Oleh: Friedrich Z. Fazi*)

Doc. Google
Bermesraan dengan kata-kata sudah saya geluti sejak duduk di bangku MA di salah satu Pesantren di ujung timur kabupaten Probolinggo. Sepintas bilik pesantren yang terlihat sederhana dengan arsitektur klasiknya menjadi saksi bisu menyaksikan tangan yang sibuk mengolah kata-kata. Tanpa disangka aktifitas yang berawal dari sekedar coba-coba dan agak sedikit terpaksa mengantarkan saya kepada pengalaman, hobi, bahkan cita-cita yang sama sekali baru. Saya yang tak memiliki minat serta arah tujuan hidup yang jelas menemukan sebuah arah perjalanan masa depan berawal dari menulis.
Dengan menulis saya bisa mencurahkan dentuman emosi, lebih leluasa berekspresi, dan menuangkan sajian imajinasi. Bagi saya, di salah satu fungsi menulis tidak terlepas dari menangkap ketersikapan semesta lalu diolah menjadi mutiara kata-kata. Menulis juga merupakan instrumen utama sekaligus simbol yang memanifestasikan kemajuan.
Belajar dari pengalaman masa lalu saat Islam memegang kendali tampuk kemajuan peradaban umat manusia yang terekam abadi potret jejak langkahnya di lembaran sejarah dunia, tentu tak terlepas dari tingginya minat terhadap tulisan dan bacaan. Tanpa disangka kedekatan orang-orang Islam di tempo silam dengan aktifitas membaca dan menulis membuat cemburu para istri-istri mereka. Sebagian dari mereka spontan mengeluarkan kata-kata bernada sarkastis, “Jikalau saja engkau beristri dua, tiga, bahkan empat, buku itulah sebenarnya saingan terberatku.” (Philip K. Hitty, Story of Arab, 2013).
Ada banyak sekali para ilmuwan muslim di masa lalu yang sepak terjang usahanya sangat berpengaruh terhadap kemajuan di kehidupan belakangan. Sebut saja Ibnu Sina atau biasa dikenal AVICENNA. Seorang dokter di abad pertengahan yang menginspirasi Barat (Eropa). Karyanya, Al-Qonun Fi al-Thibb (El-Qanon of Modicine) menjadi referensi utama kedokteran modern Eropa selama kurang lebih 7 abad. Beliau mashur dikenal sebagai orang yang dinobatkan bapak kedokteran dunia. Tentu raksasa kemashuran beliau dikenal bahkan sampai terdengar di penjuru dunia tidak lain karena beliau menulis.
Setara dengan menolong sesama, menulis adalah perbuatan tergolong mulia. Karena tidak sedikit tatanan peradaban dan kemajuan terajut dari semesta kata-kata. Namun, masih saja sedikit yang menyadari jikalau menulis merupakan perbuatan mulia dan memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan. Jika kita menilik kata yang termaktub dalam kitab suci al-Quran, sangat jelas bahwa al-Quran menempatkan kegiatan tulis menulis pada derajat yang sangat mulia. Lebih jauh al-Quran mengatakan, “Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (Q.S. Al-Qalam: 1). Dapat diketahui di sana Tuhan bersumpah dengan memakai redaksi pena. Hal ini bukanlah suatu kebetulan melainkan terdapat maksud dan tujuan tertentu.
Di ayat lain terindikasi bahwa Tuhan menurunkan rahmat dan petunjuk terhadap hambaNya melalui perantara hidangan tulisan. Al-Quran mengatakan, “Dan sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) lauh-aluh (Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya” dan “Yang mengajar (manusia) dengan pena” (Q.S. Al-A’rof: 154, Q.S. Al-‘Alaq: 4).
Masih banyak lagi seuntai kisah dimana sejarah dibentuk melalui perantara pena. Kata yang tercipta dalam lembaran kertas sepintas tampak sederhana di kehidupan sekarang tapi suatu saat bisa saja akan tampil mempesona di kehidupan mendatang. Kata tak hanya sekedar rangkaian yang terdiri dari huruf-huruf membentuk makna yang dapat dimengerti lagi dipahami. Melainkan, kata juga soal pembelaan dan perlawanan. Kemampuan kata yang paling istimewa terletak pada sela-sela makna selain mengantar kepada pengertian dan pemahaman, ia sekaligus memberikan kemampuan mengantar manusia kepada kemajuan. Sehingga tidak heran jika menulis dan merangkai kata adalah perbuatan mulia.
*(Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam
Penyunting: Fadlilatul Laili Riza Rahmawati