Penulis : Akmelia Rabbani
Editor : Lailatul Arifah
“Masa kuliah itu masa paling indah. Bayangan orang-orang seolah hanya tentang berangkat ke kampus sambil menenteng tas, lengkap dengan adegan romantis klise seperti tidak sengaja bertabrakan dengan mahasiswa lawan jenis.” Kalimat yang sering kita dengar ini seakan menegaskan bahwa dunia perkuliahan identik dengan kebebasan, kebahagiaan, dan kehangatan. Namun, realitas di lapangan tidak seindah itu. Banyak mahasiswa justru menjalani hari-hari penuh tekanan: kuliah dari pagi hingga sore, lanjut rapat organisasi, mengajar les atau bekerja paruh waktu untuk menutup biaya hidup, lalu begadang mengerjakan tugas hingga dini hari. Tak jarang, tubuh akhirnya tumbang. Penyakit pun berdatangan, seakan menjadi bukti konkret bahwa fase kuliah bukan sekadar belajar, melainkan juga ajang bertahan hidup.
Fenomena ini disebut burnout, yaitu kondisi kelelahan mental, emosional, dan fisik akibat tekanan berkepanjangan. Burnout bukan sekadar lelah yang hilang setelah tidur, melainkan rasa letih eksistensial: hilangnya motivasi, semangat, munculnya apatisme terhadap diri, hingga berujung pada penyakit fisik yang terus berulang. Ironisnya, semakin hari semakin banyak mahasiswa yang terjebak dalam pusaran burnout ini. (lihat Riyan, Fenomena Burnout di Kalangan Mahasiswa, 15 Agustus 2025, kemahasiswaan.almaata.ac.id).
Burnout Mahasiswa: Lelah yang Tak Biasa
Burnout di kalangan mahasiswa muncul karena beban akademik yang berat: tugas menumpuk, presentasi beruntun, persiapan ujian, hingga skripsi yang seakan tak berujung. Selain itu, ada pula tekanan dari luar kampus, seperti ekspektasi orang tua, tuntutan lulus dalam 3,5 tahun, hingga dorongan untuk segera sukses di usia muda. Faktor ekonomi juga berperan, karena sebagian mahasiswa harus kuliah sambil bekerja.
Gejala burnout tampak jelas: hilangnya semangat kuliah, kebiasaan menunda tugas, menarik diri dari pergaulan, hingga mengalami gangguan tidur dan stres. Tubuh pun ikut bereaksi: imun melemah, maag kambuh, hingga tipes yang kerap muncul menjelang ujian akhir semester. Dengan demikian, burnout bukan hanya isu kesehatan mental, tetapi juga menyentuh aspek kesehatan fisik.
Penyebab Burnout: Dari Ilusi hingga Ekspektasi Berlebihan
Jika ditarik lebih jauh, ada beberapa penyebab utama burnout mahasiswa. Pertama, beban akademik yang berlebihan. Sistem pendidikan tinggi sering kali menuntut output besar tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kesehatan mahasiswa. Kedua, ekspektasi sosial. Mahasiswa kerap merasa menjadi tumpuan harapan keluarga, sehingga tertekan untuk berprestasi, lulus cepat, dan segera bekerja. Tekanan ini menambah beban psikologis.
Ketiga, faktor ekonomi. Mahasiswa dari kelas menengah ke bawah harus bekerja sampingan untuk bertahan hidup, sehingga energi mereka terkuras habis. Keempat, budaya kompetitif dan perbandingan sosial. Media sosial menciptakan ilusi bahwa teman sebaya sudah menikah, sudah sukses, sudah menulis jurnal internasional, atau sudah menjadi aktivis kampus ternama. Akibatnya, banyak mahasiswa merasa tertinggal, cemas, dan akhirnya lebih mudah terjebak dalam burnout karena terus membandingkan dirinya dengan orang lain.
