Penulis: M. Hengki fernando

Editor: Moh. Faiqul Waffa

Ada hari-hari ketika kemelut hidup bergulat menjadi benang-benang kusut yang melilit tak beraturan. Saya merasa dunia ini terlalu bising. Jalanan tak pernah benar-benar tidur, tugas kuliah menumpuk seperti utang negara, dan rasa sepi entah mengapa semakin menjadi-jadi saat malam tiba. Rasanya seperti berjalan di lorong panjang tanpa tahu ujungnya.

Di saat-saat seperti itu, saya tidak mencari motivator atau unggahan pengembangan diri. Saya hanya butuh satu lagu yang bisa mengerti saya. Dan Tarot, untungnya datang pada waktu yang paling dibutuhkan.

"Selalu menertawakan ramalan bintang kartu tarot
Orang pintar pembaca nasib
Namun aku bingung kenapa ku tak pergi
Aku bingung kalian masih di sini..."Feast, Tarot

Ini bukan lagu pop penuh afirmasi positif. Ini juga bukan musik lembut yang bikin ngantuk. Tarot adalah semacam suara batin yang akhirnya bisa diucapkan lewat nada. Bagi saya, Tarot adalah peta emosi: gelap, ragu, namun terus berjalan mencari cahaya.

Malam itu, Kamis malam Jumat bertepatan dengan malam Suro, malam yang dikenal sakral dan penuh mistis dalam budaya Jawa. Waktu yang diyakini sebagai saat tipisnya batas antara dunia nyata dan alam gaib (lihat: Tradisi Malam Satu Suro, Wikipedia). Benar saja, batinku seolah lepas pergi menuju ruang yang jauh, meninggalkan jiwa yang hampa, bermonolog dengan batin yang tak pernah pulang.

Sepulang dari kampus selepas Maghrib, hujan rintik menyapa Surabaya. Bukan hujan deras, tapi cukup untuk membuat jaket saya lembap dan suasana makin muram. Motor-motor lalu-lalang di Jalan Ahmad Yani dengan lampu-lampu silau sebagai penerang, tapi saya merasa seperti hantu yang tak terlihat siapa pun.

Sampai akhirnya, di kamar kos sempit saya, dengan lantai keramik dingin dan lampu yang menyala setengah redup, saya memutar lagu itu: Tarot. Lagu yang sudah lama ada di playlist, tapi baru terasa maknanya malam itu.

"Mungkin nanti semua justru memburuk
Hati-hati namun terjatuh lagi
Tapi luka adalah niscaya
Kutanggung denganmu selama ku mampu..."

Sejak dentingan awalnya, saya tahu lagu ini bukan sekadar hiburan. Ia seperti bisikan jujur dari seseorang yang tahu rasanya ragu akan pilihan hidup. Tentang rasa takut gagal, tentang masa depan yang kabur, tentang luka yang disembunyikan di balik senyum basa-basi kepada teman kampus.

Tarot bukan lagu tentang kemenangan. Ia adalah lagu tentang perjalanan. Tentang bertahan.

Sebagai mahasiswa rantau, saya tahu betul rasanya jadi “sepi dalam keramaian.” Semua serba baru, semua serba cepat, tapi kadang batin ini tertinggal jauh di belakang. Kita belajar berpura-pura kuat, tidak membebani orang rumah, menjawab “baik-baik saja kok” meski kenyataannya: makan sekali sehari karena kiriman telat, tugas belum selesai, dan teman-teman mulai menjauh satu per satu, ditambah utang yang terus menumpuk, membuat beban hidup semakin melimpah.

Lirik Tarot seperti cermin. Ia berbicara tentang kartu-kartu nasib, tentang pilihan yang tak bisa dibatalkan, dan jalan yang harus ditempuh meski tanpa kompas. Lagu ini tidak menawarkan solusi, tapi menawarkan pengakuan: bahwa ragu itu manusiawi. Bahwa tidak apa-apa merasa kosong sesekali.

Secara musikal, lagu ini menyajikan perpaduan nada minor yang melankolis, progresi gitar sederhana tapi menghunjam. Vokalnya tidak terlalu emosional, tapi justru di situlah kekuatannya. Karena kadang, rasa paling dalam justru datang dari suara yang tenang tapi menyimpan gemuruh.

Bagi saya, Tarot tidak hanya menjadi lagu, tapi juga teman. Ia tidak menyuruh untuk “semangat terus” atau “berpikir positif.” Ia hanya berkata: “Kamu tidak sendiri.” Dan itu sudah cukup. Malam itu saya menangis pelan, bukan karena sedih, tapi karena merasa dipahami. Bagi seorang mahasiswa rantau yang terbiasa menahan semuanya sendirian, itu adalah bentuk pelukan paling nyata.

Jika ingin dibedah lebih filosofis, Tarot juga bicara soal eksistensi. Bahwa hidup bukan soal benar atau salah, tapi soal pilihan-pilihan yang terus diambil, bahkan ketika kita tidak tahu apa hasilnya nanti. Ini sangat sejalan dengan pemikiran Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis yang percaya bahwa manusia terus-menerus dihadapkan pada “lompatan iman”, memilih, bertindak, dan bertanggung jawab, meski tanpa jaminan akan berhasil.

Dalam hidup sebagai perantau, Tarot adalah pengingat bahwa kita semua sedang menavigasi hidup seperti membaca kartu tarot: berusaha menafsir, bertaruh dengan intuisi, dan berjalan dengan keyakinan samar.

" Selama ku mampu
Selalu menertawakan ramalan bintang kartu tarot
Orang pintar pembaca nasib namun
Padamu kupercaya

Tak masuk logika
Padamu kupercaya..."

Malam itu, saya menyelesaikan lagu ini sampai akhir. Tidak ada keajaiban setelahnya. Hidup saya tidak berubah; tugas tetap menumpuk, dompet tetap tipis. Tapi hati saya sedikit lebih tenang. Karena saya tahu, di antara segala ketidakpastian, setidaknya ada satu lagu yang berbicara dalam bahasa yang saya mengerti.

Dan saya pikir, itu cukup. Untuk malam itu. Untuk hidup yang belum selesai. Untuk semua mahasiswa rantau yang masih mencoba memahami takdirnya sendiri.

Terima kasih, Feast.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *