Penulis: M. Akbar Darojat Restu Putra

Editor: Adi Swandana E.P.

Rabu, 19 April 2023 barangkali merupakan waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA). Pada waktu ini, pemilihan Ketua HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) tergelar dan terlaksana secara serentak di keenam prodi se-FUF. Berbagai postingan di media sosial mengenai pemilihan tersebut seolah ingin mewartakan bahwa masyarakat di fakultas tersebut harus berpartisipasi dan merayakan pesta demokrasi yang digelar satu tahunan itu. Pemilihan tersebut sekaligus menjadi puncak dari berbagai pesta demokrasi yang sudah diselenggarakan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Pemilihan tersebut diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang memiliki kualitas dan kompetensi yang jauh lebih baik daripada tahun sebelumnya. Bahkan kalau perlu adalah pemimpin yang memiliki integritas tinggi dan penuh kewibawaan. Sedemikian, Ketua HMP diharapkan mampu untuk mewadahi keresahan-keresahan mahasiswa se-prodinya sekaligus merancang program kerja yang inovatif dan progresif.

Sayangnya, pemilihan tersebut, dalam selayang pandang kami mengandung beberapa kejanggalan yang mesti diperhatikan. Kejanggalan ini terkait dengan minimnya sosialiasi dan kurangnya efektivitas dalam prosedur pemilihan itu sendiri. Tulisan ini berpretensi untuk mempreteli, mem-blejet-i dan melucuti kejanggalan itu secara kritis dan cukup komprehensif.

***

Pertama-tama hal yang perlu dikatakan terkait pemilihan HMP kemarin adalah penetapan waktu yang kurang tepat. Seminggu sebelum hari pemilihan, SEMA (Senat Mahasiswa) FUF sebenarnya sudah membuka Open Recruitment (Oprec) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, banyak orang yang masih bertanya-tanya kapan pemilihan Ketua HMP diselenggarakan. Mereka belum tahu secara pasti persis seperti hari itu. Mereka hanya bisa menebak-nebak bahwa pemilihan Ketua HMP sebentar lagi akan dilaksanakan. Seharusnya SEMA tak hanya membuka OprecKPU, melainkan juga mengumumkan kapan pemilihan Ketua HMP dilangsungkan. Pengumuman ini sebaiknya dilakukan mengingat seseorang yang mau mencalonkan diri menjadi Ketua sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Ini juga dilakukan demi menghindari asumsi yang salah dan simpang siur terkait pemilihan Ketua HMP.

Bahwa kemudian Oprec Ketua HMP dilaksanakan pada 15-16 April dan diumumkan sehari sebelumnya telah menimbulkan keterkejutan. Pengumuman itu seharusnya dilakukan minimal—katakanlah—seminggu. Pengumuman yang mendadak itu, secara tidak langsung, telah menerbitkan asumsi dari sebagian mahasiswa bahwa pemilihan Ketua HMP dilaksanakan secara “tergopoh-gopoh”.

Oprec itu juga dilangsungkan pada waktu mendekati hari libur. Pada waktu itu, mahasiswa kemungkinan besar lebih mencurahkan perhatian pada persoalan mudik atau pulang kampung daripada tetek-bengek pemilihan Ketua HMP. Mahasiswa cenderung untuk memikirkan apa dan bagaimana alat transportasi yang digunakan ketika pulang daripada event yang diadakan kampus.

Setelah oprec tak lain dan tak bukan adalah proses seleksi berkas dan verifikasi data sekaligus pengumuman hasil dari proses tersebut yang dilaksanakan pada tanggal 17 April. Di sini kita bisa melontarkan pertanyaan, apakah tempo satu hari cukup digunakan untuk menyeleksi dan memverifikasi data calon Ketua HMP? Kalaupun cukup, alangkah baiknya perlu ditambahkan waktu lagi demi peninjauan dan pengecekan kembali berkas dan data calon Ketua.

