penyebabnya bukan hanya cuaca yang tidak menentu, melainkan juga ketidakpastian harga yang diakibatkan oleh impor garam yang berkelanjutan dan tidak diakomodasinya garam sebagai barang kebutuhan pokok.

Penulis : M. Akbar Darojat Restu Putra

Editor : Dwi Rachma Aulia

Samsuri (45) duduk bersila memandang lahan tambak garamnya yang akan dipintas. Hembusan angin laut menyapu tetesan air keringat yang mengucur dari wajahnya sedari ia mengangkat garamnya pada saat hari masih siang.

Sejenak kemudian, ia menengadah ke langit meratapi nasibnya yang acapkali tak pasti sebagai petambak garam. Ada masa ia memperoleh keuntungan yang besar dan ada masa pula ia memperoleh kerugian yang besar.

Ia mengenang musim kemarau setahun silam sebagai masa yang mujur bagi petambak garam. Kala itu, harga garam per karung menembus kisaran 300 ribu rupiah, sementara musim kemarau yang baik membuat ia bisa menghasilkan garam hingga 3000 karung. Sehingga, ia dapat membawa pulang uang sebesar ratusan juta rupiah.

Namun, itu bukan apa-apa ketika ia mengenang musim kemarau pada 2016. Ia menganggap masa itu sebagai masa tragis bagi petambak garam. Hujan yang kerap datang pada tahun itu mengakibatkan hampir semua garamnya rusak, sehingga ia mengalami gagal panen. Alhasil, ia hanya memperoleh sedikit garam dan pulang tanpa membawa uang sepeserpun.   

“Pada 2016 itu, saya cuma dapat 30 karung saja. Karena terkena air hujan, garam saya jadi mencair dan akhirnya rusak,” tutur Samsuri pada Sabtu (7/9/2024).

Kenangan delapan tahun lalu itu kembali menghantui Samsuri. Ia merasa keadaan saat itu hampir sama dengan kondisi musim kemarau tahun ini. Ia hanya bisa berharap nasib kojur saat itu tak kembali terulang di tahun ini. 

“Musim panas tahun ini susah diprediksi. Saya mulai garap lahan itu kan bulan keenam. Bulan ketujuh itu sudah hujan. Dan bulan kedelapan juga hujan lagi,” katanya.

Terpaksa Meninggalkan Kampung Halaman

Samsuri adalah salah satu petambak garam di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Seperti petambak garam lainnya yang ada di sana, ia berasal dari Kabupaten Sumenep di Pulau Madura. Ia pergi bersama keluarganya ke Sidoarjo pada awal bulan Juni atau musim kemarau tiba dan menetap di sana hingga lima bulan atau musim kemarau berakhir.

“Kalau musim kemarau saya menjadi petambak garam, tapi kalau musim hujan saya pulang dan menjadi nelayan. Saya pergi melaut untuk mencari ikan atau udang. Hasilnya juga tergantung. Kalau dapat banyak, ya uangnya banyak. Kalau dapat sedikit ya uangnya sedikit,” ungkapnya.

Selama menetap di sana, ia dan keluarganya tinggal di sebuah gubuk milik juragannya dengan luasan 4 x 5 meter. Gubuk itu terletak di area lahan tambak yang merangkap fungsi sebagai kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan tempat bermain.

“Untuk mandi, kami membeli air dirigen. Satu dirigen air berharga 1500 rupiah. Agar tidak banyak pengeluaran, tentu kami harus menghemat air. Sehingga, kalau mandi di sini tentu berbeda dengan mandi di Madura,” ungkapnya.

Memang untuk kebutuhan sehari-hari, juragannya hanya memberikan uang sebesar 600 ribu per minggu. Uang itu adalah sebentuk hutang yang dibayarkan dengan memotong uang yang ia peroleh setelah panen. Juragannya juga memberikan ongkos keberangkatan sebesar 1 juta rupiah yang juga dihitung sebagai hutang.  

Samsuri bersama istrinya tengah memanen garam (Akbar Darojat/LPM Forma)

“Untuk seminggu, uang 600 ribu itu kalau dihitung-hitung sebenarnya nggak cukup. Tapi agar bisa cukup ya kalau belanja kebutuhan pokok sedikit saja,” tuturnya.

Sebab bagaimanapun, ia hidup bersama istri dan ketiga anaknya. Anaknya yang pertama sudah menikah, anaknya yang kedua baru saja lulus SMA, sementara anaknya yang paling bontot masih kelas 4 SD.

Selama ini, ia dibantu oleh istri dan kedua anaknya dalam mengolah tambak. Anaknya yang terakhir tidak ikut membantu namun turut serta bersamanya karena tak mau pisah dengan keluarga. Sehingga, ia mesti meninggalkan sekolah sepanjang musim kemarau itu.

“Sebenarnya anak yang paling kecil bisa tinggal di rumah saudara saya yang di Madura. Tapi dia nggak mau. Jadinya ikut bersama kami. Pihak sekolah untungnya mengizinkan. Untungnya pula ia bisa mengikuti pelajaran secara daring. Hanya saja kalau ujian semester berlangsung, ia harus kembali ke sekolah. Dan kami pun juga mesti pulang,” jelasnya.

