Penulis: Zamzam Qodri

Sumber: mediakontak.com

Entah mengapa, aku ingin menuliskan sesuatu yang berkaitan dengan mahasiswa. Ya, meskipun tulisanku ini tidak mencerminkan tulisan mahasiswa pada umumnya. Dan anehnya lagi, di kepalaku sempat terbesit bahwa mahasiswa adalah antek Orde Baru yang kampus lahirkan. Bagaimana tidak? Reformasi yang konon katanya diperjuangkan oleh sebagian besar mahasiswa, kini semakin tak berarah.

Lihat realitanya, bagaimana mahasiswa berlatih untuk korupsi lewat dana kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Bagaimana mahasiswa belajar menggiring massa untuk dijadikan sebagai power melanggengkan kekuasaan atau meninggikan jabatan. Aku tak berpandangan jika menggalang massa itu buruk, tapi sikap kekanak-kanakan menjadikan mahasiswa beranggapan bahwa massa yang tak mendukungnya akan menjadi musuhnya. Lihat bagaimana organisasi besar atau mayoritas dalam lingkup kampus tega memarginalkan organisasi kecil atau minoritas. Kelompok mereka sendiri dimuliakan, sedang kelompok lain dikucilkan. Apakah ini yang disebut pengajaran pancasila dengan sistem pemerintahan yang sudah disepakati, yaitu demokrasi? Ini bukan demokrasi, tetapi inilah monarki.

Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan sikap mahasiswa yang mungkin saja memilih dan menetapkan sistem pemerintahan yang monarki, tetapi ini adalah sikap yang tanggung. Sehingga, yang dilahirkan adalah pejabat yang tanggung pula. Maunya monarki, tapi takut dilengserkan. Akhirnya, yang dipilih sebagai keputusan akhir adalah menghidupkan suasana monarki dalam lindungan dalih demokrasi.

Teruskan saja begitu dari generasi ke generasi. Jika boleh menjamin, Reformasi yang diperjuangkan oleh banyak kalangan mahasiswa akan menjadi bullshit alias omong kosong. Pelengseran Soeharto bisa jadi hanya media pelengseran formalitas yang tujuannya hanyalah pengudetaan dan perebutan kekuasaan. Alasan KKN dihapuskan hanya menjadi tembakan untuk melakukan korupsi yang bisa dipoles dengan kebohongan.

Setidaknya, jika memang tujuan kampus adalah mencetak manusia humanis atau religius, pengajaran teori kepada mahasiswa juga harus diimbangi dengan pengajaran soal moral. Mungkin kalimat sebelum ini cenderung metuek, tapi memang perlu untuk dijadikan bahan evaluasi. Jika kampus mau berkaca pada sistem pengajaran pondok pesantren, maka akan sedikit sekali mahasiswa yang hilang keidealisannya ketika berproses di dalam gerakan yang banyak berhubungan dengan dunia politik, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Karena idealisme adalah iman mahasiswa.

Bagaimana tidak hilang? Tiruan 3G yang dahulu penjajah inginkan saat menjajah Indonesia, disuguhkan kembali oleh kampus. God (jika paham politik suara terbanyak adalah suara Tuhan), Gold (harta dari kegiatan), dan Glory (kekuasaan dengan massa yang banyak). Mereka sudah berhasil menjajah idealisme yang mereka bangun sendiri. Horee…. Sudahlah, ‘kan mereka cuma latihan jadi penjajah, hehehehe

Kembali pada statement yang menyebutkan bahwa kampus harus berkaca pada pendidikan di pondok pesantren. Jika muncul pertanyaan: apakah ada jaminan anak pondok pesantren akan lebih bermoral daripada anak sekolah atau bahkan kampus? Maka jawabannya adalah tidak ada yang bisa menjamin. Tetapi, bukankah banyak terbukti bahwa banyak pejabat yang korupsi justru berasal dari kalangan sarjana, magister, hingga doktor. Salahkah bukti itu? Tak bisa disalahkan.

Jika muncul lagi pertanyaan: bukankah pondok pesantren itu tidak mengajarkan demokrasi? Kita bisa melihat takzimnya seorang santri pada kiainya. Tidak berani membantah dengan keras seperti mulut demonstran atau aktivis yang acap kali melukai para petinggi negara. Uncchh… Terluka, nih, ye… Ingat, takzim berbeda dengan takut.

Tak mungkin seorang santri mencium bolak-balik tangan kiai, menyiapkan alas kaki kiai ketika sang kiai hendak keluar dari masjid, bahkan melayani kiai hanya untuk mengudeta kiainya dan menguasai pondok pesantren. Mereka melakukan hal tersebut tak lain hanyalah mengharapkan rida kiai. Hal itu terjadi karena kiai sudah memberikan bekal iman yang kuat pada santri. Berbeda dengan mahasiswa, mereka sok idealis ketika kekuasaan belum berada di tangannya, demo sana-sini. Namun, jika kekuasaan telah ada di hadapan mata, bahkan senyum ramah mereka kembangkan kepada pejabat sebagai rasa hormat. Mereka melakukan hal tersebut hanya untuk mengharapkan uang dan kekuasaan pejabat. Hal itu terjadi karena kampus tak bisa atau bahkan tak memberi bekal iman idealis yang kuat pada mahasiswa. Itulah mengapa kampus harus berkaca pada pendidikan pondok pesantren.

Alasan lainnya adalah, di pondok pesantren, kiai selalu berusaha melangkah dengan bijaksana. Ia tahu jika langkahnya akan menjadi suri teladan yang baik bagi santrinya yang diharapkan menjadi generasi penerus estafet perjuangan para kiai untuk mengajarkan ilmu dan akhlak. Sedangkan pemerintah kita, selalu berusaha menetapkan kebijakan yang menguntungkan mereka dan kelompok mereka. Mereka berbuat semacam itu karena mereka tahu, langkah dan kebijakan mereka tidak akan digubris oleh rakyat yang cerdas. Lantas, yang mereka rekrut adalah mahasiswa yang sudah hilang iman idealisnya untuk melanjutkan estafet perjuangan perpolitikan dalam rangka kegilaan akan kekuasaan.