Penulis: Aulia Azzahro dan Nurul Azizah
Editor: Moh. Faiqul Waffa
Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan, kita sering kali lupa meluangkan waktu sejenak untuk menghargai hal-hal baik di sekitar. Melatih diri untuk bersyukur atas hal-hal kecil dalam hidup dapat menjadi kunci dalam menemukan ketenangan dan kebahagiaan.
Banyak orang merasa tidak puas dengan pencapaiannya karena terus membandingkan diri dengan mereka yang tampak lebih sukses. Akibatnya, muncul perasaan iri, rendah diri, dan tekanan psikologis. Rasa syukur pun sulit tumbuh karena fokus tertuju pada kekurangan, bukan pada nikmat yang telah dimiliki. Ini menyebabkan banyak individu terjebak dalam siklus ketidakpuasan yang menghalangi mereka menikmati hidup.
Bersyukur adalah kemampuan untuk menghargai dan mengakui kebaikan, baik dari orang lain maupun dari pengalaman hidup itu sendiri. Rasa syukur mencerminkan kesadaran akan berkat dan hal-hal positif yang telah diterima. Menariknya, syukur bisa menjadi langkah awal seseorang dalam menemukan makna hidup. Dengan bersyukur, individu lebih mampu mengenali kelebihan dan keunikan dirinya (Malin et al., 2017).
Namun, bersyukur tidak selalu mudah. Banyak orang kesulitan melihat kebaikan yang mereka miliki atau menerima anugerah Tuhan dengan tulus. Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain membuat mereka merasa kurang, bersalah, atau bahkan tidak aman.
Dalam Kamus Arab-Indonesia Modern, syukur diartikan sebagai ungkapan rasa terima kasih, berasal dari kata Arab syakara (Ali, Atabik & Ahmad Z. M., 2003). Dalam ilmu tasawuf, syukur berarti ungkapan terima kasih kepada Allah melalui sikap, perkataan, dan perbuatan, sebagai pengakuan atas anugerah-Nya.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin (1999) menjelaskan bahwa syukur mencakup tiga aspek: pengakuan dalam hati, pengucapan lewat lisan, dan tindakan nyata melalui amal. Sementara secara psikologis, Emmons dan McCullough (2003) menyatakan bahwa syukur adalah bentuk emosi positif yang berkembang menjadi sikap hidup, nilai moral, dan bahkan bagian dari kepribadian seseorang.
Rasa syukur dapat membuat seseorang lebih fokus pada apa yang dimiliki daripada yang tidak ada. Ini menciptakan perasaan cukup, membantu individu menghadapi kegagalan, dan melihat sisi positif dari setiap tantangan. Sikap syukur juga memperkuat ketahanan mental dan menjadi fondasi untuk menumbuhkan emosi positif seperti kepuasan, harapan, dan rasa bangga.
Dari sisi spiritual, syukur memiliki kekuatan besar. Ia mampu menghadirkan kedamaian batin dan memperkuat hubungan seseorang dengan Tuhan. Dalam realitasnya, tidak semua orang mampu bersyukur. Secara psikologis, hal ini berkaitan erat dengan ego dan emosi. Ketika ego tidak terkendali, muncul ambisi berlebihan, rasa tidak aman, dan dorongan untuk terus mencari validasi. Ini menjauhkan seseorang dari sikap bersyukur.
Islam memandang syukur sebagai respon terbaik dalam menghadapi ujian hidup. Umat Islam diajarkan bahwa setiap peristiwa adalah bagian dari rencana Allah yang sempurna. Dengan bersyukur, seseorang tidak mudah mengeluh, lebih tenang dalam menghadapi hambatan, dan mampu mencari solusi dengan kepala dingin (Saputra et al., 2021).
