Penulis: Zamzam Qodri

Editor: Sabitha Ayu Nuryani

Mahasiswa adalah tingkatan tertinggi dalam dunia akademik. Hal ini dikarenakan mahasiswa mempunyai indikasi penting dalam pendidikan dan penelitian. Selain itu, mereka juga dituntut menggunakan pendidikan dan penelitiannya untuk memberikan dedikasi terhadap masyarakat sosial yang sering disebut pengabdian. Habib Cahyono (2019:4-9) menyebutkan, mahasiswa sekurang-kurangnya memiliki lima fungsi dalam pengabdiannya terhadap masyarakat:

  1. Agent of change (agen perubahan)
  2. Iron stock (generasi penerus)
  3. Moral force (penguat moral)
  4. Social control (pengontrol sosial)
  5. Guardiant of value (penjaga nilai)

Namun, sebagian mahasiswa masih belum bisa memahami indikasi, dedikasi, dan fungsi di atas serta pengaplikasiannya dalam kehidupan, baik di dunia perkuliahan maupun sosial (masyarakat). Artikel ini mungkin akan bisa sedikit memberikan stimulus bagi pembaca terhadap salah satu atau dua problematika yang ada pada ruang lingkup kemahasiswaan.

Sebelum menuju isi, pada bagian leher ini setidaknya ada rangsangan atau stimulus yang dimulai dari pertanyaan atau bisa disebut bagian pertanyaan sebelum pernyataan. Mungkin sebagian kita terangsang, sebagian lain tidak, dan sebagian lain hanya merespons dengan mengukur seberapa besar keuntungan dan kerugian yang didapat. Bagi yang terangsang mungkin bertanya-tanya, “Masalah seperti apa lemahnya gairah diskusi kritis dan masturbasi intelektual pada mahasiswa itu? Dan, bagaimana yang dimaksud sederhana hingga bisa menjadi obat dari kedua masalah tersebut?” atau pertanyaan-pertanyaan lain sejenisnya, dan untuk menambah rangsangan, maka pertanyaan tersebut akan dilanjutkan dengan pernyataan pada bagian isi di bawah ini.

Lemahnya Gairah Diskusi Kritis dan Masturbasi Intelektual pada Mahasiswa

Kedua masalah di atas merupakan suatu masalah yang sering menyerang mahasiswa. Sering kita jumpai kebanyakan mahasiswa yang sangat sensitif dengan diskusi kritis. Hal itu pun bisa terjadi dalam kehidupan mahasiswa yang dirasa erat hubungannya dengan buku dan ilmu pengetahuan. Apa jadinya jika pengetahuan mahasiswa hanya sekadar pengetahuan yang paten dan tidak bisa dikolaborasikan dengan permasalahan yang ada di lingkungan sosial masyarakat? Masalah pertama ini tentu tidak terjadi begitu saja, ada sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, terutama faktor perkembangan zaman. Jika dilihat dari sejarahnya, mahasiswa zaman penjajah berbeda dengan mahasiswa pascakemerdekaan, mahasiswa pascakemerdekaan pun berbeda dengan mahasiswa zaman reformasi, begitu pula seterusnya hingga sampai pada zaman di mana mahasiswa berada pada zaman modern. Lebih tepatnya pada era lengkap dan canggihnya teknologi. Contohnya seperti pembelajaran atau kuliah dengan sistem Daring. Faktor inilah yang menyebabkan budaya diskusi kritis pada mahasiswa ‘mati suri’. Di saat fasilitas telah memadai, kepuasan lahiriah telah terpenuhi, lalu apa lagi yang mau dikritisi? Begitulah mahasiswa yang kehilangan idealismenya. Budaya diskusi kritis telah berganti dengan kultur yang lebih kekinian. (Ahmad Fahrri Huseinsyah, 2012:2)

