Penulis: Moh. Faiqul Waffa
Editor: Lailatul Arifah
Rumah tua peninggalan sang ayah berdiri di ujung kota seperti monumen yang dilupakan zaman. Dindingnya berlapis batu andesit kusam, jendela-jendela kayu tinggi berderit ketika angin lewat, dan di ruang kerjanya masih tersisa meja panjang dari jati tua, penuh noda tinta yang menghitam. Di rak-rak buku berdebu, berjajar naskah-naskah tebal dengan sampul lusuh, aroma kertas tua bercampur minyak lampu menggantung pekat di udara.
Porco, remaja tujuh belas tahun sering masuk ke ruangan itu diam-diam, meski ibunya melarang. Ia merasa seolah berada di dunia lain, dunia yang pernah dihuni ayahnya, seorang sejarawan yang kini hanya dikenang sebagai pengkhianat. Orang-orang bilang ayahnya mati karena “berkhianat pada bangsa,” tapi yang Porco dengar dari bisikan malam adalah sesuatu yang berbeda: ayahnya mati karena berani menjawab pertanyaan yang seharusnya dibiarkan terkubur.
Suatu sore, ketika jendela berderit diterpa angin senja, Porco menemukan sebuah kotak kayu kecil di balik tumpukan buku. Kotak itu terkunci, tapi rapuh oleh usia. Dengan sekali hentak, engselnya patah. Di dalamnya, terselip naskah penuh coretan tangan, seolah ditulis tergesa-gesa, seperti pesan terakhir dari seseorang yang tahu nyawanya akan segera direnggut.
Porco menyalakan lampu minyak di meja, cahayanya temaram, menyorot tulisan tangan ayahnya yang berjejal di lembaran kertas cokelat. Jemarinya bergetar saat membuka halaman pertama.
“Kisah yang diwariskan bukanlah cermin, melainkan lukisan. Apa yang tampak indah di mata, sering kali menutupi noda di balik kanvas.”
Porco berhenti membaca. Ia mengernyit, mencoba mencerna kalimat itu. Apakah maksud ayahnya bahwa sejarah yang diajarkan hanya sebuah lukisan? Kalau begitu, siapa yang sengaja menutup noda itu?
Halaman berikutnya lebih aneh:
“Mereka yang dielu-elukan dengan patung dan upacara, menyembunyikan jejak langkah yang berlumur darah. Dan kita, anak-anak negeri, diminta menunduk setiap kali nama mereka disebut.”
Jantung Porco berdetak kencang. Kata-kata itu seperti kabut: tidak pernah menyebut nama, tapi cukup untuk menyingkap bayangan. Jika benar tokoh yang dimuliakan selama ini punya rahasia kelam, berarti ayahnya tidak mati sia-sia. Ia dibungkam karena berani menyingkap noda di balik lukisan itu.
Porco menutup halaman itu, tapi pikirannya justru semakin terbuka. Ia bersandar di kursi kayu yang berderit pelan.
“Kalau sejarah hanya lukisan, lalu apa gunanya aku belajar mati-matian selama ini? Apa gunanya sekolah, upacara, bahkan penghormatan yang kulakukan dengan penuh keyakinan setiap pagi di hari perayaan?”
Ia menatap dinding penuh buku ayahnya. Deretan jilid-jilid tebal itu dulu terlihat kokoh, sekarang tampak seperti barisan saksi bisu yang menyembunyikan sesuatu.
“Apakah ayah benar-benar gila, seperti kata mereka? Atau justru semua orang sengaja menutup mata, berpura-pura tidak melihat noda di balik cat indah itu? Kalau ayah salah, mengapa ia harus mati? Tapi kalau ayah benar… berarti seluruh bangsa ini dibangun di atas kebohongan.”
Porco meremas ujung kertas, dadanya sesak oleh pertanyaan yang tak punya jawaban. Ia ingin membuang naskah itu, tapi jemarinya enggan melepas. Ada sesuatu yang seakan memanggilnya untuk menggali lebih dalam, meski ia tahu konsekuensinya bisa meruntuhkan hidupnya sendiri.
Tiba-tiba, pintu ruang kerja berderit. Ibunya berdiri di ambang, wajahnya pucat diterangi lampu minyak. Matanya langsung jatuh pada naskah yang tergenggam di tangan Porco.
“Porco…” suaranya bergetar, campuran cemas dan marah, “…kau membuka apa yang seharusnya tidak kau buka.”
