Bulan Juni menjadi salah satu masa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tepat di tanggal 1 Juni 1945, sejarah lampau menjadi saksi akan lahirnya dasar negara bernama Pancasila. Tapi… pernah dengar nggak, sih, sebuah kalimat yang mendengungkan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang anti-Islam? Bahwa Pancasila harus diganti dengan hukum Islam, yaitu Alquran dan Hadis sebagai dasar negara Indonesia. Terus gimana, tuh, urgensi Pancasila sebagai dasar negara?
Pasti pernah, ya, mendengar desas-desus mengenai itu. Belakangan ini kita semua tahu, semakin banyak orang yang melihat keberadaan Pancasila di Indonesia dengan paham keagamaan yang salah kaprah. Hal ini disebabkan oleh adanya ideologi baru dari sebuah kelompok agama di Indonesia, di mana doktrin-doktrin seputar pemerintahan dan khilafah terus digemakan. Menurut paham tersebut, Indonesia bukanlah negara Islam karena tidak menggunakan hukum Allah sebagai dasar negara dan dasar hukum. Juga bahwa pemerintah di atas sana adalah thagut (penguasa zhalim yang mengubah hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti peletak undang-undang yang tidak sejalan dengan Islam, pen.).
Ehhh… Tunggu dulu, kita harus meng-crosscheck kebenarannya agar tahu betul apakah ideologi yang dibawa itu sudah tepat atau justru keliru. Islam menuntut pemeluknya untuk selalu berilmu sebelum beramal. Jika belum mengerti betul akan sesuatu yang sedang diperbincangkan, maka tidak boleh kita berucap tanpa ilmu. Kita juga harus berhati-hati kepada siapa kita mengambil ilmu agama. Jangan sampai kita terbawa euforia “hijrah” tanpa memahami esensi dan adabnya, serta asal ikut-ikutan dalam menyimak kajian ilmu dan mudah latah dalam beragama. Crosscheck adalah mengecek kembali berita yang datang kepada kita. Untuk lebih mudahnya, dalam Islam sikap ini biasa dikenal dengan istilah tabayyun. Allah berfirman dalam Quran Surah Al-Hujurat ayat 6, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika ada seorang fasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyun-lah (telitilah) dahulu, agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.”
Yang dimaksud dengan fasik yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq (perbuatan fasik). Karena itu, fasik diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu fasik besar dan fasik kecil. Fasik besar identik dengan kufur besar yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, salah satunya termasuk kemunafikan i’tiqadi (besar). Adapun fasik kecil identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, seperti berbohong, mengadu domba, dan memutuskan perkara tanpa tabayyun.
Sebenarnya apa sih, yang dimaksud dengan Pancasila, dasar negara, dan anti-Islam? Ketiga istilah penting ini akan menjadi kata kunci yang akan kita bedah bersama-sama.
Setiap negara yang merdeka dan berdaulat memiliki dasar negara yang berbeda. Yang dimaksud dengan dasar negara adalah pedoman dalam mengatur kehidupan penyelenggaraan ketatanegaraan Negara yang mencakup berbagai bidang kehidupan. Pancasila adalah dasar ideologi-ideologi negara Indonesia. Berasal dari bahasa Sansekerta, panca berarti lima dan sila berarti asas. Sesuai namanya, Pancasila berisikan lima sendi utama yang juga tercantum di dalam alinea ke-4 Preambule Undang-Undang Dasar 1945: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Perlu kita tahu, mungkin Indonesia memang tidak menegakkan hukum Islam sebagai dasar negara. Namun bukan berarti Indonesia bukanlah negara Islam dan memiliki pemimpin yang kafir––bahkan ada yang berani menyebut pemerintah negara ini sebagai thagut (kita berlindung kepada Allah dari ucapan yang buruk seperti itu, na’udzubillah). Padahal, kaidah dalam menentukan apakah suatu negara bisa disebut negara Islam atau tidak yaitu keadaan dzahir (tampak) dari suatu negara. Misalnya kita dapati syiar-syiar Islam tersebar di negara tersebut dan negara ikut menyemarakkan, serta selama pemimpinnya adalah seorang Muslim dan ia masih menegakkan shalat, bersyahadat, memerintahkan tauhid di sekolah-sekolah secara global, beriman kepada 6 rukun iman, memerintahkan kepada akhlak-akhlak Islam, membangun masjid, berpuasa Ramadhan, mengatur proses haji dengan sistem yang profesional, dan lain-lain.
Bila kita melihat berjalannya hukum secara utuh, hanya sebagian kecil hukum Islam yang tidak diterapkan di Indonesia. Misalnya seperti hukum had, qishash, dan rajam. Bukan karena menolak hukum Islam yang tak diterapkan tersebut, namun menerapkan hukum-hukum itu di negara yang memiliki beragam agama dan tradisi tidak semudah membalik telapak tangan. Adapun adzan, shalat hari raya, kajian ilmu Islam, dan sebagainya masih diizinkan berjalan di daerah manapun. Jadi, yang lebih tepat untuk kita katakan yaitu “Indonesia tidak berhukum dengan hukum Islam pada beberapa keadaan.”
