Oleh: Fauzi SAA’18
Modernisme merupakan sebuah etape pemikiran manusia. Di mana terdapat beberapa ide-ide yang menyusunnya. Di wilayah filsafat, materialisme sebagai basis ontologis. Epistemiknya jatuh pada doktrin rasionalisme. Sedang pandangan manusia dikenal dengan humanisme. Pada wilayah ekonomi adalah kapitalisme. Modernisme, bukanlah sebuah ide yang tidak memilki spirit. Modernisme tetap memiliki visi untuk membangun masyarakat. Namun, visi peradaban mengalami paradoks.
Gugusan ide yang pertama adalah materialisme. Materialisme sebagai basis ontologisnya, memandang dunia dengan cara tak utuh. Modernisme, memiliki keyakinanan bahwa keberadaan yang real adalah materi. Materi memiliki posisi yang istimewa. Sehingga pandangan ontologis ini, serta merta berkonsekuensi terhadap sikap hidup dan menjadi perilaku. Selain itu, ini juga membentuk etika tertentu yang kemudian dikenal dengan hedonis-konsumtif.
Materialisme tentunya bukanlah suatu pahaman yang pasif akan tetapi selalu bergerak hingga mondual dan dimiliki oleh semua manusia. Kemasifan materialisme pun secara langsung telah membentuk sebuah perilaku sosial yang hanya mementingkan materi. Materialisme, tidak memberi ruang kepada hal yang abstrak atau tidak bisa objektivikasi dengan indera, untuk mengisi ruang nalar manusia.
Kedua rasionalisme. Sebagai gagasan epistem, singkatnya ia adalah kepercayaan terhadap akal budi. Segala bentuk klaim, apa itu moral, estetika, pengetahuan, hanya dapat diterima apabila dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Sehingga, rasionalitas menegasikan segala bentuk klaim yang tidak memiliki pendasaran rasional seperti yang didapati dalam tradisi, dogma, dan otoritas Adian.[1] Para rasionalis beranggapan sudah saatnya kita membangunkan masyarakat yang selama ini tertidur rasionalitasnya. Dan dipaksa untuk taat percaya saja pada apa yang datang kepada dirinya (given) sehingga akal budi manusia tidak lagi terbuka.
Iman terhadap rasio akhirnya melahirkan efek. Melahirkan gemuru pada bidang lain yang sama sekali baru. Di bidang politik, melahirkan sebuah gagasan dalam bentuk kontrak sosial. Bahwa negara bukanlah suatu yang kodrati. Artinya, negara bukanlah di atas masyarakat, akan tetapi di bawah masyarakat. Selanjutnya, dalam bidang agama—yakni kebenaran agama. Perlu untuk dilakukan verifikasi dengan rasio. Kebenaran agama tidak lagi dimonopoli oleh kelompok relegius semata. Dalam bidang pengetahuan, terjadi revolusi pengetahuan di mana pengetahuan tentang kosmos tidak lagi “dipegang” oleh teks suci akan tetapi dikembalikan kepada rasio manusia.
Ketiga adalah Humanisme. Sebagai salah satu gugusan ide yang menyusun modernisme, ia adalah ide yang memberi ruang otonom pada manusia. Humanisme muncul setelah Eropa dikungkung oleh dogmatis gereja. Dogma yang mematikan kebebasan manusia. Kembalinya manusia sebagai subjek otonom, rasional. Menandai lahirnya sebuah paham yang menekankan kebernilaian manusia sebagai manusia dan menolak perlakuan bendawi terhadap manusia. Paham humanisme adalah pondasi bagi berkembanganya gagasan tentang hak asasi manusia universal.[2]
Membincang kapitalime sebagai paham ekonomi yang juga merupakan salah satu gugusan ide yang menyusun modernisme. Kapitalisme dengan ideologi laissez-faire, yang diturunkan dari ajaran Adam Smith. Kapitalisme klasik dengan tokohnya Adam Smith[3] memiliki postulat sebagai kerangka dasar yang perlu untuk dipahami. Sebagai postulat maka bagaimana pun zaman berubah, postulat ini tetap selalu mengiringi.
