
Penulis: Nafa Kamaliyah
Editor: Akmelia Rabbani
Ada beberapa platform musik digital yang pernah saya dengar, salah satunya lagu O,Tuan karya Feast yang menghadirkan sebuah perasaan yang berbeda dari sudut pandang pendengar tentang beberapa lagu rock di indonesia pada umumnya. Sebuah lagu yang mengambarkan tiga hal dalam sebuah kehidupan yakni kematian, ketakutan serta keikhlasan yang ingin di hindari oleh beberapa manusia namun pada akhirnya tidak akan bisa kita hindari dalam sebuah kehidupan ini. Feast merupakan salah satu platfrom musik yang terkenal dengan kritik sosial dengan lantang dan berani, tetapi lagu ini justru membawa ke ranah yang lebih sunyi, rapuh atau bahkan lebih ke personal, Baskara Putra sebagai sang vokalis menempatkan dirinya dalam lirik makna lagu tersebut, tentang sebuah percakapan yang langsung menjurus pada kematian ataupun sebuah topik gelap yang sering dianggap tabu. Melalui lantunan nada dan lirik yang ia nyanyikan dengan nada ringan dan pelan itu justru membuat sang pendengar ikut merasakan sesuatu emosioal dari sang vokalis.
Filosofi merelakan: Tak semua kepergian memberi waktu untuk berpamitan
Beberapa orang belajar tentang kehilangan. Ada yang diberi jeda untuk bersiap, ada yang diberi jeda oleh waktu, atau ada pula yang dipaksa untuk merelakan dan menerima kenyataan tanpa diberikan ruang sedikit pun untuk bertanya mengapa?. Dalam kehidupan saya belajar tentang kehilangan merupakan bab terakhir dalam kehidupan saya, sebuah bab yang tiba-tiba menujukkan seolah waktu tidak berpihak pada siapapun. Lagu ini, O’Tuan dari Feast yang dinyanyikan oleh Baskara Putra menjadi salah satu platfrom lagu yang menurut saya adalah sebuah karya yang paling dekat dengan pengalaman itu. Bukan hanya lagu yang membahas tentang kematian, tetapi juga sebuah lagu yang merangkumkan rasa takut akan kehilangan dan ketidaksiapan manusia yang terasa jujur tanpa sebuah penghiburan yang palsu.
Lagu itu dibuka dengan penuh dengan kesadaran manusia, bait awalan yang membuat saya seperti sedang dihadapkan oleh kenyataan yang kosong dalam setiap hidup manusia, bahwa segala hal yang bergerak pasti akan berakhir pada waktu yang telah ditentukan ketika sedang menafsirkan awalan bait lagu O’tuan dari Feast
Oh jelas aku tahu bunga akan layu
Rumput kian mengering daun kan menguning
Kau tahu menurutku waktu adalah
Kutukan ancaman bualan
Lirik lagu sederhana yang seperti sebuah tamparan lebut bagi manusia bahwa segala sesuatu yang pernah ada dalam kehidupan ini pasti akan berakhir saatnya namun, kita tahu bahwa kita tidak pernah siap dengan kata kehilangan. Sebuah lagu yang membicarakan tentang kefanaan atas kehidupan manusia yang dibahasakan membuat manusia menyadari bahwa yang menakutkan itu bukanlah kematian itu sendiri melainkan kenyataan yang datang kapan saja.
