Sumber: Gambar Google

Penulis: Habib Muzaki, Pimred LPM Forma

Jomblo sering dipandang sebagai manusia tak bernilai yang gagal dalam urusan percintaannya, padahal benar. Namun sebenarnya hinaan berbau kenyataan ini adalah sebuah pertanda dan sekaligus peringatan dari Tuhan. Bahwa para jomblo harus segera mengasah akalnya.

Salah satu teknik mengasah akal ini ada dalam filsafat. Jangan salah kira, penulis tidak sedang endorse jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, seriusan. Tapi apa yang penting dimiliki jomblo di zaman sekarang adalah filsafat, kenapa? Agar para jomblo memliki pemikiran yang kritis untuk terus memproduksi argumentasi dan meneguhkan eksistensinya. Ini juga penting untuk membela diri yang sering dizalimi. Memangnya siapa lagi yang mau membela kita kalau bukan diri sendiri?

Filsafat hampir sama dengan berpikir. Padahal tidak semua aktifitas berpikir adalah filsafat. Filsafat, singkat kata adalah berpikir secara mendalam dengan ciri-ciri skeptis, radikal, komperhensif, dan universal. Status jomblo memang sering membuat kita (yang jomblo) kepikiran. Namun ketika kita mau melakukan refleksi kritis atas persoalan yang demikian, sejatinya kita telah berfilsafat.

Salah satu karakter berpikir filsafat adalah skeptis (meragukan). Misal masyarakat dahulu meyakini mitos bahwa penyakit adalah ulah roh jahat. Ini membuat penyakit ditangani dengan melakukan ritual-ritual dan doa. Mitos ini yang kemudian diragukan lantas diselidiki. Akhirnya, biologi -yang adalah produk dari filsafat- hari ini menemukan bahwa penyakit bisa disebabkan banyak hal. Salah satunya karena virus, bukannya roh jahat.

Persis seperti pernyataan, “Single adalah pilihan, sedangkan jomblo adalah nasib” juga mitos, yang harus kita ragukan dan kritisi bersama. Tapi jika nantinya kita menemukan kesimpulan bahwa jomblo memang nasib, ya sudah terima saja nasib tersebut. Mau bagaimana lagi ya kan.

Tapi kalau kita mau mengkritisi pernyataan ini, sebenarnya jomblo bukanlah nasib melainkan kehendak bebas. Istilah kerennya buat gaya-gayaan adalah free will, dimana kita adalah individu yang secara bebas menentukan nasib kita sendiri.

Tema nasib sebenarnya adalah wacana lama khas abad pertengahan. Adalah rennaisance yang menjadi jembatan masyarakat Eropa menuju zaman yang dinamakan modern. Paradigma hidup yang awalnya viator mundi (manusia di dunia hanyalah peziarah) berubah menjadi faber mundi (orang yang menciptakan dunianya).

Karena kejombloannya, para jomblo kadang hanya menganggap dunia ini sekedar tempat persinggahan sementara, lalu untuk apa pacaran? Pemikiran seperti ini harus diubah menjadi faber mundi, bahwa kita sendirilah yang memilih menjadi jomblo untuk membuat diri kita sendiri berarti. Dengan menjadi jomblo, kita memiliki banyak waktu untuk menciptakan sendiri kehidupan kita.

Prinsip kehendak bebas yang dipegang seorang jomblo membuatnya progresif mampu membaca realitas kehidupan. Kalau kita mau kritis, bahagianya orang yang tidak jomblo hanya sebatas instastory. Kadang di luar itu mereka mencoba akur dengan kemelut masalah rumah tangga.

Dari sini kita juga bisa mengutip perkataan Rocky Gerung yang berbunyi “Instatory hanyalah tanda anda pernah keluar bareng, bukan tanda anda bahagia.”

Mereka yang menghina jomblo bisa jadi malah asik dengan siklus pdkt-baper-jadian-galau-drama-putus lalu pdkt lagi dengan yang baru. Seorang jomblo yang filosofis bisa mengajukan pertanyaan tentang berapa waktu yang terbuang? Bukan hanya waktu, tapi pikiran, uang dan tenaga yang harusnya bisa dicurahkan pada impian dan masa depan, asek.

Jomblo juga sering dilabeli sebagai mahluk yang tidak berbahagia. Dengan belajar filsafat, kita bisa mempelajari betapa sesatnya kesimpulan semacam ini. Untuk mengkritisi hal ini, di dalam filsafat ada istilah penalaran deduksi dan induksi.

Deduksi adalah penalaran yang menarik kesimpulan dari premis umum ke khusus. Misalnya:

Premis Mayor : Jomblo itu tidak bahagia

Premis Minor : Lukman jomblo

Maka konklusinya : Lukman tidak bahagia.

Penalaran deduksi memang cenderung menyesatkan. Jomblo berkemajuan jangan mengamini begitu saja. Karena di zaman ini sudah ditemukan jenis penalaran induksi, dari khusus ke umum. Dengan melakukan pengamatan terhadap perseorangan, maka kita dapat menelurkan kesimpulan yang lebih valid. Statistika adalah contohnya.

Dan, benar saja ketika Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan penelitian tentang indeks kebahagiaan masyarakat pada 2017 lalu. Hasilnya adalah kesimpulan bahwa jomblo lebih bahagia dengan indeks kebahagiaan 71,53. Sebuah kemenangan ilmiah yang melegakan hati para jomblo.

Belajar filsafat memang menarik. Karena akan kita temui banyak tokoh menarik, yang mana pemikiran mereka bisa kita pakai sebagai pisau analisis untuk membaca realitas kehidupan. Mulai dari Ibnu Khaldun, Thomas Aquinas, Descartes, Karl Marx maupun Nietzsche yang namanya susah dibaca itu.

Pemikiran Descartes contohnya, Jomblo yang  telah belajar filsafat tidak akan takut diabaikan saat nongkrong bareng teman-teman yang membawa pasangan masing-masing. Sebab dia pasti akan akrab dengan diktum cogito ergo sum yang artinya aku berpikir maka aku ada, meskipun tidak dianggap ada oleh mereka yang merasa dunia milik sendiri.