Oleh: Yusan
Dunia saat ini telah dihadapkan oleh pandemi Corona Virus Deases 2019 atau Covid-19. Sejak pertama kali ditemukan pada pertengahan desember 2019 tepatnya di Provinsi Wuhan, Cina. Virus ini telah menyebar ke seluruh dunia. Dilansir dari data Tribun News, pertanggal 17 Mei telah tercatat sekitar 39,5 juta orang di dunia terjangkit virus ini. Dengan angka kematian mencapai 1.108.595 jiwa, dan kasus sembuh 29.639.974 orang.
Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan kasus terkonfirmasi Covid-19 tertinggi di dunia. Tercatat sekitar 361.867 positif dengan angka kematian mencapai 12.511 jiwa. Dalam hal ini, pemerintah sudah berusaha keras dengan mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya pencegahan dan penanggulangan virus corona.
Negara-negara di dunia juga telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan virus ini. Upaya preventif seperti kebijakan karantina penuh (lockdown), karantina wilayah, pembatasan sosial, atau beberapa gerakan seperti social distancing, stay at home, work from home dan lain sebagainya. Dengan upaya penanggulangan seperti berlomba-lomba dalam menemukan vaksin, pembangunan rumah sakit darurat, dan produksi massal alat kesehatan.
kebijakan lockdown ataupun pembatasan sosial berdampak pada terguncangnya beberapa sektor. Khususnya pada sektor ekonomi, hal ini terlihat dari sejumlah pabrik mengurangi jumlah produksi, pemutusan hubungan kerja massal, terhambatnya ekspor impor, alokasi anggaran untuk bencana serta masalah perekonomian pada masyarakat kelas bawah.
Hal ini dapat diartikan bahwa virus ini bukan hanya memengaruhi kesehatan manusia. Namun, juga memengaruhi kesehatan ekonomi secara global. Bahkan lembaga keuangan dunia (IMF) memprediksi jika ekonomi dunia akan jatuh pada angka 3%. Bayang-bayang krisis pun nampak semakin nyata. Terlebih ketidak pastian kapan pandemi ini akan berakhir.
Pada krisis yang dihadapi dunia saat ini bukan hanya pada krisis kesehatan. Tetapi, merupakan kombinasi antara krisis kesehatan dan ekonomi. Inilah yang membedakannya dari krisis-krisis sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, pemerintah harus mengambil sikap bijak dalam memprioritaskan antara penguatan sektor ekonomi atau kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat.
Jika melihat pada realitas saat terjadinya pandemi di Indonesia, pemerintah telah berusaha keras dengan mengeluarkan beberapa kebijakan terkait upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Tentunya dengan tujuan dan maksud yang baik untuk kesehatan masyarakat. Namun, bukan berarti tidak ada permasalahan baru yang muncul.
Penerapan beberapa kebijakan seperti work from home, social distacing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tidak dibarengi dengan cukupnya pemenuhan kebutuhan pokok dan finansial, pastinya akan merugikan sebagian masyarakat. Sebagai contoh, di Malang ratusan petani membuang hasil panennya ke sungai karena tidak laku di pasaran. Dan, masih banyak lagi permasalahan kesejahteraan yang dihadapi oleh masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tentang kesehatan.
Dari beberapa permasalahan tersebut menarik jika dilihat dari perspektif walfare state theory atau teori negara kesejahteraan. Teori ini merupakan penegasan bagi pemerintah untuk menjamin terciptanya kesejahteraan masyarakat didalam suatu negara. Dalam teori ini, kesejahteraan akan terwujud jika lima pilar kenegaraan dan asas dasarnya terpenuhi. Di antaranya adalah demokrasi, penegakan hukum, anti diskriminasi, perlindungan sosial dan keadilan sosial, dan UUD 1945 sebagai asas atau pijakannya. Di mana kesejahteraan erat kaitannya dengan kebijakan dalam melindungi dan menyejahterakan warganya, salah satunya adalah perlindungan sosial baik dalam bentuk bantuan sosial atau bantuan lainnya, maupun perlindungan keamanan.
Terlebih saat pandemi Covid-19 banyak hal yang menjadi PR bagi pemerintah dan banyak yang perlu dievaluasi agar tidak salah dalam mengeluarkan kebijakan. Pemerintah juga harus tahu apa yang akan diprioritaskan di tengah pandemi. Kebijakan yang tidak tepat akan menimbulkan reaksi di dalam suatu masyarakat, sehingga berpotensi hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Dilansir dari kementrian keuangan republik Indonesia. Bahwa anggaran perbelanjaan negara atau APBN pada tahun 2020, 20 % dari APBN dialokasikan untuk biaya pendidikan dan hanya 5% yang dianggarkan untuk kesehatan. Dari sini kita bisa melihat bahwa kesehatan masih belum menjadi perhatian yang lebih oleh pemerintah.
Bahkan, pada bulan Februari dan Maret pemerintah masih sempat menggelontorkan dana sebesar 31 triliun untuk stimilus pada sektor pariwisata dalam rangka penguatan ekonomi. Baru pada akhir maret pemerintah menstimulus 401,5 triliun untuk menangani pandemi ini beserta penetapan kebijakan PSBB.
Dalam hal ini teori kesejahteraan berperan sebagai pengingat. Agar pemerintah tegas dalam membuat kebijakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, yang sesuai dengan UUD 1945 sebagai pijakan negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Penulis berharap agar pembaca selalu memiliki akal sehat dan kesadaran kolektif dalam menanggapi suatu kebijakan. Dan, selalu mencari tahu akar dari tiap kebijakan pemerintah. Apalagi sebagai akademisi yang terdidik dan terpelajar maka harusnya lebih kritis dan menggunakan akal cerdasnya.