Wisnu mengungkapkan bahwa hal ini bisa ditunjukkan dengan sepinya peminat ruang atau forum diskusi[1]. Jika hal itu ada sekalipun, besar kemugkinan jarang sekali mahasiswa yang berangkat diskusi dengan kesadaran pribadi. Jika dipikir kembali, nge-game maupun rebahan di rumah atau kosan lebih menggiurkan daripada diskusi membahas suatu permasalahan secara kritis. Realita sederhana bisa kita lihat dalam kelas. Saat sebagian mahasiswa melakukan presentasi, kemudian ada yang bertanya dengan pertanyaan yang kritis, tentu yang bertanya demikian akan disisihkan karena dianggap membunuh dialektika pemateri. Diskusi kritis akan menjadi sangat horor bagi mahasiswa yang pengecut dari segi dialektika dan kemurnian berpikirnya. Akhirnya, realita pada mahasiswa masa kini ialah fenomena lulus cepat agar segera memiliki pekerjaan dan study oriented yaitu pengetahuan yang berorientasi pada kepentingan akademik berupa nilai dan sertifikat yang baik, sehingga mendapatkan pekerjaan yang mapan tanpa memerhatikan manfaat pengetahuan secara sosial-kultural pada masyarakat. (Ahmad Fahri Huseinsyah, 2012:3)

Sedangkan masalah yang kedua yaitu masturbasi intelektual. Masalah ini merupakan lanjutan dari masalah pertama. Bisa dikatakan demikian karena jika mahasiswa sudah tidak memiliki gairah untuk berdiskusi secara kritis yang berangkat dari kesadaran, maka dalam menghadapi tugas perkuliahannya mahasiswa hanya mengejar nilai tinggi dan memamerkan pengetahuan yang dimiliki tanpa adanya diskusi yang beresensi. Yang ia bisa hanyalah mendiskriminasi pendapat atau pemikiran orang lain untuk mencapai eksistensi. Pada intinya, mereka hanya mau menerima gagasan orang lain ketika sejalan dengan kepentingannya saja. Hal ini sesuai dengan sebuah istilah dalam politik  praktis, “Tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi.” (Ida Arif Nurvianto, 2012:11)

Jika masturbasi intelektual ini sudah membudaya, maka yang terjadi adalah prostitusi intelektual. Kata prostitusi memang terdengar menjijikkan dan banyak orang yang menegasi kata prostitusi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prostitusi diartikan sebagai pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Jika disimpulkan secara sederhana, makna ini sejalan dengan realita yang terjadi di kalangan mahasiswa. Banyak mahasiswa yang kehilangan idealismenya sebagai mahasiswa hanya karena digiurkan oleh pangkat, nama, dan uang serta kepuasan materi lainnya. Sama halnya dengan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang kehilangan kehormatan atau harga dirinya demi uang. Maka tidak bisa dipungkiri, para pejabat yang katanya lulusan sarjana bahkan magister dalam membuat kebijakan hanya berafiliasi pada kepuasan mereka semata.

Apa Itu Kesederhanaan?

Seperti yang disebutkan dalam judul di atas, terdapat obat untuk kedua masalah tersebut. Sebut saja obat itu adalah sederhana. Sederhana di sini adalah sebuah sikap. Kata sikap sederhana ini bisa disederhanakan dengan menggunakan diksi kesederhanaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesederhanaan adalah kata sifat dari kata dasar sederhana yang berarti bersahaja, tidak berlebih-lebihan, sedang, dan tidak banyak seluk-beluknya.

Secara luas, Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dipanggil Buya Hamka, beliau membagi sikap sederhana menjadi beberapa bagian, namun dapat diringkas menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. Sederhana Niat dan Tujuannya

Tujuan sederhana tidak terletak pada bentuk lahiriahnya. Bukan orang kaya dan masyhur saja, bukan pula orang miskin. Tapi, sederhana niat dan tujuan ialah tujuan segala manusia yang berakal. (Buya Hamka, 2015:171)

Dari pernyataan Buya Hamka tersebut bisa ditarik benang merah bahwa kita sebagai mahasiswa di dalam dunia perkuliahan, jika memliki niat ingin memberikan kebermanfaatan dan kebaikan tidak harus berniat dan bertujuan menjadi presiden mahasiswa, ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema), ketua Senat Mahasiswa (Sema), dan sebagainya. Meskipun kita hanya mahasiswa biasa dan tidak memiliki jabatan apa pun, kita bisa memberikan kebermanfaatan tersebut dengan kadar masing-masing. Apalagi jika dilihat dari realitanya, kebanyakan mahasiswa yang awalnya berniat dan bertujuan untuk belajar dan menggali potensi menjadi berbelok kepada niat dan tujuan yang tidak murni, yaitu ditumpuk dengan niat dan tujuan supaya mendapatkan kedudukan, pangkat, ataupun nama. Di sanalah tidak konsistennya mahasiswa dalam menata niat dan tujuannya.

