Transisi IAIN (Istitut Agama Islam Negeri) menuju UIN (uneversitas Islam Negeri) menjadi dambaan setiap kampus yang masih bertaraf Institut. Hal ini sudah mejadi barang yang sangat maklum dikalangan kampus yang notabenya masih pada lingkup Instutut. UIN Sunan Ampel yang telah melakukan masa peralihan sejak 1 November 2013 dari Institu ke Universitas, membuat UINSA meningkatkan semua sistem yang ada didalamnya. Mulai dari sistem pembangunan, akademik, kemahasiswaan sampai fasilitas. Namun kendati peralihan ini sudah berjalan sejak 5 tahun yang lalu masih memberikan sebuah bekas yang bisa dikatakan kurang maksimal, lantaran sistem yang ada masih berjalan compang-camping.
Penulis akan mengkritisi kembali tentang transisi yang sudah berjalan kurang lebih 5 tahun, Hal ini berangkat dari rasa ironi yang dialimi penulis dalam melihat kampus UINSA. UINSA sebutan beken Universitas Islam Negeri Sunan Ampel yang telah melahirkan anak-anak emas bangsa, seperti Mentri Kepemudaan dan Olahraga Imam Nahrowi dirasa cukup memaksakan diri untuk mengambil batu loncatan menuju Universitas.
Dalam bidang pembangunan saja UINSA berani membusungkan dada melalui landmark Twin Towernya, para birokratnya sudah merasa jumawa dengan hasil yang telah diperolehnya. Hal ini sangat berbanding terbalik bila kita melakukan blusukan ke dalam fakultas-fakultas yang ada di UINSA. Didalam Fakultas Usluddin sendiri gedung tua yang masuk masa rehabilitasi gedung dibiarkan begitu saja. bahkan skat pemisah antara kelas satu dan yang lain mengalami rusak parah, dan AC yang terdapat didalamnya pun sudah tidak berfungsi lagi. Tidak hanya dari segi kenyamanan gedung, polemik perihal MCK yang sudah lama dikeluhkan oleh mahasiswa Ushuluddin pun tidak mendapat sambutan yang sepantasnya dari pihak rektorat.
Hemat penulis, UINSA sedang mendewakan pembangunan yang bertahap makro (Skala besar) dan mengesampingkan pembangunan yang sifatnya pemeliharaan. Tidak bisa dipungkiri memang bahwasannya pembangunan lokal terbaru UINSA dijalan Gunung Anyar berdampak besar atas pembanguna dan pemeliharaan gedung yang ada dilokal UINSA di Jln Ahmad Yani. Hal ini harusnya menjadi ketimpangan pembangunan oleh pihak rektorat yang tidak bisa membagi jatah pembangunanya.
Ironis memang bila kita berkaca diri dengan citra yang telah didapat oleh UINSA sebagai kampus yang bertaraf Internasional namun belum bisa menyelesaikan polemik pembangunan di dalamnnya. Menyitir tentang filolosi esensi pembangunan dengan pendekatan Fungsional Talcot parson, seharusnya fungsi yang menjadi ranah pihak Dekanat berjalan dengan baik, agar bisa menunjang UINSA melalui kestabilan otonomi yang terjadi diranah fakultas. Namun kebijakan yang telah diambill oleh UINSA melakukan satu palang pintu aktif yang sering disebut dengan system Sentralisasi. Dari sinilah proses pembangunaan yang sifatnya mikro selalu dikesampingkan oleh pihak rektorat.
Tidak berhenti pada pesoalan pembangunan ,alih-alih matang dengan statusnya yang telah menyandang universitas, UINSA dihadapkan dengan kenyataan dimana para dosen yang tersedia tidak dalam keahlian sesungguhnya. Seperti contoh beberapa dosen yang ada di berasal dari Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) rata-rata bukan dosen pada bidangnya. Dari prodi-prodi yang ada seperti Prodi Biologi di dalamnya bukan dari dosen yang notabenya berkencimpung di ranah BIOLOGi, namun memanfaatan tenaga pendidik yang notabenya kearah PRODI Kesehatan. Sangat disayangkan memang seharusnya kampus yang bisa memberi sumbangsih terhadap mahasiswa nya tidak bisa mewadai dengan optimal. Di kampus yang sudah bertaraf universitas seharusnya memiliki dosen-dosen pengampuh ahli dalah bidangnya yang bisa memberikan kenyamanan dalam perkuliahan.
Diakhir tulisan ini penulis menginginkan adanya sebuah evaluasi besar-besaran dalam meningkatkan mutu kualitas UINSA dalam menyongsong pendidikan yang berintegrasi dengan sistem Internasional. Mulai dari penimbangan skala pembangunan yang pada mulanya terfokus pada pembangunan makro, beralih atau setidaknya membagi porsi secara imbang dengan memeprhatikan pembangunan dan pemeliharaan tingkat mikro (Fakultas). Dari situ digarapkan fakultas-fakultas yang sudah mumpuni, dari segi fasilitas diharap bisa berintegrasi dengan kampus agara mewujudkan sebuah harmoni didalam meningkatkan mutu kampus.
Di dalam bidang akademik atas kekurangannya dosen yang memang ahli distudinya ,bisa disiasati dengan rancangan tingkat lanjut dalam membuka Pogram Studi baru. Hal ini jika UINSA menambahkan program studi baru sudah menyiapkan beberapa dosen ahli dibidangnya, agar tidak terjadi ketimpangan akademis disaat jam perkuliahan.
Kritik yang penulis sampaikan tersebut agar bisa menjadi sebuah evaluasi terhadap pihak-pihak birokrat pemangku kebijkan. Agar proses pendewasaan universitas yang berjalan selama 5 tahun semakin berjalan dengan lancar dan bisa memberikan sebuah sumbangsih pendidikan yang baik terhadap Nusa, Bangsa dan Agama
SALAM PERSMA!
Oleh : Akary, Mahasiswa SAA, semester 2