Porco terdiam cukup lama, buku tua itu masih terbuka di pangkuannya. Kata-kata ayahnya terngiang samar dalam pikirannya, bukan seperti jawaban, melainkan teka-teki yang menolak untuk jinak. Semakin ia mencoba memahami, semakin kabur maknanya.
“Kalau bukan kebenaran yang dicari ayah… lalu apa? Atau… ayah tahu sesuatu yang seharusnya tak boleh disebut?” batinnya berputar. Porco menggenggam kertas catatan yang mulai rapuh, seolah berharap ada rahasia yang bisa terlepas hanya dengan tekanan jemari. Hatinya resah, tapi juga penasaran; semacam tarikan yang tak bisa ditolak.
Ketika ia sedang larut dalam gumaman pikirannya, suara langkah pelan terdengar di belakang. Porco menoleh cepat, ibunya berdiri di ambang pintu. Tatapannya dingin, tidak ada kehangatan yang biasa seorang ibu tunjukkan.
“Apa yang kau baca?” tanyanya datar, hampir tanpa intonasi.
Porco gelagapan, buru-buru menutup buku itu. “Hanya… hanya catatan lama Ayah.”
Wajah ibunya tetap kaku, hanya matanya yang bergetar sekejap sebelum kembali membeku. Ia berjalan mendekat perlahan, setiap langkahnya bergema di lantai kayu rumah tua itu. Tangannya terulur, lalu dengan gerakan tenang tapi tegas, ia mengambil buku itu dari pangkuan Porco.
“Kau tak seharusnya membukanya,” ucapnya dingin. “Buku itu… hanya akan membuatmu semakin jauh dari kehidupan yang tenang.”
Porco menelan ludah. “Kenapa? Apa Ayah menulis sesuatu yang berbahaya?”
Ibunya terdiam sesaat. Wajahnya seperti tembok, tak memberi celah. Lalu, dengan suara yang lebih lembut tapi terasa seperti lapisan tipis yang menutupi sesuatu yang keras, ia berkata:
“Terkadang nak, ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui. Ayahmu… terlalu banyak bertanya. Dan pertanyaan bisa lebih tajam daripada pedang.”
Ia lalu memeluk buku itu ke dadanya, seakan benda itu harus diamankan, bukan sekadar disimpan.
Porco menatap ibunya, perasaan campur aduk melandanya. Ada rasa marah, ada pula rasa takut. Tapi lebih dari segalanya: rasa penasaran semakin menguat.
Malam itu, setelah percakapan dingin tadi, Porco tak bisa tidur. Kata-kata ibunya terus berputar di kepalanya, terutama kalimat terakhir: “Pertanyaan bisa lebih tajam daripada pedang.” Ia berguling di ranjang, menatap langit-langit rumah, dengan dinding berlapis batu andesit yang kusam.
Di luar, suara jangkrik bersahutan, tapi keheningan rumah terasa lebih berat daripada bunyi malam.
Porco bangkit, berjalan pelan menyusuri lorong kayu. Dari celah pintu kamar ibunya, samar terlihat cahaya lampu minyak. Jantungnya berdegup. Ia mendekat tanpa suara, menempelkan telinga ke kayu pintu yang dingin.
Di dalam, ibunya duduk bersila. Tangannya membuka kembali buku tua itu. Ia menatap halaman-halaman lusuhnya dengan wajah muram, lalu perlahan ia menyalakan lilin kecil dan menarik sebuah kotak kayu dari bawah lemari tua.
Porco menahan napas. Ia melihat ibunya menyelipkan buku itu ke dalam kotak, bersama beberapa lembar catatan lain yang ia tak pernah lihat sebelumnya. Gerakannya hati-hati, seperti seseorang yang terbiasa menyembunyikan benda berharga sekaligus berbahaya.
Sebelum menutup kotak, ibunya sempat berbisik lirih, terlalu pelan untuk Porco tangkap jelas, tapi ada satu kata yang ia dengar jelas: “topeng.”
Lalu kotak itu dimasukkan ke balik papan lantai, ditutup dengan rapat, seakan tak pernah ada ruang rahasia di sana.
Porco segera mundur beberapa langkah, takut ketahuan. Napasnya memburu. Bagian dalam dirinya berteriak ingin segera bertanya, ingin menuntut penjelasan. Tapi sisi lain membisikkan: “jangan sekarang.”
