doc.google

 

Setiap tahun kita dapat melihat tak sedikit para peserta baru memasuki kampus UINSA. Mereka rela mengeluarkan banyak uang hanya demi mengenyam pendidikan melalui program studi tujuan yang mereka pilih masing-masing. Tanpa menghiraukan biaya operasional yang harus mereka bayar setiap semester, sekalipun mahal, terpenting bagi mereka adalah mendapatkan ilmu dan wawasan.

Berbagai macam latar belakang pun turut menghiasi warna-warni kampus. Perbedaan ini kemudian menjelma menjadi diaklektika antar kebudayaan. Banyaknya pertemuan perbedaan di antara mereka tidak lantas membuat klasifikasi berupa pengkotak-kotakan aku-kamu. Lebih jauh, semua itu melebur menjadi satu berupa kita, sesama anak perantauan yang memiliki kesamaan tujuan mencari ilmu, teman dan pengalaman. Saking lekatnya, kesatuan pada diri bernama kita nyaris sulit terpisahkan bahkan hampir tak lagi bisa dibagi mana dimensi diri aku-kamu.

Akan tetapi, kampus Islam bernama UINSA tidak hanya diisi keindahan berupa Bhinneka Tunggal semacam tadi. Kampus Islam ini juga tercemari dengan bau anyir kebusukan. Kebusukan ini cukup menyengat tercium memenuhi sepenuh atmosfer UINSA. Siapapun pasti akan merasa jijik dan muak jika mencium baunya. Bau itu disebabkan oleh setan-setan pendidikan.

Akibat perbuatan setan-setan yang mengatur pendidikan, mahasiswa yang pada awalnya datang bersama harapan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat,  sesampai mereka di kelas ternyata pengharapan itu terpaksa sirna seiring pertemuannya dengan kenyataan. Faktanya, sesekalipun kampus tidak mengajarkan beberapa hal tergolong vital dalam pendidikan seperti kesadaran orientasi pendidikan yang telah termaktub secara rapi dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara).

Padahal, GBHN secara jelas mendoktrin kita bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk mencerdaskan pikiran bangsa baik cerdas secara intelektual, emosional serta spiritual. Di mana tiga hal terakhir ini berdasarkan sublimasi dari serpihan nilai-nilai surga, yakni Pancasila, dasar dan ideologi negara Indonesia. Orientasi lain dari pendidikan kita berdasarkan GBHN tadi ialah agar setiap peserta didik dapat berpartisipasi dalam rangka membangun dan memajukan Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin perihal pencerdasan dan partisipasi pembangunan nasional bisa tegak berdiri memancarkan sinar terang benderangnya ke seluruh semesta, sementara pendidikan hari ini hanya terfokus pada pengisian absensi, berlomba-lomba mengejar nilai dan IPK tertinggi?

Tak hanya itu, konstruk logika berpikir setan-setan yang menguasai pendidikan juga tak kalah ngawurnya. Mereka berpendirian bahwa kepintaran dan kecerdasan hanya bisa dicapai melewati  ruang-ruang kelas formal. Adapun kesadaran berliterasi, membaca dan menulis, kajian dan diskusi sengaja mereka tutup rapat-rapat dari matanya masing-masing. Mereka sengaja hendak menghapus beberapa hal ini dari kamus kecerdasan dan kepintaran, lalu digantikan dengan tugas, absensi, kepatuhan dan ancaman.

Mari kita sejenak merefleksi terkait budaya maupun model pendidikan kita yang semakin lama semakin menampakkan kemahalannya, namun membutakan mata terhadap kualitasnya. Bertolak dari fakta dan realita kita akan menyadari satu hal, tidakkah kita menyadari serta merasa terkecewakan oleh sistem pendidikan yang hanya mempedulikan pembayaran tapi mengabaikan pemberian. Tak sedikitpun dari kita diberi kesempatan untuk mengkritisi akan kebobrokan pendidikan sebab nilai, absensi serta tugas yang membeludak telah mengusir secara paksa  nalar kritis di antara kita.

Terus menerus kita dipaksa diam dan bungkam saat nyata-nyata keburukan di depan mata. Bila tiada lagi kepedulian dan kekritisan terhadap kebobrokan, bagaimana cara dan apa guna pendidikan kita yang bertujuan untuk berpartisipasi dalam membangun kemajuan dan kedaulatan negara Indonesia. Percayalah bahwa tak selamanya kepatuhan adalah kebaikan, pertentangan adalah keburukan. Namun, bila peserta didik telah diajarkan bungkam dengan kesadaran-kesadaran palsu, sementara ilmu tidak lagi menjadi bekal sebagai kontrol maupun evaluasi terhadap sesuatu melalui kesadaran kritis yang kini dicoba sirna dari panggung sejarah pendidikan, bagaimana mungkin mereka dapat mengontrol dan berpartisipasi dalam rangka kemajuan dan kedaulatan pembangunan nasional.

Setan-setan pendidikan itu merasa bahwa jumlah peserta didik tidak mencapai dari angka 10% populasi masyarakat Indonesia. Namun, mereka melupakan bahkan tidak mempedulikan bila peserta didik adalah 100% masa depan Indonesia.

 

 

Friedrich Z. Fazi*)