Penulis: W.M.J. Ningrum, Anggota Divisi Regenerasi Organisasi LPM Forma

Editor: Habib Muzaki

Sumber: SINDOnews

 

Sejarah mencatat bagaimana pertikaian sosial-politik yang terjadi setelah wafatnya Muhammad, sang pembawa risalah. Mungkin tidak perlu panjang lebar untuk berargumen menunjukkan bahwa ‘penyesatan’ itu muncul. Setingkat sahabat yang hakikatnya berkesempatan bergaul secara intensif dengan Muhammad, ternyata merekalah generasi pertama yang sempat menglami fase awal ‘penyesatan’ antara umat Islam.

Pertikaian yang terjadi dalam peristiwa perebutan kekuasaan kekhalifahan menjadi pemicu lahirnya fitnah-fitnah politik yang berimbas ke wilayah ideologis di kalangan generasi awal umat Islam.

Fenomena ‘penyesatan’ menjadikan awal lahirnya tiga aliran pertama di dalam Islam; Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Yang mana aliran ini mengeklaim kebenaran pandangannya dan kekeliruan pandangan aliran yang lain. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai peralihan konflik dari politik menuju ideologis yang dampaknya tidak hanya pada konflik intelektual, namun konflik fisik hingga di medan pertempuran.

Berjalannya waktu, aliran dalam Islam dan pandangannya banyak bermunculan, masing masing mengklaim kebenaran pandangannya, baik yang masih bisa bertahan hingga kini maupun yang sudah tergeserkan oleh sejarah sebab ketidak mampuan berkompetisi. Dalam berbagai bidang eksitensi spiritual umat Islam (baik dalam aspek akidah, syari’ah maupun mu’amalah), dapat dipastikan terdapat aliran-aliran yang beragam dan menjadi aliran yang spesifik.

Dalam konflik kebenaran ini menjadi menyedihkan ketika dimensi kekuasaan ikut mengintervensi. Contoh paling nyata terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ketika salah satu aliran teologi Mu’tazilah, dinyatakan sebagai mazhab negara. Pada masa tersebut sebuah peristiwa memilukan yang disebut mihnah atau inkuisisi terjadi.

Mihnah mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai uji ideologi. Dalam mihnah tersebut setiap tokoh agama dicek pandangannya tentang satu isu teologis tertentu, yaitu tentang kemakhlukan al-Qur’an. Mereka yang pandangannya tidak sesuai dengan pandangan Mu’tazilah, akan mendapat hukuman oleh kerajaan.

Hingga berabad-abad perjalanan umat Islam, ternyata fenomena ‘penyesatan’ ini tidak hentinya tampil menghiasi lembar demi lembar catatan sejarah Islam. Ulama fikih menyesatkan ulama filsafat, ulama akidah menyesatkan tasawuf, ulama fikih memurtadkan ulama fikih yang lain dari mazhab berbeda, ulama akidah memurtadkan ulama akidah dari aliran yang berbeda, dan lain sejenisnya tiada henti mewarnai wajah perjalanan sejarah umat Islam. Bahkan, fenomena penyesatan ini terus berlanjut hingga era globalisasi teknologi dan informasi abad ke-21 ini.

Sebagai pendukung utama dari fenomena penyesatan ini adalah munculnya berbagai kitab dan karya yang ‘sangat memihak’. Karya yang dimaksud biasanya bernada apologis dengan isi yang membenarkan kebenarannya sendiri dan membeberkan kesalahan yang lain dengan berbagai argumen. Di abad ke-21 ini fenomena ‘penyesatan’ tentu saja terkemas dengan lebih canggih, tidak hanya melalui buku tetapi juga memanfaatkan jaringan teknologi informasi yang tersedia.

Al-Qur’an Merupakan landasan utama bagi umat Islam. Meninggalkan al-Qur’an dan tidak mengakui eksistensinya sama artinya dengan meninggalkan Islam. Dari pandangan ini tidak salah lagi apabila al-Qur’an sebagai argument pertama dalam aliran atau sekelompok untuk membenarkan pandangan sendiri dan menyalahkan orang lain.

Setiap orang, setiap kelompok boleh menjadikan al-Qur’an sebagai argumen bagi keberagamaan untuk mereka yakini. Dengan memposisikan al-Qur’an sebagai keniscayaan apabila setiap orang atau setiap kelompok tersebut memiliki keragaman pembaca sekaligus keragaman presepsi dan kepentingan terhadap al-Qur’an. Dapat kita pahami bahwa kekeliruan cara pemakaian al-Qur’an sebagai dalih ‘penyesatan’ tidak dalam dataran ‘pemakaian ayat-ayatnya’ namun lebih pada ‘klain kebenaranya’.

Mengklaim kebenaran al-Qur’an untuk kelompok atau lingkungannya sendiri justru menunjukkan bahwa al- Qur’an hanya sesuai untuk lingkungan tersebut dan tidak untuk lingkungan yang lain. Ketika al-Qur’an hanya bisa relevan untuk satu ruang dan waktu saja, sementara realitas kehidupan manusia secara sunnatullah mengandung pluralitas, maka karakter universal dan salih likulli zaman wa makan yang sering dijargonkan oleh umat Islam dapat dikatakan omong kosong belaka.

Dalam perspektif hermeneutika, ketika memahami sebuah teks dan menginginkan ketepatan makna dari teks yang dimaksud, pemahaman terhadap konteks yang melingkupi teks tersebut adalah sesuatu yang niscaya. Di antara konteks dari teks yang harus dicek pertama kali tentunya adalah pengarang (author) dari teks tersebut. Dalam kasus al-Qur’an, tentunya ketika dilakukan pengecekan terhadap pengarangnya akan ditemui kesulitan atau bahkan tidak mungkin, karena bukankah author al-Qur’an itu adalah Allah sendiri?

Dengan diakuinya klaim-klaim tersebut, maka akhirnya dapat dikatakan telah muncul ‘wahyu kedua’, yaitu pemahaman Sang Saleh tersebut yang diyakini sebagai maksud al-Qur’an yang benar karena berasal dari petuntuk Allah secara langsung. Kenyataan ini tentu saja mengabaikan situasi historis penerima teks dan penafsir. Di sisi lain, kenyataan ini akan menjadi semakin rumit manakala dihadapkan dengan fakta bahwa kadang-kadang orang saleh atau orang suci dari satu kelompok adalah orang sesat bagi kelompok yang lain.

Harus diakui segala model ‘penyesatan’ terhadap hal yang lain apabila tidak diiringi dengan kesadaran akan segala makna kehidupan, dinamika setiap orang dan  kragaman perilaku dan pemikiran, maka ‘penyesatan’ yang dimaksud dapat dikatakan bentuk egoisme yang bermula dari semangat agar kebenaran menjadi milik sendiri.

Kenyataannya, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini menggenggam kebenaran dan memiliki kebijakan yang tertinggi. Ajaran dan pesan Allah, al-Qur’an, dan Muhammad bisa diyakini sebagai kebenaran yang tertinggi, namun ketika pesan dan ajaran tersebut dipahami oleh manusia biasa, hasil pemahaman tersebut jelas tidak mungkin disamakan derajatnya dengan sumber pemahamannya.