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, rasa syukur terdiri dari unsur hati, ilmu, dan amal. Pada aspek hati (ḥāl), orang yang bersyukur akan merasa tenang dan puas dengan karunia Allah, tanpa merasa iri dengan nikmat yang diberikan orang lain. Pada aspek ilmu, ia menyadari bahwa semua nikmat itu datangnya dari Allah, bukan semata-mata hasil usaha pribadi. Sedangkan pada aspek amal, rasa syukur diwujudkan dalam tindakan nyata, seperti menolong sesama, beribadah dengan khusyuk, dan memanfaatkan nikmat dengan bijaksana.
Syukur juga tampak dalam hal-hal sederhana: menikmati sarapan bersama keluarga, tubuh yang sehat untuk beraktivitas, atau waktu luang yang tenang. Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, hal-hal kecil seperti ini patut dihargai.
Dalam hubungan sosial, syukur memperkuat koneksi antarindividu. Kita menjadi lebih empatik dan apresiatif terhadap sesama. Ketika mengalami kegagalan, orang yang bersyukur tidak larut dalam penyesalan, tapi berusaha mengambil hikmah. Ia sadar bahwa tantangan adalah bagian dari pertumbuhan.
Individu dengan rasa syukur tinggi cenderung memiliki emosi positif dan pandangan hidup yang lebih seimbang. Sebaliknya, mereka yang kurang bersyukur sering merasa tidak cukup, lebih mudah cemas, dan sulit menemukan ketenangan.
Sayangnya, banyak orang mengira kebahagiaan hanya bisa diraih lewat kekayaan atau materi. Padahal, riset menunjukkan bahwa peningkatan kekayaan tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kebahagiaan (Seligman, 2005). Schwarz (dalam Emmons & Shelton, 2010) menegaskan bahwa kurangnya rasa syukur dapat memunculkan sifat iri, keluhan berlebihan, dan rasa keterasingan dari lingkungan.
Badburn (1969) membagi kesejahteraan psikologis menjadi dua aspek: dampak positif seperti kebahagiaan, dan dampak negatif seperti stres atau kecemasan. Ryff (2014) menjelaskan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis optimal mampu menjalankan fungsi psikologis melalui beberapa dimensi. Pertama adalah penerimaan diri, yakni kemampuan menerima kekurangan dan kelebihan dengan pandangan positif. Kedua, kemandirian, yaitu tidak mudah terpengaruh oleh tekanan sosial dan mampu membuat keputusan pribadi. Ketiiga, memiliki tujuan hidup yang jelas, yakni arah dan makna yang diyakini dalam menjalani kehidupan.
Dalam pandangan Watkins, Wood, Stone, dan Kolts (dalam Ernawati, 2014), syukur memiliki tiga aspek penting. Pertama adalah perasaan kelimpahan terhadap hidup, di mana seseorang merasa telah memiliki cukup. Kedua adalah apresiasi terhadap hal-hal sederhana, seperti kehangatan keluarga atau cuaca yang cerah. Ketiga adalah apresiasi terhadap orang lain yang telah berkontribusi dalam hidup kita. Ketiganya menunjukkan bahwa syukur bukan hanya soal rasa dalam hati, tetapi juga tentang kesadaran aktif yang mencakup pengalaman personal dan sosial.
Syukur adalah fondasi penting untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis. Baik dalam pandangan Islam maupun psikologi modern, syukur diakui sebagai kekuatan emosional dan moral yang membantu individu menjalani hidup dengan lebih bermakna. Meskipun tidak selalu mudah, membiasakan diri untuk bersyukur atas hal-hal kecil dapat mengubah cara pandang terhadap hidup. Dalam perspektif Ibnu Qayyim, syukur adalah kombinasi antara hati, ilmu, dan amal. Bila dijalankan dengan konsisten, ia akan mendekatkan manusia kepada Tuhan, serta membawa ketenangan jiwa.
Menumbuhkan sikap syukur bukan hanya sebuah ajakan spiritual, tetapi juga strategi hidup yang nyata untuk mempercantik momen-momen kita dan meraih kebahagiaan yang utuh.
