Penulis: Baharudin Chabib Chakim

Editor: Adi Swandana E. P.

“Jika tuntutan ini (Tolak UU Cipta Kerja) tidak ditandatangani oleh DPRD, maka kami ABS (Aliansi BEM Surabaya) memberikan ultimatum yakni, melaksanakan demontrasi dengan massa yang lebih besar dan menuntut DPRD Jawa Timur untuk turun, karena mereka sudah tidak lagi berpihak kepada masyarakat. Tetapi melindungi para birokrasi-birokrasi pemerintahan.”

Kurang lebih itulah ucapan yang saya dengar ketika melakukan liputan demonstrasi UU Cipta Kerja (12/04). Sebelumnya ABS sempat melakukan konsolidasi beberapa kali untuk menyatakan sikap atas disahkannya UU Cipta Kerja. Saya pribadi juga sempat mengikuti konsolidasi itu.

Selanjutnya, ABS pun sepakat untuk turun aksi dengan tuntutan utama agar DPRD Jawa Timur menyatakan sikap tegas penolakan UU Cipta Kerja yang sudah disahkan. Akhir dari demonstrasi tersebut hanya sebatas ketua DPRD Jawa Timur yang keluar untuk menghadapi para demostran di tengah-tengah demonstrasi.

“Sebenarnya ini merupakan tuntutan-tuntutan lama yang diluncurkan oleh elemen-elemen masyarakat. Salah satunya adalah mahasiswa. UU Cipta Kerja ini merupakan isu turunan dari UU Omnibuslaw. Kami akan menerima tuntutan ini. Dan kami akan menolak UU Cipta Kerja secara prosedural yaitu dengan mengirimkan surat penolakan UU Cipta Kerja kepada pusat.”

Akan tetapi, massa masih belum puas dengan jawaban yang telah diberikan. Mereka menginginkan bukti nyata kalau DPRD menolak UU Cipta Kerja secara tegas. Mereka beralasan kalimat yang disampaikan oleh DPRD Jawa Timur merupakan kalimat penenang saja. Massa pun merasa kecewa dengan jawaban yang telah diberikan.

Oleh sebab itu, ultimatum sebagaimana yang tertulis di atas diluncurkan. Pada awalnya saya percaya akan sikap tegas penolakan UU Cipta Kerja dan ultimatum yang dilakukan oleh ABS. Namun, saya perlu mengatakan bahwa demonstrasi tersebut hanyalah omong kosong saja.

Bagaimana tidak, saat terselenggaranya demonstrasi saja malah terdapat dua mobil komando yang digunakan untuk melakukan orasi. Dari situ agaknya sudah tidak memungkinkan kita untuk menang, sebab perihal menyampaikan tuntutan saja tidak berupa satu suara. Belum lagi saya juga sempat mewawancarai mahasiswa dari salah satu universitas yang mengaku memiliki tuntutan sendiri di luar tuntutan ABS.

Hal ini tentu membuat demonstrasi tersebut memunculkan berbagai tanda tanya. Jika dalam pihak demonstran saja masih belum ada kekompakan, maka bagaimana tuntutan-tuntutan yang disuarakan dapat dimenangkan? Kurang lebih Itulah yang mungkin harus kembali untuk dipertanyakan.

Bukan hanya itu, menurut saya, ABS juga perlu dipertanyakan tentang konsistensi mereka dalam memperjuangkan hal ini. Setelah demonstrasi yang tidak membuahkan hasil—sebagaimana pengamatan saya—ABS sampai saat ini (sebulan pasca aksi) masih belum ada perlawanan lagi.

Saya ingat betul ketika bersama rekan saya ketika mewawancarai koordinator ABS tentang maksud dari demonstrasi “sampai menang” yang tertera di pamflet seruan aksi. Ternyata jawaban dari koordinator tersebut tidaklah jauh seperti yang saya pikirkan.

“Maksud dari demo sampai menang adalah kami tidak akan pernah mematikan api perlawanan sebelum tuntutan utama kami tentang penolakan UU Cipta Kerja diterima oleh birokrasi.”

Akan tetapi, sepengetahuan saya, sampai hari ini pun ultimatum ABS masih belum ada kelanjutannya. Hingga, saya pun sempat berpikir mengenai apa tujuan sebenarnya mereka melakukan demo? Apakah hanya untuk instastory saja agar akun Instagram ABS terlihat aktif? Atau hanya sebuah gertakan agar eksistensi mahasiswa dapat dilihat sebagai wajah perjuangan hak-hak umat?

Sama halnya dengan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi. Sebenarnya mereka ikut untuk memperjuangkan suara rakyat? Atau hanya untuk bergaya seperti pahlawan agar terlihat?

Saya ingat betul salah satu mahasiswa berorasi dan memikirkan sumpah mahasiswa dengan lantang. Tapi apakah kalian tahu apa yang dimaksud dengan sumpah? Sumpah bukan sekedar janji, tapi sumpah sudah berada di atas janji. Bukan hanya suatu kata kunci, tapi juga harus dilakukan.

Sekarang di mana bukti sumpah kalian. Jika semua sumpah itu tak terbukti, maka pasti hanya omong kosong saja yang kalian ucapkan. Dan, apakah slogan mahasiswa adalah agent of change masih berlaku? Omong kosong jika hal itu hanya sekedar diucapkan.

Mahasiswa sekarang sudah kehilangan taringnya. Mereka kuliah tidak jauh beda dari anak sekolah, hanya berangkat mendengarkan ocehan dosen lalu pulang begitu saja.

Selain itu, saya juga sempat mewawancarai mahasiswa secara acak. Apa yang saya dapatkan malah di luar dugaan, mahasiswa itu terlihat menghindari dan tidak mau diwawancarai. Sebenarnya apa yang mereka takutkan dari sebuah wawancara, lagi pula pertanyaan yang saya lontarkan tidak jauh dari seputar demonstrasi, atau mungkin mereka takut tidak bisa menjawab karena hanya ikut-ikutan?

Demikian tulisan ini saya cukupkan. Saya tidak mengharapkan tulisan saya dapat mengubah pola pikir para mahasiswa. Karena jangankan merubah, membaca saja mereka enggan sepertinya.

Hal tersebut saya amati di lingkungan perkuliahan sendiri, di mana sependek pengamatan saya para mahasiswa masih malas dalam hal literasi. Akan tetapi, saya ingat pesan dari salah satu senior saya, “Yang terpenting kita sudah mulai menyulut kembali api perlawanan, untuk terbakar tidaknya tidak perlu dipikirkan.”

Tulisan ini hanyalah sebuah opini yang mungkin atau bahkan terkesan subjektif. Saya juga tidak bermaksud untuk menyerang ABS dan segala pihak di dalamnya. Saya hanya menuliskan apa yang saya lihat baik di realita maupun di sosial media. Maaf jika tulisan saya menyakiti hati beberapa pihak. Bagi mahasiswa yang ingin mengkritik tulisan saya, maka kritiklah melalui karya sebagaimana seorang mahasiswa, katanya.