Dok. Forma

 

     Pembahasan mengenai mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control dapat dijumpai hampir di seluruh ruang diskusi mahasiswa, mulai dari perbincangan non-formal yang ngalor-ngidul, hingga karya ilmiah yang ditulis oleh seorang akademisi. Bahkan, doktrin tersebut sudah ditanamkan kepada mahasiswa sejak pertama kali menyandang status kemahasiswaannya, baik saat sosialisasi pra-Ospek (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) maupun saat Ospek berlangsung. Ajaran ini sedikit banyak akan mempengaruhi mahasiswa setidaknya dengan dua cara. Pertama, mahasiswa akan merasa semangat dengan peran yang diemban dan akan berusaha keras untuk melaksanakan peran tersebut. Kedua, mahasiswa akan merasa bertanggung jawab atas peran tersebut dan akan berusaha keras mendorong batasannya agar bisa mempertanggungjawabkan status mahasiswanya.

     Dua cara kerja doktrin ini memiliki akhir yang sama, yakni mahasiswa berusaha memainkan dan menghayati peran sebaik-baiknya. Beberapa mahasiswa mungkin akan terjun dalam lembaga perpolitikan kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan BLM (Badan Legislatif Mahasiswa), atau dengan bentuk lain seperti Dema (Dewan Eksekutif Mahasiswa) dan Sema (Senat Mahasiswa) di UINSA (Uinversitas Islam Negeri Sunan Ampel). Sebagian lainnya akan masuk ke UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan UKK (Unit Kegiatan Khusus) sesuai dengan keinginan atau bakat mereka masing-masing.

     Adanya berbagai macam UKM dan UKK membuktikan bahwa kegiatan mahasiswa tidak terbatas membahas problem akademis saja. Namun, jangan pernah dilupakan –dalam bidang apapun– mahasiswa akan selalu membutuhkan landasan bagi setiap aksinya. Mahasiswa yang berdemo harus mengetahui atas dasar apa ia turun ke jalan, mereka bukan hanya harus mengerti aspirasi siapa dan apa yang mereka inginkan, melainkan lebih primordial dari hal tersebut, yakni atas landasan apa aspirasi tersebut pantas disampaikan. Sebagai contoh yang lebih jelas, dalam penulisan suatu karya, mahasiswa akan menggunakan –atau paling tidak mengutip– suatu teori untuk menjadi landasan karyanya. Jangan sampai mahasiswa larut dalam status kemahasiswaannya dan bertindak seperti mahasiswa lain bertindak; berdemo seperti mahasiswa lain berdemo, menulis seperti mahasiswa lain menulis, membaca seperti mahasiswa lain membaca, tanpa mengetahui kenapa dia melakukan aktivitas tersebut. Mudahnya hanya ikut-ikutan jadi mahasiswa (mahasiswa jadi-jadian) atau hanya bermain mahasiswa-mahasiswaan.

     Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh bagaiamana seharusnya mahasiswa bertindak, namun penulis akan lebih fokus kepada mahasiswa yang sudah berani meminjam pedang (teori) dari teoretikus sebagai landasan aksinya. Masalah dasar yang pasti dilewati mahasiswa saat meminjam teori ialah terdapat perbedaan problematika antara zaman teoritikus dengan problematika zaman sekarang, terlebih lagi apabila mengutip suatu teori berabad-abad lalu. Namun, bukan berarti semakin jauh distingsi antar zaman maka semakin tidak relevan pula teori tersebut. Perlu dicatat, teori-teori yang bersifat umum kemungkinan besar akan selalu relevan dengan zaman apapun. Ambil contoh teori Democritos yang mengatakan bahwa atom (Sesuatu yang tidak dapat dibagi) adalah anasir pembentuk alam semesta, teori ini akan selalu bisa digunakan, karena atom –yang dimaksud oleh Democritos, bukan atom yang sudah diabstraksikan oleh ilmuwan zaman sekarang– adalah sesuatu yang umum, tidak merujuk pada satupun benda. Berbeda dengan teori Thales yang menyebutkan secara spesifik bahwa air lah yang menjadi anasir pembentuk alam semesta, teori ini tidak lagi bisa digunakan karena sudah sangat tidak memadai dalam aspek manapun.

