Oleh: Fadlilatul Laili Riza Rahmawati*)

Sumber: Google

Tulisan ini saya buat pada tanggal 10 April, dalam belenggu suasana yang sedang ramai dengan perbincangan seputar kasus bullying yang menimpa AU, pelajar SMP di salah satu sekolah di Pontianak.

Kabarnya, korban dikeroyok oleh tiga siswi SMA dan disorakin Sembilan siswi pendukung pelaku bullying tersebut. Hem miris ya? Bahkan ada kabar yang beredar bahwa alat kelamin korban juga menjadi sasaran “kekerasan” guna membuat korban tidak lagi perawan.

Mendengar kabar ini, rambut roma saya merinding. Bagaimana tidak? Setega itu ternyata perlakuan siswi-siswi tersebut. Pasalnya, ketiganya adalah perempuan yang identik dengan rasa kasih sayang dan lemah lembut. Namun nyatanya, perbuatan jahat tak pernah memilih untuk bertengger pada laki-laki atau bahkan perempuan.

Berita yang beredarpun sangat banyak, hingga membuat saya menemukan fakta mencengangkan yang membuat saya kembali mengelus dada. Bisa dibilang, latar belakang pembullyan terhadap AU sangat tidak masuk akal. Ya, pembullyan dilakukan sebab salah satu dari ketiga siswi SMA tersebut memiliki seorang pacar, dan pacarnya tersebut memunyai mantan yang merupakan kakak sepupu korban. Entah tersandung masalah apa, mereka menggunakan korban sebagai umpan agar sepupu korban muncul di hadapan mereka. Tega? Jelas. Menggunakan orang yang tidak bersalah sebagai umpan untuk kepentingannya.

Peristiwa ini begitu menarik perhatian saya, sayapun membaca berita dari berbagai sumber dan pada akhirnya menemukan fakta bahwa polisi tidak menemukan kerusakan di alat vital korban. Yap, berita tersebut saya baca pada tanggal 12 April. Memang benar bahwa bagian genital juga menjadi sasaran, namun peristiwa “penusukan” dengan jari nyatanya tak pernah ada.

Sebenarnya, ketika iseng-iseng membuka akun instagram pelaku, saya kembali dibuat kaget dengan kolom komentar yang penuh hujatan dan makian yang sama kejamnya dengan perbuatan pelaku tersebut. Cyberbullying, pembullyan secara verbal dari sosial media yang dilakukan warganet. Meskipun polisi telah mengonfirmasi berita “penusukan” alat vital tersebut adalah hoax, nampaknya warganet masih termakan berita hoax yang beredar. Sebagian lagi, ada yang sudah tahu tapi pura-pura tak tahu dan tetap memaki. Tidak lain, hal itu dilakukan hanya sebagai rasa pelampiasan akan kegeramannya.

Tunggu. Pelampiasan kegeraman? Bukankah tindakan seperti itu akan membuat kalian tampak jauh menyeramkan? Murka pada pelaku pembullyan, namun secara tak sadar, melakukan bullyan yang jauh lebih menyeramkan. Hem.. Let’s think!

Lagi pula ada yang janggal dengan semua ini, yaitu pemberitaan di media yang hanya didapat dari satu sumber, yaitu korban. Sebenarnya apakah berita seperti ini valid? Saya rasa tidak. Hubungan sebab-akibat mengatakan bahwa “Segala sesuatu yang terjadi, pasti ada penyebabnya” dan media bahkan polisi belum menanyakan pada pelaku, apa sebenarnya motif mereka melakukan ini semua? Apakah ada masalah pribadi? Apa hanya karena suka membully? Atau memang ada perbuatan korban yang melukai pelaku?

Tidak ada yang tahu hal itu sampai pada tanggal 13 April, saya menemukan fakta bahwa semua pengakuan yang diungkap korban adalah kebohongan semata, polisi tak menemukan bukti kekerasan pada tubuh korban dan berhasil menampik segala yang dikatakan korban.

Sekarang harus kesal pada siapakah kita? Disaat pelaku telah diberi hukuman 3,5 tahun kurungan, dan bukti yang beredar sedikit demi sedikit kini telah membuka tabir akan semua pertanyaan ini.

Para pelaku menyatakan bahwa AU adalah anak yang sangat suka “Nyinyir”. Ketika pelaku sedang menyelesaikan masalah pribadinya dengan kakak sepupu korban, pelaku mengungkapkan bahwa korban berujar sesuatu yang menyakiti hatinya sampai aksi pembullyan itu terjadi. Masuk akal, bukan?

Namun, apakah semua ini lantas mampu membuat AU bersalah? Nyatanya, tidak ada yang tahu. Kondisi korban yang berada di rumah sakit juga membuat kita sebagai pemirsa bertanya-tanya, “Sekeras apakah pembullyan dilakukan?” meskipun polisi telah berujar bahwa tidak ada bukti kekerasan di tubuh korban, namun hal itu juga perlu dipertanyakan tentang “Kesenjangan Hukum” mengingat salah satu pelaku adalah putri dari orang berada. Tapi tak lupa, kita juga perlu bertanya-tanya, mengenai kakak sepupu korban yang memunyai masalah langsung dengan pelaku, ”Mengapa ia baik-baik saja? Tanpa luka fisik yang bertengger?” MENGAPA?

Namun daripada berusaha keras menjadi Detective gadungan, marilah kita dukung pihak yang berwajib agar dapat menuntaskan masalah ini dengan seadil dan sebaik mungkin. Jangan melakukan pembullyan terhadap pelaku karena sejahat apapun manusia, ia masih punya kesempatan untuk menjadi baik. #SAVEKEADILAN

(*Mahasiswa Program Studi Studi Agama-Agama