Penulis: Lahunur Wahyu

Editor: Adi Swandana E.P.

Mengapa? Setiap pemilu masih saja ada, yang percaya? (Sepotong lirik lagu dari Tanasaghara berjudul “Syair Mengapa”).

Sebelum memberikan pernyataan, saya tegaskan bahwa posisi saya hanyalah sebagai sebongkah bajingan yang percaya pada pemilu (apalagi pemilu dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang berpegang teguh pada agama Islam). Pada kalimat pembuka saja, penulis opini berjudul “Apa yang Perlu Dipertanyakan dari Pemilu HMP?” sudah memaparkan kemunafikan atas para mahasiswa yang menunggu-nunggu pemilihan ketua HMP (himpunan mahasiswa pmakar). Jika kita lihat di postingan Instagram Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) tentang pemilihan, hanya di postingan terakhir saja yang mendapat like paling banyak (saat ini sekitar 106 like). Ini dapat dibuktikan bahwasanya terdapat beberapa kemungkinan yang saya fikirkan, yakni terdapat mahasiswa yang tidak meng-like ataupun tidak mem-follow akun Instagram SEMA-FUF ataupun tidak melewati page mereka; atau lebih baiknya mereka tidak peduli dengan pemilihan ketua HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) itu sendiri.

Menurut saya, harapan dari pemilihan ketua HMP yang dipaparkan oleh penulis dalam karya opini di atas terlalu melangit. Yang saya tahu dan pahami, pergantian ketua hanyalah sebagai seremonial pergantian aktor dari ketua sebelumnya sebagai estafet program kerja yang ada entah itu terlaksana ataupun tidak. Selain itu, pendapat dari penulis opini tentang kurangnya sosialisasi dan efektivitas hanyalah bentuk rasa kekecewaannya saja yang ingin pelaksanaan pemilihan disamakan dengan fakultas-fakultas bahkan universitas yang lain. Atau, mungkin kita dapat mempertanyakan peran media informasi fakultas (baik cetak ataupun digital) yang sebenarnya kurang dalam menyampaikan informasi yang bagi si penulis tersebut dinilai penting.

Kejanggalan yang dirasakan oleh penulis tersebut salah satu sebabnya karena singkatnya waktu yang diselenggarakan oleh SEMA. Saya memang tidak begitu paham terkait waktu pemilu ini seharusnya ditentukan SEMA atau oleh KPU di HMP masing-masing (kemungkinan waktu pemilu ditentukan oleh KPU). Peran SEMA hanyalah sebagai wadah penyaring mahasiswa yang menginginkan menjadi ketua KPU itu sendiri. Hal ini dapat kita buktikan melalui oprec (open recruitmen) ketua KPU yang diadakan cukup dalam dua hari (15-16 April). Ini juga bertujuan untuk menyegerakan pemilihan ketua HMP yang disebut sudah ditunggu-tunggu masyarakat FUF itu sendiri (tetap saja menurut saya tidak). Meskipun pelaksanaan yang dirasa dekat dengan perayaan libur lebaran, pelaksanaan ini sebenarnya menjadi pelaksanaan yang efektif, sebab pada saat pemilu ini mahasiswa dapat dengan tenang memilih para calon ketua HMP karena sudah tidak ada beban mata kuliah yang harus diikuti. Terdapat pula waktu pemilihan yang ditetapkan sebelum lebaran yang pada akhirnya setelah pemilu diharapkan tidak ada keributan yang berkepanjangan dan memperoleh hasil terbaik agar saling memaafkan.

Sarana yang digunakan dalam pemilu HMP kali ini juga turut membuat penulis opini tersebut sedikit panas. Ya, pemilihan secara daring yang diselenggarakan meskipun pertemuan kuliah yang sudah luring. Ini dapat menjadi bukti bahwa teman-teman KPU sudah semakin maju dan memanfaatkan teknologi yang sudah ada. Hal ini menjawab keresahan beberapa teman yang pernah saya temui, mereka resah akan kegaptekan mahasiswa FUF dengan dalih lulusan pondok ataupun tidak pentingnya teknologi untuk kehidupan kelak (akhirat). Pemilihan daring ini juga memberikan kesempatan kepada kita semua untuk dapat melaksanakan salat Istikharah karena kelonggaran waktu yang fleksibel dapat memilih kapan pun dan dimana pun yang pada akhirnya dapat memantapkan hati para mahasiswa. Bahkan, lebih baiknya para calon yang terpilih, dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung merupakan pilihan tuhan.

Bandingkan jika kita melakukan pemilihan secara luring, para mahasiswa pada akhirnya harus memberikan effort lebih karena harus telebih dahulu untuk datang ke kampus, bahkan mengikuti prosedur yang lebih njelimet. Maka dari itu, mereka berkemungkinan tidak sempat untuk melakukan salat Istikharah sebagai pertimbangan tentang siapa calon ketua yang sebaiknya dipilih. Padahal para calon yang terpajang di halaman Instagram HMP-HMP pun belum tentu para mahasiswa (khususnya di semester dua) begitu tahu ataupun mengenalnya.

Memang di beberapa prosedur tidak sepenuhnya sempurna. Bahkan saya pribadi dibuat malu dengan secara tiba-tibanya muka saya terpajang menjadi calon wakil HMP tanpa adanya konfirmasi dari KPU (saya tidak mendaftar). Saya tidak begitu mengetahui (dan tidak mau tahu) bagaimana prosedur ini dijalankan, ataukah para calon yang ada sebetulnya tidak mendaftar tetapi ditunjuk oleh KPU itu sendiri; atau siapa saja dapat menjadi calon ketua HMP itu sendiri tanpa syarat khusus yang dihadirkan. Memang terdapat banyak kejanggalan, namun kejanggalan ini menjadi kejanggalan yang biadab (menurut saya). Memang terdapat juga kejanggalan atas eksklusifnya pemilihan ini. Jumlah suara yang dihadirkan tidak transparan untuk mahasiswa umum seperti saya. Pada akhirnya, hijab-hijab dari pemilu ini menjadi kecurigaan terhadap bersihnya hasil yang ada. Namun, akhir kata saya tegaskan kepada teman-teman bahwasanya tidaklah mungkin mahasiswa dari FUF melakukan kecurangan tersebut apalagi di bulan suci Ramadan. Maka dari itu marilah kita percaya kepada sesama mahasiswa.

Akhirul kalam, saya ucapkan bahwa tulisan ini adalah sebagai jawaban yang saya tulis secara subjektif dengan kaca mata (sudut pandang) saya sendiri. Sekian tulisan ini saya serahkan dan saya pasrahkan. Perang pemikiran tak lagi ada, karena pemikiran kita kiranya sudah dikubur pada tanah fakultas dengan hiasan pohon kamboja yang mekar pada halaman gedung B2.