     Lalu apa yang menjadi problem utamanya jika bukan jarak antar zaman?, dalam paragraf sebelumnya sangat jelas tertulis masalahnya adalah distingsi ‘problematika zaman’ antara teoretikus dengan mahasiswa zaman sekarang, baik problem keilmuwan, sosial, budaya, politik, agama, dan problem lainnya. Oleh sebab itu, sebelum seorang mahasiswa berani menggunakan suatu teori, ada baiknya ia memahami dengan seksama teori tersebut. Penarikan sebuah teori sebelum memahaminya dan menempatkannya dalam sembarang konteks akan berakibat sangat fatal, terlebih lagi jika dengan sengaja mengutipnya hanya agar tulisan atau sebuah karya tersebut terlihat elegan. Beberapa contoh sederhana dari kesalahan ini seperti, menyetarakan Dasein dengan manusia dalam Sein und Zeit Heidegger, mengartikan Super Ego sama dengan ambisi dalam psikoanalisis Freud, atau menyejajarkan Simulakra dengan simulasi dalam hiperrealitas Baudrillard. Jika banyak mahasiswa yang melakukan hal semacam ini, bukan tidak mungkin suatu saat sebuah teori akan mengalami pereduksian makna secara signifikan. Hal ini tak ubahnya seperti memindahkan batu nisan dari makam seorang filsuf ke tempat lain, hanya untuk memberikan pembenaran bahwa denah pemakaman yang kita buat sudah tepat.

     Setelah penjelasan di atas, mungkin banyak pembaca akan bertanya, ‘apakah kita harus menunggu untuk sangat memahami suatu teori sebelum menggunakannya?’. Perlu dicermati dalam kalimat kedua paragraf sebelumnya, penulis menggunakan kata “memahami dengan seksama” bukannya “paham dengan benar”. Meminjam kata-kata Gadamer, presentasi tak lain daripada sebuah proses integral setelah interpretasi dalam memahami, maksudnya ialah proses memahami tidak hanya mencakup aktivitas interpretasi seperti berpikir dan membaca, melainkan juga presentasi seperti menjelaskan dan menulis. Menganggap diri paham dengan benar hanya melalui interpretasi tanpa presentasi adalah salah satu keangkuhan yang perlu dihindari dalam aktivitas memahami, karena memang ada buku-buku atau teori-teori yang sangat sulit untuk dimengerti. Penulis lagi-lagi akan memberikan contoh dalam masalah ini. Jika manusia awam atau bahkan dosen fakultas Ushuluddin UINSA yang terang-terangan berkomentar betapa sulitnya, mungkin mahasiswa masih boleh ragu-ragu dengan keangkeran buku Sein und Zeit karya Heidegger. Tetapi, bagaimana jika Heidegger sendiri yang mengakui kesulitannya? Heidegger pernah mengatakan bahwa hanya sedikit orang yang telah memahami bukunya dengan baik, dan Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, bukan salah satunya.

     Lalu bagaimana jika memang ada teori seangker itu? Apakah berarti teori tersebut tidak dapat digunakan jika salah satu syarat penggunaannya adalah memahaminya?. Buku Sein und Zeit atau teori-teori angker lainnya bukanlah teori yang jatuh dari surga atau dicetuskan oleh kecerdasan transenden di luar jangkauan manusia, teori tersebut dipaparkan oleh manusia dengan bahasa manusia pula yang pasti bisa dipahami. Karena itu, untuk mencoba memahaminya, tak ada jalan lain selain terus melakukan interpretasi (berpikir atau membaca) dan presentasi (menjelaskan atau menulis). Dengan kata lain, yang disarankan dalam tulisan ini bukanlah terus-terusan berpikir sebelum menjelaskan atau terus membaca sebelum mulai menulis, tapi melakukannya secara bersama-sama sebagai satu kesatuan aktivitas memahami. Paul Ricouer pernah berkata “setiap pemahaman harus selalu dilengkapi dengan penjelasan sehingga dapat dihasilkan sebuah pemahaman yang kritis.”

     Sampai di paragraf ini mungkin masih belum ada titik terang dari permasalahan yang dipaparkan, tulisan ini seakan bersifat paradoksal, pertama-tama melarang penggunaan teori sebelum memahaminya, sedangkan dalam aktivitas memahami juga terdapat presentasi dari teori yang memaksa penggunaan teori, baik dalam menjelaskan ataupun menulis. Maka, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam membaca tulisan ini, penulis akan menegaskan kembali problem utamanya. Yakni, sangat tidak etis bagi mahasiswa untuk menarik sebuah teori sebelum memahaminya (melakukan interpretasi dan presentasi) dan menempatkannya dalam konteks secara ngawur, terlebih lagi jika dilakukan dengan sengaja. Jangan sampai kita, mahasiswa, setelah dengan bangga meminjam teori, kemudian dengan jemawa memunggungi teoretikusnya.

Oleh : Lux