Ia kembali ke kamarnya, duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar.
“Topeng… apa maksudnya? Kenapa Ayah mati karena sebuah kata? Dan kenapa Ibu harus menyembunyikan semuanya dariku?”
Malam itu Porco tahu satu hal: rahasia keluarganya jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Keesokan paginya, rumah itu kembali pada rutinitas biasa. Aroma rebusan kacang hijau memenuhi dapur, asap tipis mengepul dari tungku tanah liat. Ibunya tampak sibuk seperti tak terjadi apa-apa semalam. Senyumnya tipis, matanya letih, namun ia tetap menyajikan sarapan seperti seorang ibu yang penuh perhatian.
“Porco, makanlah dulu sebelum berangkat. Kau akan butuh tenaga untuk belajarmu,” katanya datar, tanpa menoleh.
Porco duduk, menatap mangkuk panas di depannya. Sendok di tangannya gemetar sedikit, tapi ia pura-pura tak peduli. Ia perhatikan tangan ibunya yang cekatan, bagaimana jemari itu begitu tenang, seakan tak pernah menyentuh buku terlarang semalam.
“Apakah aku bermimpi? Tidak, aku benar-benar melihatnya. Kotak kayu itu nyata. Dan kata ‘topeng’… aku mendengarnya dengan jelas.”
Ia berusaha mengusir pikiran itu, tapi setiap kali menatap wajah ibunya, bayangan kotak kayu itu muncul lagi. Seakan ada garis tak terlihat yang membelah ibunya menjadi dua: sosok ibu yang ia kenal, dan sosok asing yang penuh rahasia.
Hari-hari berikutnya berjalan serupa. Porco tetap ke sekolah, belajar, dan bermain dengan teman-temannya. Tapi di sela-sela tawa, pikirannya melayang ke lantai kayu rumahnya. Saat malam tiba, saat ibunya tidur, saat sepi kembali merayap, di situlah rasa ingin tahunya tumbuh seperti bara kecil yang menunggu ditiup angin.
“Mungkin aku bisa mencari tahu saat Ibu pergi ke pasar… atau mungkin malam, ketika ia sudah tertidur lelap. Aku harus tahu… meski satu kata saja dari kebenaran itu.”
Beberapa hari kemudian, di sekolah, Porco dipanggil ke ruang guru. Di sana, seorang pria paruh baya dengan jubah lusuh sedang berbicara dengan kepala sekolah. Wajahnya asing, tapi sorot matanya tajam, seperti orang yang selalu menyimpan sesuatu.
“Ini Porco?” tanyanya sambil menatap lurus.
Kepala sekolah mengangguk. “Ya, ini anak almarhum sejarawan itu.”
Porco tercekat. Kata sejarawan membuat jantungnya berdebar. Ia mencoba bersikap tenang.
Pria itu tersenyum tipis. “Aku hanya ingin tahu, Porco … apakah ayahmu pernah meninggalkan sesuatu padamu? Catatan, buku, atau mungkin pesan terakhir?”
Porco menelan ludah. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi nadanya mengandung tekanan. Seolah ia sedang diuji, bukan sekadar ditanya.
“Tidak, Pak…” jawab Porco lirih. “Ayah tidak meninggalkan apa-apa.”
Pria itu mengangguk pelan, meski matanya jelas tidak percaya. “Begitu ya… kalau begitu, jangan terlalu banyak bertanya tentang masa lalu. Ada hal-hal yang lebih aman bila tetap terkubur.” Ia menepuk bahu Porco, lalu pamit dengan langkah ringan tapi meninggalkan rasa berat.
Kepala sekolah hanya berdehem, lalu menyuruh Porco kembali ke kelas. Tapi sepanjang pelajaran, pikirannya tak tenang.
“Dia tahu sesuatu… bahkan lebih dari Ibu. Kalau orang asing saja bertanya, berarti rahasia itu bukan sekadar milik keluargaku, tapi mungkin seluruh kota ini.”
Sejak hari itu, Porco mulai yakin: ia tak bisa hanya duduk diam. Kotak kayu itu harus ia buka, meski seluruh dunia mencoba melarangnya.
Hari itu Porco pulang dengan langkah berat. Ucapan pria asing tadi terus menggema di kepalanya.
“Ada hal-hal yang lebih aman bila tetap terkubur.”