Bukan tanpa alasan bila ia memilih pergi ke Sidoarjo untuk menjadi petambak garam. Walau daerahnya dijuluki sebagai Pulau Garam, namun banyak lahan tambak garam di sana yang dikuasai oleh PT. Garam. Menjadi buruh di perusahaan tersebut, sepengetahuannya, hanya diupah sebesar 50 ribu per hari tanpa diberi makan.  

“Dikasih upah cuma 50 ribu per hari itu kan nggak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Ya mending kerja di sini,” akunya.

Hadirnya PT. Garam di Madura memiliki sejarahnya sendiri. Dalam artikel Dinamika Industri Garam di Madura 1950-197, Rahayu Hardita dan Ponco Setiyonugro menjelaskan bahwa PT. Garam dibentuk oleh pemerintah Indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam nasional sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor garam.

Upaya itu dilakukan karena petambak lokal yang sebelumnya mengolah tambak secara bagi hasil dengan PT. Garam dianggap tak mampu memasok kebutuhan garam nasional. Namun, ketika produksi dan distribusi dialihkan ke PT. Garam nyatanya kebutuhan nasional garam juga tak tercukupi. Penyebabnya, perusahaan tersebut terjangkit korupsi akut.

Guna menyelesaikan masalah itu, pada 1970, pemerintah meminta bantuan Kementrian Pembangunan Belanda untuk mengorganisasikan ulang perusahaan tersebut. Bantuan yang diberikan digunakan untuk memaksimalkan usaha produksi garam.

Untuk itu, pemerintah memperluas lahan tambak garam dengan merampas lahan milik petambak lokal. Walau demikian, kondisi produksi perusahaan tak kunjung membaik dan justru makin menurun.

Melihat kondisi tersebut, pada 1975, pemerintah mengeluarkan kebijakan modernisasi industri garam yang disokong oleh dana dari Kementrian Pembangunan Belanda sebesar U$ 18.124.000. Kebijakan itu mendorong pemerintah merampas lebih banyak lagi lahan petambak lokal. Sepanjang 1975-1976, pemerintah berhasil menguasai lahan tambak seluas 4.000 hektar.

Kebijakan tersebut menuai protes dari petambak lokal, terutama karena ganti rugi yang diberikan hanya sebesar 100 rupiah per meter. Namun, pemerintah berhasil membungkam protes tersebut dengan melakukan intimidasi dan menuduh mereka sebagai eks-PKI.

Karena banyak lahan tambak di sana sudah dikuasai oleh perusahaan tersebut, Samsuri dan petambak garam lainnya terpaksa untuk pergi ke Sidoarjo. Namun ia harus rela mengolah tambak orang lain dengan kondisi waktu kerja yang acap tak pasti.

“Pagi hari ngerjain tambak. Habis itu istirahat. Nanti siang kerja lagi untuk menambahkan air ke tambak. Habis itu istirahat lagi. Nanti sore kerja lagi untuk menaikkan air laut ke tambak dengan kincir angin. Kalau sudah selesai ya istirahat. Nanti baru kerja lagi jam 2 pagi. Yang pasti jam kerja saya nggak menentu. Kalau banyak yang digarap tentu banyak kerjanya, kalau sedikit yang digarap tentu sedikit kerjanya”, jelasnya.

Dalam Kondisi Apapun, Juragan Tetap Untung

Ibrahim (60) duduk di sebuah kursi sederhana yang terapit dengan gubuknya. Pria itu sengaja duduk di sana untuk menghindari sengatan cahaya matahari. Meski jam sudah menunjukkan waktu sore, namun panas matahari tak kunjung menyusut.

Sekujur tubuh pria itu mengering yang menandakan ia bekerja sedari pagi. Tanpa peduli cuaca kali ini buruk, ia tetap semangat bekerja.

“Kalau cuaca bagus bisa 1 bulan panen 3 kali per petak. Kalau cuaca nggak memadai satu minggu udah dipanen per petaknya,” kata Ibrahim pada Rabu (11/9/2024).

Sama seperti petambak garam lainnya, ia melakukan bagi hasil dengan pemilik lahan atau yang biasa dikenal dengan juragan. Persentasenya adalah 40 persen untuknya, sementara 60 persen untuk juragannya. Hanya saja mengenai modal menggarap tambak, juragan yang menanggung semuanya.

“Kalau modal untuk menggarap tambak itu sebenarnya nggak seberapa. Yang penting dari soal tambak garam itu punya lahan dulu,” tuturnya.

Masalah mengenai lahan mengingatkannnya pada kejadian beberapa tahun silam ketika petambak garam diundang dalam program sosialisasi oleh Badan Metereologi, Geofisika, dan Klimatologi (BMKG), Kementrian Perikanan dan Kelautan, dan beberapa universitas.

Mereka mengajak petambak garam untuk mengembangkan produktivitas garam agar bisa bersaing di pasar internasional. Sebab, garam dari Indonesia kurang bagus bila dibandingkan dengan garam dari negara lain. Menurut mereka, pertambakan garam di Sidoarjo memiliki potensi untuk menghasilkan produk garam yang berkualitas.