Pancasila bukanlah sesuatu yang anti-Islam. Jika kita teliti dengan baik, Pancasila sudah membawa nilai-nilai Islam dalam setiap asasnya. Sila pertama rupanya sejalan dengan Quran Surah Al-Ikhlash ayat 1. Sila kedua sejalan dengan Quran Surah An-Nisa’ ayat 135. Sila ketiga sejalan dengan Quran Surah Al-Hujurat ayat 13. Sila keempat sejalan dengan Quran Surah Asy-Syura ayat 38. Dan, sila kelima sejalan dengan Quran Surah An-Nahl ayat 90.
Jika kita mengulas sejarah lama, para perumus Pancasila juga bukanlah orang sembarangan. Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bukan kejadian spontan yang terjadi tanpa persiapan. Dimulai 1 Maret 1945, dibentuk panitia persiapan kemerdekaan BPUPKI yang berfokus pada dasar negara seperti sistem pemerintahan, ideologi negara, dan sebagainya. Panitia BPUPKI ini mulai melakukan rapat dengan serius di Jakarta selama tiga hari berturut-turut, terhitung sejak 28 Mei hingga 1 Juni 1945. Di sinilah diskusi bersejarah terjadi yang melibatkan para pakar legendaris untuk menentukan akan ke mana bangsa ini jadinya.
Semuanya memusatkan fokus pada pertanyaan yang disampaikan oleh ketua sidang ketika itu, Pak Radjiman, “Apa dasar negara Indonesia yang akan kita bentuk ini?” Gagasan milik Mohammad Yamin dan Soekarno paling disoroti. Yang menarik, Soekarno menyampaikan gagasannya pada 1 Juni 1945 secara spontan tanpa teks dan diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota sidang. Gagasan beliau kemudian dirumuskan kembali dan disahkan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 dengan terbentuknya Piagam Jakarta.
Sebelum itu, para wakil rakyat sempat terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang mengajukan agar negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan. Kedua, mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar negara. Kedua aliran pikir itu masing-masing memiliki akar sejarah dan perkembangan nasionalis Indonesia. Pandangan nasionalis sekuler menganggap perjuangan kemerdekaan dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 yang dianggap organisasi pertama bangsa Indonesia yang disusun secara modern dan besar artinya. Sedangkan pandangan nasionalis Islami banyak yang berpendapat bahwa berdirinya Sarekat Islam pada 16 Oktober 1905 menjadi titik tolak pergerakan nasional. “Pertengkaran” antara dua aliran utama ideologi tersebut akhirnya membawa kepada suatu kesepakatan bersama berupa Piagam Jakarta sebagai rancangan Preambule UUD 1945.
Titik temu kedua pendapat yang berseberangan itu berada di sila pertama Pancasila. Secara historis, kalimat itu dipahami sebagai perubahan dari kalimat di dalam Piagam Jakarta yang pada awalnya berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dan berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. Dari sini jelas bahwa kandungan pokok pikiran tersebut adalah paham ketauhidan. Namun kemudian diberikan perubahan sebab dalam perspektif teologis tauhid berarti mengesakan Tuhan yang biasa disebut dengan monoteisme.
Konsep monoteisme bukan hanya ada dalam Islam, tetapi juga pada agama lain secara umum. Dengan adanya titik temu tersebut, kandungan pemaknaan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat berlaku bagi umat beragama lainnya. Oleh karena itu, Indonesia tidak dikhususkan berdasarkan asas Islam tetapi berasas kebangsaan yang menganut konsep monoteisme. Bukan politeisme (paham syirik), ateisme (anti Tuhan), dan bukan pula sekularisme (pemisahan agama dan negara).
Oh iya, apa kalian ingat dengan sejarah Piagam Madinah? Ada kemiripan yang terjadi antara Piagam Madinah dan Piagam Jakarta. Pertama, dalam pemenuhan unsur-unsur negara secara umum. Ada tiga hal yang menjadi unsur-unsur esensial negara, yaitu: penduduk, wilayah, dan pemerintah. Kedua, dalam penempatan prinsip-prinsip agama yang mendasari negara sehingga keduanya tidak mengenal bentuk negara sekularisme (memisahkan pemerintahan dari ideologi keagamaan, pen.).
Kesimpulannya, Pancasila hanya dirumuskan dengan bentukan bahasa yang umum agar mudah dipahami dan dapat menyatukan seluruh masyarakat Indonesia, apapun agama yang dianutnya. Pada hakikatnya, justru nilai-nilai Pancasila sejalan dengan nilai-nilai hukum Islam. Bahkan Piagam Jakarta (hasil pengesahan Pancasila) yang kini sudah menjadi Preambule UUD 1945 di dalamnya terdapat kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sehingga Pancasila bukanlah sesuatu yang anti-Islam dan tidak perlu digantikan dengan ideologi selainnya.
Cukup sekian dulu pembahasan yang penulis ulas kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan baru bagi teman-teman semua. Selamat Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2020. Salam.
Ditulis oleh: Sabitha Ayu Nuryani