Di jalan berdebu menuju rumah, ia merasa seakan ada mata yang mengawasinya. Setiap bayangan pohon tampak terlalu panjang, setiap suara langkah terasa bergema lebih dari satu. Tapi ketika ia menoleh, jalan tetap kosong.
Malamnya, Porco mencoba bersikap biasa di meja makan. Ibunya bertanya singkat soal sekolah, tapi Porco hanya menjawab secukupnya. Dalam hatinya, ia menyembunyikan rahasia baru: ada orang lain di luar sana yang juga mencari jejak ayahnya.
Beberapa hari setelah itu, ia kembali melihat pria asing itu, kali ini bukan di sekolah, melainkan di pasar kota. Pria itu berdiri di pojok, pura-pura membaca koran, tapi jelas sekali pandangannya mengawasi setiap langkah Porco dan ibunya.
Porco berpura-pura tak tahu, tapi matanya menangkap detail kecil: di tangan pria itu ada cincin dengan ukiran simbol aneh, seperti wajah yang dibelah dua, satu tersenyum, satu menangis.
Cincin itu membuat darah Porco berdesir. Ia ingat samar-samar pernah melihat simbol serupa di salah satu buku ayahnya, di rak paling atas yang jarang disentuh.
Malamnya, saat ibunya sudah tidur, Porco berdiri di depan rak itu. Jemarinya gemetar saat meraba punggung buku yang berdebu. Ia tahu, semakin dalam ia menggali, semakin ia akan berada di jalur yang sama dengan ayahnya. Jalur yang berakhir dengan darah.
Malam itu udara terasa lebih berat dari biasanya. Porco menunggu sampai rumah benar-benar senyap. Dengkur halus ibunya terdengar dari kamar sebelah. Lampu minyak di dapur sudah padam, menyisakan remang bulan yang menembus celah jendela.
Dengan langkah pelan, ia menuju ruang kerja ayahnya. Setiap derit papan lantai terdengar seperti teriakan. Keringat dingin membasahi pelipisnya.
Ia jongkok di sudut ruangan, tepat di mana semalam ibunya berlutut. Tangannya meraba celah kayu. Jantungnya berdetak makin cepat saat menemukan bagian yang sedikit berbeda, papan itu longgar, seakan sengaja dirancang untuk dibuka.
Pelan-pelan, ia congkel dengan ujung pisau kecil. Kayu itu terangkat, memperlihatkan ruang gelap di bawahnya. Bau lembap dan debu tua menyeruak.
Di dalamnya, kotak kayu itu bersemayam. Ukurannya sedang, tapi tampak berat, dengan ukiran samar yang sudah pudar dimakan usia. Seolah-olah kotak itu bukan sekadar wadah, melainkan nisan bagi rahasia.
Porco menarik napas panjang. Jemarinya meraih tutup kotak, tapi berhenti sejenak. Suara ibunya kembali terngiang di kepalanya: “Pertanyaan bisa lebih tajam daripada pedang.”
Namun, rasa penasaran lebih kuat daripada ketakutan. Dengan satu tarikan, ia membuka tutupnya.
Di dalam, tersimpan buku tua yang berbeda dari semua yang pernah ia lihat. Sampulnya hitam legam, dengan simbol wajah terbelah sama persis dengan cincin yang ia lihat di tangan pria asing itu.
Porco menelan ludah. Tangannya gemetar saat menyentuh sampul itu.
“Ayah… apa sebenarnya yang kau tinggalkan untukku?”
Saat jemari Porco baru saja menyentuh sampul buku itu, tiba-tiba papan lantai berderit pelan di luar ruangan. Suara langkah mendekat.
Porco membeku. Jantungnya berdetak begitu keras, ia takut ibunya bisa mendengarnya.
Pintu ruang kerja bergeser sedikit, cahaya lampu minyak dari lorong masuk tipis. Bayangan ibunya terlihat di ambang, tubuhnya kurus dengan rambut yang digelung seadanya.
“Porco?” suaranya lirih, hampir berbisik. “Kau belum tidur?”
Dengan panik, Porco buru-buru menutup kotak kayu itu dan mendorong papan kembali ke tempatnya. Tangannya berdebu, napasnya terengah. Ia berdiri cepat, seolah sedang mencari sesuatu di rak buku.
“I-ibu… aku hanya… mencari catatan pelajaran.” suaranya bergetar.