Pemandangan Gubuk Ibrahim dalam  kejauhan (Akbar Darojat/ LPM Forma)

Ibrahim merasa bingung dengan sosialisasi tersebut mengingat petambak garam di Sidoarjo adalah orang yang tidak memiliki lahan dan bekerja kepada juragan. Sehingga, ia pikir program itu akan menguntungkan juragan dan bukan petambak garam.

“Bagaimana dengan petambak garam yang tidak memiliki lahan? Mereka mengatakan kalau pemasaran garam nantinya akan dibantu, tapi mengenai lahan siapa yang akan membantu. Ini mengingat yang diundang di sini adalah pekerja dan bukan bos. Kalau bos kan punya lahan jadi bisa dikembangkan. Tapi kalau pekerja dengan apa?” tanyanya.

Memang menjadi juragan adalah hal yang menguntungkan dalam usaha pertambakan garam. Bila cuaca mendukung, juragan akan memperoleh banyak keuntungan. Bila cuaca tidak mendukung, juragan akan tetap untung selagi lahannya bisa menghasilkan garam.

“Pemilik lahan (juragan) itu nggak pernah rugi. Untung terus. Tak peduli cuaca menentu atau nggak menentu, pokoknya tetap ada pendapatan. Tapi yang kerja itu kalau cuaca nggak bagus dan harga nggak bagus, rasane remek (serasa hancur),” ungkapnya dengan tawa.

Keuntungan lainnya adalah soal bantuan dari pemerintah yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh juragan. Padahal, KTP yang digunakan untuk mengambil bantuan adalah milik petambak garam. Karena inilah, petambak garam tak mau lagi datang bila diundang dalam sosialisasi bantuan oleh pemerintah.

“Yang dibantu di sini itu si bos. Padahal KTP yang digunakan itu milik pekerja. Makanya kalau sekarang dikumpulkan untuk sosialisasi bantuan, semua pekerja males. Karena sudah tahu semuanya. Ya kalau bantuannya lumayan banyak, pekerja biasanya dikasih uang rokok sama si bos,” jelasnya.

Memperjuangkan Harga Garam

Bagi Ibrahim, masalah yang selama ini dihadapi oleh petambak garam bukan hanya soal cuaca yang tak menentu, melainkan juga pasang surut harga. Ada masa harga garam naik melesat dan ada masa harga garam jatuh merosot.

“Sekarang ini, cuaca nggak bagus harga garam nggak bagus. Kalau tahun kemarin itu cuaca bagus harga garam juga bagus. Yang tahun kemarin lagi harga itu turun,” ujarnya.

Ketidakpastian harga garam itu, menurutnya, tak terlepas dari impor garam yang selama ini belum bisa dihindari oleh pemerintah. Walau pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional, namun kebutuhan garam nasional yang ditargetkan belum tercukupi.

Dilansir dari Kompas.com, Kementrian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa kebutuhan garam nasional kurang lebih sekitar 4,5 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, 2,2 juta-2,3 juta per tahun dipasok untuk industri chlor alkali (CAP), 1,5 juta ton per tahun untuk konsumsi, dan sisanya untuk industri lain.

Di samping itu, produksi garam dalam negeri terus merosot dari 2,5 juta ton pada 2019, menjadi 1,06 juta ton pada 2020, dan semakin jatuh hingga 0,88 juta ton pada 2021. Karena itulah, impor yang dilakukan pemerintah kian meningkat, dari 2,59 juta ton pada 2019, menjadi 2,60 juta ton pada 2020, dan akhirnya 2,83 juta ton per tahun pada 2021.

Melihat kondisi tersebut, Ibrahim berharap dapat memperhatikan nasib petambak garam lokal dan tak hanya mementingkan kebutuhan industri saja ketika akan melakukan impor.

“Kami tidak meminta impor itu dihentikan. Tapi ya kalau bisa dikurangi,” tuturnya.

Ketidakpastian harga garam juga tak terlepas dari dikeluarkannya garam sebagai barang kebutuhan pokok melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok  dan Barang Penting. Akibatnya, pemerintah tak lagi bisa menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) garam yang kemudian merugikan petambak garam lokal.

Walau ada beberapa kali usulan untuk memasukkan lagi garam sebagai barang kebutuhan pokok, namun hal itu hanya sebatas wacana saja. Ini terbukti dari revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 yang nyatanya tetap tidak memasukkan garam sebagai kebutuhan pokok.

Jika pemerintah tetap menggenjot impor garam dan tidak mengakomodasikan garam sebagai barang kebutuhan pokok, maka petambak garam yang tidak memiliki lahan dan menghadapi musim yang tak menentu macam Ibrahim akan mengalami perjudian nasib. Karena bagaimanapun, mereka tak pernah tahu apakah hasil kerja kerasnya selama semusim terbayar lunas atau justru tidak sama sekali.

“Pemerintah seharusnya memperjuangkan harga garam. Selain mengurangi impor, juga dengan menetapkan garam sebagai barang kebutuhan pokok,” harapnya.