Doc: Google

Oleh: Zamzam Qodri

Apa yang terbayang di benak Anda, jika mendengar ada lomba sabung ayam? Pasti seru, bukan? Jika tempat itu dekat, maka tentu Anda akan langsung menghampirinya. Itu pun hanya sebagai penonton. Bagaimana jika Anda yang bermain langsung? Pasti lebih seru dibandingkan menonton saja, ‘kan? Begitulah perasaan pemerintah saat mengadu aparatnya untuk sabung-menyabung melawan agamawan. Dengan dalih bahwa agamawan yang  bersangkutan menjadi pemberontak kecil, sementara aparat menjadi penjaga keamanan. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Anda bisa mencermatinya sendiri.

Tak lama setelah kedatangan imam besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, Indonesia kembali ricuh. Diawali dengan digelarnya pernikahan putrinya, Najwa Shihab dengan Irfan Alaydrus pada Sabtu, 14 November 2020. Habib Rizieq beserta para tamu pun mendapat peringatan dari pemerintah. Diperkirakan, masyarakat yang hadir di acara tersebut berjumlah 10.000 orang. Namun, peringatan dari pemerintah tak dihiraukan oleh mereka. Kericuhan pun terus berlanjut, sebab masyarakat digegerkan dengan beredarnya video azan yang diganti lafaznya dari hayya ‘alash sholah menjadi hayya ‘alal jihad. Hal ini mengundang respon dari berbagai organisasi Islam, terutama dari Ormas NU. NU mengimbau masyarakat agar tidak terprovokasi dengan adanya video viral tersebut.

Kericuhan semakin memanas ketika polisi menangkap Habib Rizieq untuk diperiksa. Proses penyelidikan kemudian berlanjut menjadi penyidikan. Lagi-lagi kejadian tersebut menuai banyak respons dari masyarakat, baik respons yang represif maupun agresif. Salah satunya yaitu respons dari seorang ibu rumah tangga, Ratu Wiraksini (53), yang menyebut kata “Polisi Dajal” karena polisi menangkap Habib Rizieq. Ratu Wiraksini mengunggah ucapannya melalui akun TikTok @yudinratu. Akibat perbuatan tersebut, polisi juga memenjarakan Ratu Wiraksini.

Dilihat dari detikcom, video tersebut memperlihatkan Ratu Wiraksini yang berkomentar soal penangkapan Habib Rizieq. Sambil ‘berpuisi’, Ratu Wiraksini menyebut Polisi Dajal, karena telah menembak 6 laskar Front Pembela Islam (FPI).

Kondisi makin diperpanas dengan adanya Aksi 1812, yang di dalamnya menyatakan ketidakterimaan mereka terhadap penangkapan imam besar mereka. Polisi bahkan tentara ikut turun ke jalan untuk menstabilkan keadaan, salah satunya dengan cara membubarkan massa. Dikabarkan, polisi juga mengamankan beberapa massa dan ambulans yang berisi barang-barang logistik.

Lalu, di mana wajah pemerintah? Dari dulu hingga sekarang, penyelesaian masalah dengan FPI belum menemukan titik terangnya. Penyelesaian yang digalakkan hanya omong (bicara), dan tidak mau momong (mengayomi). Menyelesaikan konflik dengan konflik yang tak keluar dari kepentingan politik. Seperti mental para penjajah yang merampok kita baik logika maupun logistik. Yang telah lama mental itu menggelitik, sehingga keadaan kita dahulu menjadi tercekik. Tak lain hanya kepentingan politik.

Ini bukanlah suatu wujud kedistraksian terhadap pemerintah. Justru ini adalah wujud kepedulian terhadap pemerintah. Tentu bentuk kepedulian tidak akan terhitung jika tidak ada sumbangsih, minimal dalam bentuk pemikiran. Dalam banyak kata mutiara, dikatakan bahwa kekerasan tak bisa diselesaikan dengan kekerasan pula. Jika FPI dirasa sebagai pemberontak kecil karena sudah menunjukkan sikap pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, maka seharusnya pemerintah lebih peka terhadap kebutuhan mereka untuk menghilangkan masalah tersebut. Jika yang dituju adalah soal pemerintah, maka berikanlah itu. Mungkin mereka ingin duduk di kursi para pejabat. Apa salahnya mengosongkan sedikit kursi untuk golongan mereka? Siapa tahu, mereka bisa membantu membangkitkan semangat dari sikap lembek para pemerintah.

Sekali lagi, ini bukanlah suatu ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Hanya saja ada sedikit kekecewaan. Tapi, jika kekecewaan ini terus berjalan dan meningkat, maka tidak bisa dipungkiri akan ada turunan-turunan FPI dan kembaran-kembarannya. Hal ini hanyalah gambaran dan prediksi sederhana.