Ibunya menatapnya lama, matanya tajam tapi wajahnya tetap dingin. Lalu perlahan ia mendekat, menyalakan lampu di ruang kerja. Cahaya hangat menyapu buku-buku tua, meja berantakan, dan wajah Porco yang pucat.
“Jangan terlalu larut di sini,” katanya datar. “Beberapa buku ayahmu tidak pantas kau sentuh.”
Porco mengangguk cepat. “Baik, Bu.”
Ibunya masih berdiri sejenak, seakan menimbang sesuatu. Tapi akhirnya ia hanya memadamkan lampu, meninggalkan Porco dalam gelap. Pintu kembali menutup, dan langkahnya menjauh.
Porco jatuh terduduk. Tubuhnya lemas, tapi matanya menyala oleh satu keyakinan: semakin ibunya berusaha menutupinya, semakin besar sesuatu yang disembunyikan.
Malam itu, ketika rumah sudah sunyi dan bulan menggantung tipis di luar jendela, Porco kembali membuka kotak. Ia menyingkap sampul buku hitam, ada huruf-huruf kecil, coretan simbol wajah terbelah, serta paragraf-paragraf yang berbisik dalam metafora. Ayahnya tak menulis pernyataan; ayahnya menulis teka-teki. Di antara kalimat yang disusun seperti puisi samar, Porco membaca fragmen yang membuatnya paham sebagian: ada kelompok yang menjaga citra, ada ritual penghormatan yang menutupi luka-luka lama, ada daftar nama yang diulang dalam kode.
Porco tidak membuang waktu. Jika kebenaran mesti tersebar perlahan, ia akan menaburnya setitik demi setitik. Ia menyalin sebagian baris, bukan verbatim, hanya potongan yang cukup untuk menyalakan rasa ingin tahu, di selembar kertas, kemudian menyelipkannya di antara halaman buku tugas sekolah untuk temannya, Armand, yang sering bertanya kritis. Porco menulis juga satu surat anonim, potongan kalimat kecil yang menyiratkan ada “lukisan” di balik sejarah. Ia membagi selebaran kecil di pasar sekali, dua kali dan menaruh potongan kertas di balik poster perayaan di alun-alun.
Dalam hitungan hari, bisik-bisik mulai merebak. Seorang murid membacakan potongan itu di kantin dengan suara yang getir; seorang pedagang menatapnya lalu menghapus poster kebanggaan di tokonya. Hal-hal kecil. Hal-hal yang menimbulkan gema. Namun gema itu juga memanggil perhatian yang salah: pria bercincin (sebut saja si pengintai) telah memperhatikan pola ini sejak lama. Simbol wajah terbelah di buku hitam dan di cincinnya tiba-tiba terlihat bukan kebetulan melainkan tanda pengenal.
Suatu petang, saat Porco pulang, dua orang berpakaian gelap menunggu di gerbang. Mereka tidak perlu berkata banyak. Satu dari mereka mengeluarkan foto ayahnya, lalu menunjuk. Di matanya ada permintaan: berhenti, atau menjadi seperti ayahmu. Porco memilih kata-kata; ia memilih melawan dengan pena yang mulai berlumuran tinta. Dia menolak untuk tunduk.
Malam penangkapan tidak dibalut drama besar, hanya ketukan pintu pelan, langkah kaki yang tenang, suara sang ibu memanggil nama Porco dari kamar yang gelap, lalu pintu kamar itu dibuka oleh dua pria bertopi. Ibu menatap, wajahnya pasrah; satu kalimat yang sempat terucap “maaf” lebih berat daripada lantai ruang kerja yang tadi Porco congkel. Ia ditarik pergi tanpa kesempatan membela naskah-naskah atau menceritakan maksud yang sebenarnya.
Mereka tidak membiarkannya menghilang diam-diam. Eksekusi dibuat sebagai peringatan. Di alun-alun yang dulunya digunakan untuk perayaan, kini berdiri sebuah panggung kayu. Para pejabat berseragam rapi, bendera berkibar; anak-anak digiring agar melihat, agar pelajaran menempel. Si pemimpin dengan kancing hitam (si pengintai) berdiri di depan kerumunan. Ia berbicara tentang “ketertiban” dan “harga stabilitas.” Tanpa nama, dia menggurat tuduhan: pengkhianatan terhadap kebenaran mayoritas, upaya menabur kebencian, usaha mengoyak lukisan yang membuat bangsa tetap berdiri.