Albert Camus dan Absurditas dalam Kehidupan Mahasiswa
Fenomena burnout mahasiswa menarik bila dilihat melalui kacamata filsuf Albert Camus dengan teorinya tentang absurditas. Menurut Camus, hidup itu absurd. Mengapa? Karena manusia selalu haus akan makna, tetapi dunia diam dan tidak memberi jawaban. Ketegangan antara pencarian makna dan ketiadaan jawaban itulah yang disebut absurditas. (Polii, 2023)
Camus mencontohkannya dengan kisah Sisyphus dalam mitologi Yunani: seorang raja yang dikutuk para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu jatuh lagi, dan harus mengulanginya tanpa henti. Hidup mahasiswa kerap tak jauh berbeda dengan Sisyphus. Siklusnya: pagi kuliah, siang rapat organisasi, malam bekerja paruh waktu, lalu begadang mengerjakan tugas. Besok diulang lagi. Tugas selesai, muncul deadline baru. Skripsi direvisi, lalu revisi lagi, dan lagi. Seakan tak pernah berakhir.
Dalam pandangan Camus, absurditas bisa membuat manusia putus asa. Namun, ia menolak bunuh diri, baik fisik maupun filosofis. Baginya, solusi sejati adalah menerima absurditas tanpa menyerah. Di akhir esainya The Myth of Sisyphus, Camus menulis kalimat terkenalnya: “One must imagine Sisyphus happy.” (Beauloye & Daune, 2019) Pada akhirnya, meski tugas kuliah seakan tiada habis, meski hidup mahasiswa terasa seperti lingkaran tak berujung, ada pilihan sikap yang bisa diambil: menerima kenyataan sembari menemukan makna dan kebahagiaan kecil di tengahnya.
Dampak Burnout: Akademik, Fisik, dan Eksistensial
Burnout mahasiswa berdampak luas. Secara akademik, banyak mahasiswa kehilangan motivasi belajar, menunda skripsi, bahkan drop out, konsentrasi menurun, kemampuan berpikir melemah, hingga muncul rasa putus asa. Secara fisik, penyakit seperti tipes, maag, hingga insomnia menjadi teman akrab mahasiswa.
Lebih dalam lagi, burnout meninggalkan krisis eksistensial. Pertanyaan seperti “Apa gunanya semua ini?” sering menghantui. Inilah absurditas mahasiswa: menghabiskan energi besar, tetapi merasa tak menemukan makna. Jika tidak dihadapi dengan bijak, absurditas ini bisa menyeret pada apatisme, bahkan depresi.
Jalan Keluar Melawan Absurditas
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pertama, dari sisi mahasiswa, penting mengelola diri: mengatur waktu, menjaga pola makan dan tidur, serta mengingat bahwa nilai akademik bukan satu-satunya ukuran hidup. Menemukan makna personal dalam kuliah, misalnya sebagai ajang melatih berpikir kritis atau membangun jejaring sosial, bisa menjadi jalan keluar.
Kedua, kampus perlu berperan aktif. Layanan konseling, program kesehatan mental, hingga fleksibilitas akademik harus diperkuat. Pendidikan tinggi tidak bisa terus menutup mata dengan memperlakukan mahasiswa hanya sebagai “mesin akademik”. Ketiga, lingkungan sosial perlu berhenti mengglorifikasi hustle culture (budaya gila kerja atau ambis). Mahasiswa tidak perlu dianggap gagal hanya karena tidak ikut semua lomba, tidak magang di perusahaan bergengsi, atau lulus lebih lama dari teman sebayanya.
Dengan langkah-langkah ini, mahasiswa bisa mulai melawan absurditas sehari-hari. Bukan dengan menyerah, melainkan dengan menerima, mengelola, dan menciptakan makna sendiri.
Penutup
Burnout mahasiswa bukan sekadar lelah, tetapi tanda serius bahwa ada yang tidak sehat dalam sistem pendidikan dan kultur sosial kita. Albert Camus, melalui teori absurditasnya, mengajarkan bahwa hidup sering kali terasa seperti dorongan batu Sisyphus yang tiada henti. Namun justru di situlah tantangannya: berani menerima absurditas sembari tetap menemukan kebahagiaan kecil di dalam perjalanan.
Kuliah, kerja, hingga jatuh sakit tipes bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, itu adalah cermin bahwa generasi muda sedang belajar melawan absurditas dengan keberanian. Dan seperti kata Camus, mahasiswa pun pada akhirnya harus membayangkan dirinya bahagia, meski setiap hari jatuh bangun bersama tugas dan deadline.