“Kenyataan yang membuat seseorang tak pernah siap dengan kata kehilangan”
Secara mendalam, lagu ini datang dari pengalaman pribadi dari sang vokalis. Ketika ibunya sedang melakukan operasi jantung, sebuah kesadaran hadir dalam diri manusia dan mengatakan, hidup itu bergerak dalam waktu yang tidak bisa kita prediksi. Lirik dalam lagu ini seperti menegaskan tentang kefanaan itu merupakan salah satu bagian dari kehidupan dan juga refleksi mendalam tentang ketakutan dalam diri manusia terhadap sebuah kematian atau bahkan batas waktu yang pada akhirnya itu semua membawa kesadaran dalam kehidupan yang penuh dengan keterbatasan. Menurut saya tidak semua vokalis berani mengungkapkan tema ataupun topik lagu yang membahas tentang kematian, sebuah topik tabu yang dianggap menyeramkan atau terlalu berat namun Baskara Putrra jurtru membuat pengungkapan tersendiri dalam sebuah lagu O,Tuan yang mengambarkan ketakutan seorang manusia terhadap kematian. Ketika ia menyanyikan “Aku takut,” rasanya seperti mendengarkan sebuah perasaan seseorang yang sempat ia pendam dan ia simpan rapat namun perlahan terungkapkan melalui sebuah makna dalam lirik lagu tersebut. Terdengar saat baskara melantunkan liriknya, tersirat sebuah pesan bahwa semua yang hidup pada akhirnya akan menua, hilang, memudar atau bahkan lenyap. Bukan ingin terlihat seperti lirik lagu yang begitu dramatis, tetapi Baskara Putra ingin mengungkapan terhadap perasaan yang dia alami melewati sebuah karyanya dan kejujuran seperti ini lah yang menurut saya lebih menyentuh dibandingkan rangkaian diksi-diksi kata yang terlalu indah.
Dan satu per satu orang sekitarku
Mulai ditinggalkan oh ini peringatan
Untukku o Tuan wahai kematian
Ku tak bisa melawan jamah perhentian
Berjanji ku ikhlaskan dengan rela
Namun jangan hari ini
Baris itu terasa seperti cerita saya sendiri, seolah-olah lagu itu tahu sesuatu tentang hidup saya yang tidak pernah cukup berani untuk saya ucapkan.
Kepulangan: Bukan sebuah perjalanan menuju rumah
Ada perjalanan yang mengubah cara pandang kita tentang hidup, perjalanan yang tampak sederhana tapi justru itu menjadi titik awal dari banyaknya hal yang tak pernah saya duga. Perjalanan itu tampak biasa namun membawa kita kea rah yang berbeda dari bayangan. Pulang misalnya, dulu saat saya masih kecil dengan sederhananya saya mengartikan kata kehilangan adalah sebuah kata yang berartian kembali, istirahat, atau bertemu dengan kehangatan. Namun, ketika saya sudah beranjak dewasa, mengetahui banyaknya kehidupan fana ini yang membahas tentang kematian, kehilangan, atau bahkan ketidaksiapan menerima kenyataan terhadap sesuatu yang telah tiada membuat saya menafsirkan ulang kata “Pulang” ini, bahwa tidak semua kepulangan mengantarkan kita ke rumah. Setidaknya itu yang saya pelajari setelah mengalami hal yang paling kosong dalam hidup saya yaitu kehilangan.
Bagi saya, perjalanan itu ada dan nyata terjadi ketika saya memasuki fase awal remaja. Tepat di kelas 1 Madrasah Aliyah, ketika hari-hari saya masih dirasakan di lingkungan pondok, bangun sebelum subuh, sholat berjamaah di masjid, dan rutinitas yang menenangkan meski kadang terasa melelahkan. Masa-masa ketika hidup seharusnya dipenuhi oleh hafalan, kegiatan, dan juga tawa ringan teman sekamar. Ditengah kesibukan kegiatan pondok, pada saat dini hari sekitar jam 2 pagi ketika saya sedang tertidur dengan pulas, tanpa banyak penjelasan, tiba-tiba saya diminta untuk pulang dengan alasan “saya akan diajak liburan” alasan yang terdengar wajar, bahkan terdengar menyenangkan. Tidak ada nada canggung ataupun aneh dalam suara saat menyampaikan kabar itu atau bahkan seperti tidak ada tanda-tanda bahwa sesuatu sedang disembunyikan dari saya. Sebagai santri saya terbiasa menerima berita tanpa curiga sedikit pun, semuanya tampak baik-baik saja jadi saya pun menurut tanpa banyak tanya.