Sementara 18 April adalah waktu kampanye calon Ketua HMP. Ini adalah waktu krusial bagaimana Calon Ketua HMP menyampaikan visi-misinya kepada khalayak mahasiswa. Sayangnya, saya lebih banyak melihat poster foto Calon Ketua dengan visi misi di sampingnya. Saya sedikit melihat Calon Ketua yang menyampaikan visi-misinya—melalui video—misalnya. Dan yang perlu dipertanyakan lagi adalah hanya ada dua HMP yang mengadakan event debat antarcalon ketua yakni, HMP IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) dan ILHA (Ilmu Hadis). Seharusnya debat perlu diadakan di tiap pemilihan. Sebab, dengan itu, pemilih dapat mengerti kapasitas dan kompetensi Calon Ketua. Melalui debat itu juga pemilih dapat mengerti visi-misi siapa yang paling unggul dan berkualitas.

Dan besoknya, 19 April, adalah waktu yang ditunggu, pemilihan Ketua HMP. Saya perlu memproblematisir penetapan waktu ini mengingat sepanjang saya mengetahui, dalam penyelenggaraan pemilihan, selalu ada hari yang disebut dengan “Hari Tenang”. Ini adalah hari ketika segala bentuk kampanye dilarang dan berfungsi layaknya tuma’ninah dalam sholat; pemberhentian aktivitas yang berhubungan dengan pemilihan sejenak sebelum pemilihan langsung dimulai.

Pemilihan tersebut diselenggarakan secara online di tengah aktivitas pembelajaran kampus yang sudah offline. SEMA-FUF sendiri tak membeberkan alasan yang jelas kepada publik mengapa pemilihan tersebut diselenggarakan secara online. Namun, kita bisa menduga-duga alasannya karena dua hal. Pertama, karena hari itu bertepatan juga dengan hari libur kampus. Kedua, ibadah puasa masih berlangsung pada hari itu.

Untuk alasan pertama, kami dapat membantah dengan bertanya, ” Mengapa pemilihan Ketua HMP diadakan berbarengan dengan awal libur kampus?” atau ” tidak adakah hari lain?Sementara untuk alasan yang kedua kita juga bisa membantah dengan bertanya, “Bukankah aktivitas pembelajaran di kampus diselenggarakan secara offline walau di tengah ibadah puasa?

Okelah, kalaupun pemilihan diselenggarakan secara online tentu saja ada prosedur-prosedur yang mesti dijalankan. Seharusnya pemungutan suara diselenggarakan secara langsung di media sosial. Artinya, pemilihan bisa disetel secara langsung melalui live Instagram atau YouTube. Di sini kita bisa melihat secara langsung bagaimana pemungutan suara dilakukan. Orang akhirnya bisa mengetahui secara langsung berapa suara yang masuk, berapa suara yang sah, berapa suara yang tidak sah dan berapa suara yang tidak memilih (golput). Orang juga bisa menetapkan atau turut bersuara apakah suara ini sah atau tidak. Masalahnya, pemilihan online kemarin hanya diketahui oleh satu pihak yakni, KPU itu sendiri. Karena itu, kita bisa menganggap bahwa pemilihan model demikian bersifat eksklusif (tertutup).

Saya juga ingin bertanya terkait siapa saja yang bisa menjadi pemilih dalam pemilihan Ketua HMP. Apakah seluruh mahasiswa jurusan, hanya mahasiswa angkatan ’20, ’21 dan ’22 atau bahkan hanya ’21 dan ’22 saja? Persoalan inilah yang tak dijelaskan lebih lanjut.

***

Apa yang saya tuliskan di atas adalah pendapat saya mengenai pemilihan Ketua HMP. Saya bisa saja banyak salah dan luput. Walau memang perlu diakui di sini, saya berusaha untuk seobjektif mungkin dan menihilkan sama sekali unsur-unsur subjektif saya. Namun, tak ada gading yang tak retak, sehingga saya siap menerima kritikan, kecaman atau bahkan jancuk-an dari para pembaca budiman. Apresiasi tertinggi dari sebuah karya, menurut saya, adalah kritik. Prinsip inilah yang selalu saya pegang dalam melihat karya.

Sehingga, bagi saya, tindakan kekerasan atau adu jotos adalah sebuah kekeliruan yang tak mengandung manfaat sama sekali. Lebih baik perang atau cercaan kita manifestasikan dalam sebuah karya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd ketika menghajar Al-Ghazali. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita melakukan Ghazwatul fikr (Perang Pemikiran); suatu hal yang mesti dilakukan kalau kita masih mau dianggap mahasiswa Ushuluddin dan Filsafat.