  1. Sederhana Berpikir

Niat dan tujuan yang sederhana atau murni tidak akan tercapai jika tidak dimulai dari kesederhanaan berpikir. Maksud dari sederhana berpikir dalam hal ini tidak tepat jika diartikan sebagai penghambat pemikiran kritis. Justru sederhana berpikir sangat erat kaitannya dengan pemikiran kritis, karena sederhana berpikir merujuk pada kematangan berpikir yang ditempuh dengan proses pemikiran kritis. Hal ini bisa dianalogikan seperti memasak. Jika hasil masakan masih mentah, maka tidak nikmat jika dimakan. Apalagi hasil masakan yang gosong (berlebihan kadar matangnya), memang siapa yang akan makan? Tentu tidak ada. Orang akan makan jika keadaan makanan itu berada di tengah-tengah dari dua keadaan makanan di atas, yaitu keadaan matang. Begitu pula dengan pikiran, jika pikiran masih mentah, maka yang terjadi adalah salah kaprah dan jika pikiran terlalu berlebihan (gosong), maka yang akan timbul hanyalah rasa pahit saja, baik pahit bagi diri sendiri maupun orang lain yang menerima. Dengan demikian, yang tepat adalah pikiran yang matang, karena dengannya kita dapat membedakan antara yang gelap dengan yang terang, dan yang hak dengan yang batil. (Buya Hamka, 2015:173)

Alat yang utama untuk menyampaikan pikiran ada dua. Pertama, kata-kata. Kedua, tulisan. Menyatakan pikiran, baik dengan kata-kata maupun tulisan, mestilah melalui pertimbangan. Sebab kata-kata yang diutarakan baik secara lisan maupun tulisan adalah penentu dalam dan dangkal serta mentah dan matangnya pemikiran (Buya Hamka, 2015:184). Sebagai mahasiswa, kita perlu menerapkan kesederhanaan pada pikiran kita, sehingga yang keluar dari kita baik berupa lisan (seminar, pidato, kajian, diskusi, dan lain-lain) maupun tulisan (makalah, jurnal, berita, skripsi, dan lain-lain) tidak dalam keadaan mentah dan tidak pula gosong, melainkan dalam keadaan matang.

  1. Sederhana dalam Sukacita

Jika niat dan tujuan sederhana tidak bisa dicapai tanpa adanya pikiran sederhana, maka sama halnya dengan pikiran sederhana yang juga tidak akan bisa tercapai tanpa adanya sederhana dalam sukacita. Sukacita dalam bahasa lain bisa disebut dengan kesenangan atau kebahagiaan. Banyak orang yang mencari kebahagiaan, namun pandangan seseorang terhadap kebahagiaan bermacam-macam. Seperti Aristoteles yang berpandangan bahwa bahagia adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing (Buya Hamka, 2015:19).

Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan. Orang sakit mengatakan bahagia pada kesehatan. Seorang pengarang merasa bahagia jika karangannya diminati banyak orang. Seorang jurnalis merasa bahagia jika surat kabarnya dan timbangan redaksinya dipahami orang (Buya Hamka, 2015:12), begitu pula seterusnya.

Seperti yang disampaikan di atas, dengan adanya rasa bahagia, maka banyak orang yang berlomba-lomba mencari kebahagiaan. Kebanyakan dari kita memandang bahwa bahagia itu jika kebutuhan lahiriah kita terpenuhi. Bisa dikatakan demikian karena banyak dari mahasiswa yang berlomba-lomba dalam mencari kesenangan lahiriah, seperti gila nama, gila jabatan, dan lain-lain. Dari aspek lain, juga ada mahasiswa yang kerap memamerkan harta benda, misalnya memakai tas, sepatu, dan baju dengan harga yang tidak ada hubunganya dengan kewajiban mahasiswa yang seharusnya belajar dan mengembangkan potensi.

Sikap tersebut tidak dapat disalahkan sepenuhnya, asalkan tidak keluar dari wadah kesederhanaan. Namun, menurut Hendrik Ibsen, ahli pikir bangsa Norwegia (1828­­-1906), mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur saja, karena jalan untuk menempuhnya sangatlah tertutup, setiap ikhtiar untuk melangkah ke sana senantiasa terbentur. Karena mula-mula orang yang menujunya menyangka bahwa perjalanan (mencari bahagia) telah dekat, padahal dekat dengan jurang tempat jatuh (Buya Hamka, 2015:20). Thomas Hardy pun segolongan dengan Hendrik.

