Penulis: Tahers (nama samaran)

Editor: Moh. Faiqul Waffa

Saya masih ingat jelas saat mata tertumbuk pada sebuah unggahan video seorang driver ojek online yang terkapar, merangkak kesakitan karena ditabrak mobil barakuda Brimob yang sayangnya masih tetap melaju meski tubuhnya sudah terbujur kaku. Dia masih sempat bernafas dan dirangkul teman seperjuangan menuju rumah sakit terdekat. Sayang, napasnya telah terenggut dan tak tertolong. Video itu berputar, tapi yang lebih menghantam dada saya adalah alunan “Ibu Pertiwi” yang mengiringinya. Lagu yang seharusnya menenangkan jiwa, justru menyalakan bara di dalam hati. Hati saya bergetar hebat, bukan oleh rasa haru semata, melainkan oleh amarah yang tak lagi bisa ditahan .

Saya menatap layar ponsel, lalu menutup mata. Namun bayangan itu terus melekat sosok rakyat kecil, pekerja jalanan, yang seharusnya dilindungi, mengapa tidak? Saya setiap hari juga merasakan lelahnya menunggu orderan dan mengantarnya sampai tujuan meski penghasilannya lebih banyak masuk pada aplikasi kaum Kapitalis, tapi mau bagaimana lagi namanya demi sesuap nasi. Nasibnya menjadi korban dari kekuasaan yang seakan kehilangan nurani. Amarah meletup, menggerogoti sisa kesabaran saya. Kebencian pada aparat, yang seharusnya menjadi pengayom, justru semakin membuncah.

Tak terasa, air mata ini jatuh. Bukan hanya karena duka melihat nyawa yang melayang sia-sia, tapi juga karena keputusasaan apakah negeri ini masih punya ruang bagi keadilan? Apakah darah rakyat harus terus jadi tumbal demi mempertahankan wajah kekuasaan?

Dan di saat itu, saya tahu: tangis ini bukan kelemahan. Tangis ini adalah janji. Janji bahwa saya akan terus berdiri, meski tubuh diguncang ketakutan, meski mata basah oleh air mata. Karena luka seorang rakyat, adalah luka kita semua.

Keesokan harinya di kamar kost saya terbangun dengan perasaan yang gelisah dan penuh amarah membuat suasana Surabaya semakin panas. Amarah itu tak padam semalam, justru semakin membara. Bayangan wajah almarhum driver ojek online itu kembali menghantui ingatan, seakan menuntut agar saya tidak tinggal diam. Saat membuka gawai, mata saya menangkap sebuah poster aksi solidaritas yang tersebar di postingan akun @aksikamisansurabaya. “Seruan Aksi Solidaritas” “Darurat Kekerasan Aparat” seruannya jelas, lantang, menusuk ke ulu hati. Di sisi lain, kabar tentang konsolidasi antar BEM mahasiswa yang diinisiasi BEM Nusantara yang akan dilaksanakan di kampus UINSA juga beredar mereka masih sibuk merapikan barisan, merancang strategi, dan membahas isu yang akan dibawa.

Namun saya sudah tak sanggup menunggu. Amarah sudah meluap-luap, terlalu deras untuk dibendung oleh rapat-rapat panjang. Apa artinya konsolidasi jika nyawa rakyat terus melayang? Apa artinya strategi jika luka di jalanan kian menganga? Saya merasa darah ini  berdesir sendiri memanggil: jalananlah medan yang harus kupijak, bukan ruang diskusi yang terlalu lama padahal masalah sudah nyata didepan mata.

Tak lama, saya segera menghubungi beberapa kawan yang hatinya terbakar oleh bara yang sama, mereka yang masih menyimpan kebencian mendalam pada aparat yang telah merenggut nyawa rakyat kecil. Kami sepakat, tanpa banyak bicara: hari itu, kaki kami harus menjejak aspal, suara kami harus bergemuruh di udara.

“Info pergerakan?”

“Ayo budal kesuen ngenteni konsol”

Kami datang dengan pakaian serba hitam. Tidak ada yang kami bawa selain keyakinan dan amarah yang membuncah. Tangan kami kosong, tak ada senjata, tak ada barang terlarang. Bahkan beberapa perempuan ikut bergabung, wajah mereka tegar meski kami tahu risiko di depan. Setibanya di depan Gedung Grahadi tempat yang menjadi titik aksi, kami segera mendorong barisan perempuan ke belakang, berharap mereka lebih aman.

Namun situasi di lapangan sudah terlanjur membara. Masa terlibat saling lempar batu dengan aparat, suara kaca pecah berpadu dengan teriakan yang membahana. Beberapa fasilitas dirusak, kamera CCTV dijatuhkan, agar pergerakan tak sepenuhnya terekam. Semua berlangsung cepat, liar, dan penuh ketegangan.

