doc.google

Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia timbul suatu majelis selain majelis zikir dan dakwah. Majelis ini dibentuk sebagai sarana para ulama untuk mengajak seluruh masyarakat Indonesia lebih mencintai Rasulullah, namanya majelis selawat. Pada dasarnya, di negara kita ini membaca puji-pujian kepada Rasulullah bukanlah hal yang baru. Tradisi ini sudah lama berkembang di kalangan masyarakat setempat. Hanya saja cara pelaksanaanya saja yang berbeda.

Dahulu, pembacaan selawat ini sangatlah sederhana. Cukup masyarakat sekitar saja dan tidak lupa iringan alunan alat musik islami, seperti rebana dan sejenisnya. Pelaksaannya pun hanya jika terdapat hari-hari besar Islam atau suatu hajatan tertentu. Berbeda dengan sekarang yang pelaksanaanya tidak terikat dengan hari besar Islam maupun suatu hajatan tertentu. Orang-orang yang hadir pun bukan hanya warga sekitar, bisa saja dari warga lain bahkan luar kota.

Pada mulanya, eksistensi majelis selawat di Indonesia memang sangatlah sederhana. Sampai pada suatu waktu dimana hal ini dipopulerkan oleh suatu majelis selawat yang dibawa oleh Habib Syeikh. Lantas kemudian muncullah beberapa macam majelis selawat yang lain, seperti Syubbanul Muslimin, Azzahir, al-Musthafa, al-Riyadh dan sebagainya. Disinilah eksistensi majelis selawat mulai melejit hingga seperti saat ini. Para ulama saat ini rupanya telah menemukan terobosan terbaru untuk merangkul lebih dekat seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dikarenakan di dalam majelis selawat, kita tidak hanya disuguhi dengan lantunan selawat kepada Rasulullah yang nada musiknya sudah dirubah menjadi sangat kekinian,  tetapi juga disuguhi dengan berbagai macam syi’ir islami yang di dalamnya memuat tentang pesan-pesan moral, gambaran kehidupan zaman sekarang dan terkadang diselingi dengan humor yang berbobot.

Hal ini tentu saja menjadi salah satu alasan majelis selawat banyak digandrungi oleh para pemuda-pemudi di Indonesia. Selain dari alasan di atas, hal yang menarik para golongan orang tua turut serta di dalamnya adalah dengan adanya selingan berupa tausiah atau dalam Bahasa Jawa lebih terkenal dengan sebutan wejangan. Cara terbaru yang sangat efisien dan cenderung tidak monoton inilah yang akhirnya mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat dengan mudah.

Majelis selawat yang marak saat ini sangat dirasa membawa dampak positif bagi umat Islam. Bagaimana kita bisa mengatakan tidak, jika hal ini memang dapat dibuktikan secara langsung. Para peminat majelis selawat ini bukan hanya datang dari golongan orang tua, melainkan juga datang dari golongan pemuda-pemudi Tanah Air. Tidak sedikit dari golongan penerus bangsa ini yang menggandrungi majelis salawat. Hal ini karena mereka menganggap bahwa majelis selawat tidak hanya sebagai sarana mencari pahala dan bentuk kecintaan mereka terhadap Rasulullah, tetapi juga sebagai suatu majelis yang di dalamnya terdapat suatu ilmu yang dapat dipetik dengan cara yang tidak membosankan.

Dalam hal ini, kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua orang, khususnya dari golongan pemuda-pemudi datang di acara majelis selawat memiliki alasan yang sama. Mereka datang dengan alasan dan tujuan yang tentunya berbeda-beda. Mulai dari yang murni ingin berselawat kepada Nabi, ada juga yang hanya ingin mencari tema untuk status whatsapp, mengisi waktu senggang, melepas kepenatan dari beban tugas atau bahkan ada pula yang datang hanya untuk melihat secara langsung sang pelantun selawat.

Percaya atau tidak percaya, itu adalah faktanya. Biasanya, hal yang terakhir ini kerap terjadi di kalangan para pemuda yang mengidolakan para pelantun selawat atau munsyid karena suara mereka yang enak didengarkan atau karena wajah para munsyid tersebut yang enak untuk dilihat.

Lantas timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah menghadapi hal-hal yang demikian ini? Apakah diperbolehkan ataukah justru dilarang? Rasulullah pernah bersabda “Kau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” Dari hadis tersebut dapat kita ketahui bahwa suatu saat nanti kita akan dibersamakan dengan orang-orang yang kita idolakan dan tentunya kita akan menjadi bagian dari mereka.

Menurut penulis hal itu sah-sah saja datang ke suatu majelis selawat karena mengidolakan munsyidnya, bukankah tidak ada yang salah dari hal tersebut? Bukankah niat datang ke suatu majelis ilmu merupakan suatu kebaikan juga? Memang pada awalnya niat tersebut hanya karena itu, namun lambat laun mungkin rasa cinta kita kepada selawat juga akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu, namun juga perlu adanya tatanan niat secara perlahan.

 

*Alda Nihayah