Namun di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa orang yang menganggap mencari kebahagiaan itu adalah suatu tindakan yang sia-sia termasuk orang yang putus asa di dalam mencari kebahagiaan, karena bahagia tersebut diambilnya untuk dirinya sendiri, bukan untuk bersama (Buya Hamka, 2015:21). Sebut saja mereka Leo Tolstoy, Betrand Russel, dan George Bernard Shaw.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa kita perlu mengetahui apa saja yang memengaruhi tercapainya kebahagiaan. Imam Ghozali mengatakan bahwa kesempurnaan bahagia bergantung kepada tiga kekuatan: 1) kekuatan  marah, 2) kekuatan syahwat, 3) kekuatan ilmu. Jika marah itu berlebih dari yang semestinya, kejadian memukul dan membunuh akan terjadi. Tetapi jika marah terlalu kurang, maka hilanglah harga diri dan rasa tanggung jawab atas keperluan agama dan dunia. Sedangkan jika marah ada di tengah-tengah, timbullah kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanian, dan segala pekerjaan dapat dikerjakan dengan nikmat (Buya Hamka, 2015:16).

Demikian pula dengan syahwat. Jika syahwat itu berlebihan, terjadilah fasik dan onar. Jika syahwatnya terlalu kurang, terjadilah kelemahan hati dan pemalas. Yang baik jika syahwat itu di tengah-tengah, maka yang timbul adalah iffah artinya dapat memerintah diri dan qanaah yakni cukup dengan apa yang ada serta tidak berhenti berusaha (Buya Hamka, 2015:17).

Jika semua hal di atas diringkas, kebahagiaan itu ialah pada kemenangan menaklukkan hawa nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebih-lebihan. Itulah mengapa setelah kembali dari Perang Uhud yang besar, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa kembalinya dari Perang Uhud itu adalah kembali dari perang kecil, menempuh perang yang besar, yaitu perang dengan hawa nafsu (Buya Hamka, 2015:19). Dengan kata lain, “Mencari bahagia bukanlah dari luar diri, tetapi dari dalam.” (Buya Hamka, 2015:172). Atau “Carilah yang dari luar itu sekadar berguna untuk memupuk kesempatan yang dari dalam!” (Buya Hamka, 2015:175).

Oleh karena itu, sebagai akedemisi yang katanya–paling tidak–bergelut dengan buku selama 4 tahun, dalam hal kesadaran tentang kesederhanaan, mahasiswa dituntut menggunakan kekuatan yang dikatakan oleh Imam Ghazali dalam penjelasan Buya Hamka di atas, yaitu kekuatan ilmu untuk menyatukan beberapa sikap penting dari kesederhanaan, mulai dari sederhana niat dan tujuan, sederhana berpikir sehingga dapat mencapai kesederhanaan dalam sukacita, dan menjumpai kebahagiaan yang sebenarnya dekat dengan kita, yaitu ada pada diri kita. Selain itu, kekuatan ilmu pengetahuan yang diiringi dengan sikap sederhana tersebut akan mengobati penyakit lemah gairah diskusi dan masturbasi intelektual pada diri kita sebagai mahasiswa, sehingga kita punya kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar baik di dalam lingkup perkuliahan maupun dalam lingkup sosial kemasyarakatan.

Sembuhnya kedua penyakit atau masalah tersebut dapat mengantarkan mahasiswa sebagai manusia sosial yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, yakni menjalankan fungsi kemahasiswaannya sebagai generasi penerus bangsa (iron stock) dengan menjadi pengontrol kehidupan sosial masyarakat (sosial control) yang tetap menjaga nilai-nilai luhur yang ada (guardian of value), sehingga mahasiswa benar-benar menjadi agen atau pembawa perubahan yang baik (agent of change) berdasarkan moralitas yang luhur dan kuat (moral force).

 

[1]Defisit Diskusi Kritis di Kalangan Mahasiswa, https://persmaporos.com/defisit-diskusi-kritis-di-kalangan-mahasiswa/, diakses pada 15 Januari 2021 pukul 01.13.