Namun, dengan langkah kepulangan itu justru menjadi langkah menuju salah satu kenyataan yang paling mendalam atau bahkan menusuk dalam kehidupan saya. Sebuah kenyataan yang anehnya justru lebih dulu dibisikkan oleh hati saya sendiri melalui firasat yang datang dalam diam namun terdengar begitu jelas. Bukan firasat yang dramatis, tetapi firasat perasaan samar bahwa ada sesuatu yang tidak sejalan, semacam sebuah tekanan ringan yang membuat saya merasa bahwa saya tidak benar-benar pulang untuk liburan. Entah mengapa saya membayangkan rumah sakit, bayangan yang muncul begitu saja tanpa saya sadari, tanpa alasan yang logis. Saya pun mencoba untuk menepisnya, menganggap semua pikiran itu hanyalah sebuah kekhawatiran biasa yang datang dari masa yang lelah. Namun firasat itu tidak pergi, ia menempel layaknya bayangan, menemani sepanjangnya jalan membuat suasana dalam hati saya terasa berat meski tidak siapapun yang mengatakan sesuatu apapun. Saat kendaraan mulai memasuki lingkungan rumah, hati saya mulai tidak nyaman. Dengan langkah tertatih saya pun melangkah terlihat sebuah terop hijau berdiri di depan rumah, menekan semua firasat dalam dada yang kian mulai terbentuk akhirnya. Satu persatu mulai terpecahkan, bukan rumah sakit yang saya tuju, bukan juga liburan yang menunggu saya.
“Tetapi kepulangan itu adalah kepulangan menuju pada kata kehilangan”
Ibu saya telah pergi tanpa pamit, seorang ibu yang telah melahirkan saya kian pergi tanpa kata bahkan tanpa kesempatan saya untuk bersiap melampauinya. Kepergian yang datang dengan cara yang paling sunyi dengan dunia di sekitar saya yang tetap berjalan seperti biasa, orang-orang duduk disela kursi rumah, rangkaian bunga, serta panjatan doa namun semua di tengah-tengah itu saya berdiri dengan perasaan yang kosong. Pada momen itu, lirik O’Tuan terasa seperti mengulangi isi hati saya yang berusaha saya tahan.
Melihatmu masuk ke dalam ruang operasi
Berdoa semalam suntuk di kamar yang hening
Tanpa metafora dan analogi
Kiasan berbelit diksi tanpa berbungkus fiksi
Aku takut
Bait lagu untuk tetap menjalani kehidupan tanpa adanya seorang ibu.
Seni Merelakan: Dipaksa untuk mengenal kata lepas
Hari itu di bawah terop hijau yang berdiri tegak di depan rumah saya, saya seperti dipaksa untuk mengenal arti kata lepas lebih cepat dari yang saya bayangkan, tanpa kabar, persiapan, atau bahkan tanpa kesempatan menngucapkan sepatah kata apapun, ibu telah pergi. Di tengah kekosongan itu, lirik ini terasa lebih nyata seperti suara hati saya sendiri.
Kurelakan o Tuan
Kurelakan namun jangan hari ini.
Kurelakan o Tuan
Kurelakan namun jangan hari ini.
Kurelakan o Tuan
Kurelakan namun jangan hari ini…
Saya tahu suatu hari nanti saya harus merelakan, namun hari ini bukanlah waktunya. Hati saya belum sanggup, namun pelan-pelan saya belajar melepaskan dan menerima kenyataan yang ada, karna melepaskan bukan berarti berhenti mencintai. Tetapi, melepaskan adalah cara baru untuk menjaga bukan melalui kehadiran, bertemu bukan melalui kenyataan, tetapi melalui kenangan dan doa yang terus saya bawa agar selalu tetap terkenang. Seni merelakan mengajarkan saya bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan kita itu hanyalah sementara, bukan abadi. Ada waktunya perlahan semua akan menghilang tanpa adanya ketersiapan dalam diri seseorang. Karna kadang kita tidak menginginkan kehilangan tetapi kehilanganlah yang memilih kita dan disanalah kita memulai berjalan lagi meski pada awalnya dengan sebuah langkah yang gemetar.