Porco diikat, dibawa di antara sorot mata yang tak lagi ramah. Ia berdiri di tengah kerumunan yang terdiam, ibu-nya berdiri jauh, tangannya menutup mulut sampai wajahnya basah. Porco menatap wajah-wajah yang dulu ia lihat di sekolah, di pasar, di meja makan, mereka menatapnya seperti menonton permainan tragedi yang sudah ditulis. Di saku jaketnya ada sebuah lipatan kertas: salinan paling kecil dari satu baris ayahnya, lebih metaforis dari bukti, lebih seperti ajakan daripada pernyataan. Ia menahan rasa marah dan ketakutan, dan mengingat kalimat-kalimat ayah yang selalu ia tafsirkan berkali-kali: lukisan, noda, topeng yang tak terangkat.
Ketika kesempatan bicara datang padanya. Suaranya gemetar, tetapi ia memilih kata-kata singkat, bukan untuk menuduh, bukan untuk menuntut, melainkan untuk menanam benih pertanyaan. Ia tidak menuduh siapa pun secara langsung. Ia hanya bertanya, perlahan, seperti yang dilakukan ayahnya dalam catatan: “Jika semua yang kita lihat adalah lukisan, di mana noda itu tersembunyi?”
Pertanyaan itu terlontar di udara, bukan pernyataan yang jelas, bukan bukti, namun justru itulah yang menakutkan. Mereka yang menjaga topeng melihatnya sebagai ancaman langsung. Si Pengintai pun berdiri, wajahnya mendelik; ada keputusan yang sudah lama disiapkan. Mereka memutuskan bahwa pertanyaan yang seperti pedang harus dipatahkan agar tidak menimbulkan luka baru.
Di antara orang-orang, terdengar bisik: “Seperti ayahnya.” Kalimat itu memukulnya lebih keras daripada apapun. Lalu Porco menunduk sejenak sebelum tali benar-benar mengikat lehernya. Di benaknya, terngiang kalimat ayahnya yang ia baca dalam buku hitam: “Kisah yang diwariskan bukanlah cermin, melainkan lukisan. Apa yang tampak indah di mata, sering kali menutupi noda di balik kanvas.”
Ia kini memahaminya lebih dalam. Hidupnya hanyalah satu sapuan kuas kecil di atas kanvas besar keluarganya, indah bagi yang melihat dari jauh, tapi penuh retak di bagian tersembunyi. Porco bukan hendak menghapus noda itu, ia hanya ingin menunjukkannya, agar dunia tahu bahwa lukisan pun bisa menyimpan kebenaran yang tidak tampak.
Tak lama kemudian, tali kasar itu melingkar di leher Porco, dingin dan berbau debu. Ia menarik napas dalam, merasakan udara terakhir yang masih bisa memenuhi dadanya. Dari bawah panggung, ibunya meronta sambil berteriak, suaranya teredam seperti diselimuti kabut. Porco menutup mata sejenak, dan dalam kegelapan itu ia melihat bayangan ayahnya berdiri, bukan sebagai hantu, melainkan sebagai kenangan yang tetap tegak.
Ketika papan di bawah kakinya ditarik, tubuhnya melesat turun. Sepersekian detik terasa panjang: jantungnya memukul tulang rusuk, matanya berusaha menatap sekali lagi ke arah buku hitam di meja saksi. Lehernya tertarik, dunia bergetar, lalu sepi yang asing menyelubungi. Dalam benaknya hanya tersisa satu kalimat yang tak sempat ia ucapkan: “Pertanyaan akan selalu hidup.”
Ibunya menjerit keras, lalu tenggelam dalam linangan air mata.
Tubuh Porco terayun di ujung tali, wajahnya pucat tapi senyum samar masih menempel seakan menolak mati. Di balik sorak-sorai yang dipaksakan penguasa, kota justru diliputi bisikan: bahwa sejarah yang mereka yakini mungkin hanyalah tabir, bukan cermin. Orang-orang menatapnya seperti menatap sebuah lukisan, indah sekaligus retak, menyembunyikan noda di balik kanvas. Dan di sanalah, dari kematian seorang anak sejarawan, lahir pertanyaan yang tak bisa lagi dibungkam.
Karena ada saatnya, “kematian” hanya menjadi kata awal dari sebuah kalimat yang belum terselesaikan.