Kerangka dasar dari kapitalisme dapat dilihat sebagai berikut: Pertama, diakuainya hak milik perseorangan secara pribadi, bahkan hampir tanpa batas. Kedua, mengejar keuntungan secara maksimal, pada semua individu. Ketiga, adanya kebebasan untuk berkompetisi antar individu, dalam rangka peningkatan status sosial ekonomi masing-masing dan yang terakhir. Keempat, adanya mekanisme yang mengatur persaingan dan kebebasan itu.
Kapitalisme pun dapat dipahami bila melihat keyakinan Smith bahwa apabila manusia dibebaskan untuk mengejar profit, maka akan ada kompetisi, dan melalui kompetisi itu stabilitas masyarakat akan terjaga; seolah-seolah ada tangan yang tak keliahatan yang mengatur masyarakat di luar pelaku-pelaku ekonomi.[4] Prinsip lain dari kapitalisme menekankan bahwa produksi ditujukan untuk profit guna penambahan modal.
*
Post-modernisme sebuah gagasan tentunya tidak lepas dari pedebatan. Ada yang mengatakan bahwa post-modernisme adalah kelanjutan dari modernisme itu sendiri dan ada pula yang mengatakan bahwa post-modernisme adalah krtitik terhadap modernisme. Bagi penulis memilih untuk berpihak pada kubu kedua bahwa kehadiran post-modernisme adalah kritik terhadap arus modernisme yang telah membawa manusia pada rimba yang mana manusia tidak dapat menemukan tepi rimba tersebut.
Post-modernisme sebagai gugusan ide meliputi produk kultural baru dan tipe teoritisi baru mengenai dunia sosial.[5] Modernisme dalam pandangan post-modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai representase subjek yang sadar, rasional dan otonom. Modernisme selalu berada pada arena narasi besar yang universal dan absolut. Postmodernisme melihat bahwa upaya yang dinarasikan oleh modernisme tidak lepas kepentingan atau kuasa, kritik-kritik seperti ini bisa dilihat pada Michel Faucoult.
Post-modernisme adalah realitas pemikiran baru menghantam konsepsi-konsepsi modernisme seperti subjek yang sadar diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia dan sejarah yang linier.[6] Post-modernisme bisa dipahami berupaya menarik narasi besar yang dalam modernisme kepada pinggiran atau narasi kecil. Kecederungan modernisme juga adalah binerian sehingga postmo sebagai kritik mencoba untuk meleburkan tapal binerian tersebut.
Post-modernisme meneriakkan “Kematian subjek” di mana dalam modernisme sangat didengung-dengungkan. Kematian subjek yang dimaksud adalah suatu yang tidak otentik lagi tetapi telah di bentuk oleh suatu narasi besar dengan kepentingan tertentu yakni kapitalisme. Kaum postmo melihat bahwa subjek dalam menemukan identitas tidak lebih dari jeratan linguistik. Bahasa bagi kaum postmo telah membentuk realitas termasuk identitas diri sebagai subjek. Strukturalisme dan postrukturralisme mengkaji pada domain ini sehingga kedua teori tidak bersebapak dengan kaum humanisme sebagai salah satu gugusan ide tetang kebebasan subjek dan otonominya.
Selanjutnya pendewaan sains dan teknologi dalam modernisme juga tak luput dari kritik melalui geneologis Faucoult bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup manusia itu sendiri. Menurutnya, pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa, bukan representase realitas. Dan nalar adalah kaki tangan kuasa yang immanen.[7]
Modernisme memang telah membawa manusia pada arah yang tidak jelas, pada rimba yang entah di mana, pinggir atau pada lautan samudra yang entah tepinya seperti apa. Sehingga, kaum post-modernisme melihat hal ini harus diakhiri dengan metodologi kritik-dekonstruktif mulai dari epistem hingga pada strategi budaya dari modernisme.
[1] Donny Gahral, Percik-percik Pemikiran Kontemporer (Yokyakarta: Jalasutra, 2006), 72.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 70.
[4] Rizky, Awalil, Agenda Neoliberalisme Mencekram Perekonomian Indonesia (Jakarta: Ucy Press, 2007), 85.
[5] Ritzer, George, Teori Sosial Postmoderen (Yokyakarta: Kreasi Wacana, Cet. 5, 2009), 14.
[6] Ibid., 76.
[7] Heriayanto, Husain, ”Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar”, (Jakarta: Kompas).