Sayangnya, aparat tak mencoba meredakan suasana. Tanpa peringatan, water canon dimuntahkan. Hembusan deras air itu seolah bukan untuk menertibkan, melainkan untuk memukul mundur dengan paksa. Justru cara inilah yang membuat amarah masa semakin tak terkendali.

Di tengah hiruk pikuk itu, saya memilih sesekali merekam, mengabadikan setiap adegan. Ada sesuatu yang menohokku: di hadapan saya, sejumlah demonstran memecah batu besar menjadi kepingan kecil, lalu kerikil itu dilemparkan ke arah aparat. Bagi orang luar, itu mungkin terlihat brutal. Tapi bagi saya, ada nurani yang masih hidup di sana. Mereka tidak membakar gedung, tidak menjarah toko, tidak menyalakan api besar sebagaimana digambarkan media akhir akhir ini. Mereka hanya melepaskan amarahnya dalam bentuk paling spontan katarsis masa yang lahir dari luka dan kekecewaan sebuah emosi yang hadir kedalam alam bawah sadar manusia.

Saya  melihatnya sebagai ekspresi paling jujur: sebuah demonstrasi organik, tanpa sponsor, tanpa komando tersembunyi. Hanya orang-orang biasa yang marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Namun di layar televisi, di headline media, narasi yang muncul justru sebaliknya: “massa anarkis”, “perusakan fasilitas”, “kerusuhan di mana-mana”. Mereka tak pernah menuliskan bahwa di balik batu-batu yang dilempar, ada air mata. Bahwa di balik teriakan-teriakan itu, ada hati yang terluka.

Di antara kerumunan poster dan spanduk, saya merasakan satu hal yang lebih kuat daripada rasa takut: keberanian yang lahir dari luka bersama. Kami tahu, setiap langkah yang kami ayunkan adalah tantangan bagi kekuasaan yang tuli. Tapi kami juga tahu, jika kami diam, sejarah hanya akan mencatat kami sebagai saksi bisu atas ketidakadilan. Dan itu, bagi saya, jauh lebih menakutkan daripada pentungan aparat sekalipun. Kata kata GIE pun, mengembalikan semangad itu, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”

ANOMALI NINJA

Di tengah riuhnya demonstrasi yang kian menegang, tiba-tiba muncul sekelompok orang dengan pakaian serba tertutup seperti ninja. Wajah mereka tak terlihat, tubuh mereka dilapisi jaket driver ojek online mirip dengan masa demonstrasi, membuat kami bertanya-tanya: siapa mereka sebenarnya? Salah satunya mengangkat batu segede gaban, seolah ingin melemparkan tanpa gentar. Aku terpaku sejenak, lalu bergumam dalam hati “hah, Seberani itukah?”

Insting bekerja mendorong saya mundur. Benar saja, setelah lemparan batu itu melayang, mereka juga membakar fasilitas, Asap mengepul, dan seketika aparat merespons dengan brutal. Gas air mata ditembakkan tanpa henti, perih menusuk mata, napas terasa sesak, masker tak lagi mampu menahan. Massa berhamburan, ada yang mengoles odol di wajahnya, ada yang terkapar dan ditolong oleh kawan-kawan lain. Namun semangat mereka tak patah.

Massa yang tersisa bertahan dengan cara sederhana melempari batu kerikil dan tongkat seadanya, bertahan atas serangan aparat maupun intel berkaus biasa yang menyelinap di antara barisan. Ada solidaritas di sana: setiap kali seorang tumbang oleh gas air mata, yang lain segera mengangkat, membopong, dan menyelamatkan.

KontraS mencatat, lebih dari 200 tembakan gas air mata dilepaskan pada demonstrasi tanggal 28 Agustus 2025 itu di surabaya. Angka yang mengerikan, tapi tak mengherankan, sebab aparat menyerang secara brutal dan tidak memilih dengan cara yang lebih damai untuk meredam masa.

Sementara itu, jauh di kota-kota besar, api kian meluas. Halte-halte terbakar, rumah pejabat dijarah, dan gedung-gedung DPRD dilalap api. Di Makassar, Tempo melaporkan tiga orang meninggal dalam aksi. Di Jawa Timur, Gedung Grahadi salah satu bangunan bersejarah hangus terbakar. Narasi bermuncunlan, orang orang mulai menebak sebab pola nya sama dan terbaca, mereka melihat api itu muncul justru berasal dari ulah oknum intel yang menyamar sebagai masa, berpakaian bak ninja yang saya lihat hari itu. Ditambah aksi pembakaran yang hanya dilakukan di malam hari, akses cctv yang dimatikan bahkan fitur live tiktok yang sudah tidak bisa kita akses lagi.

Sebagian besar menyimpulkan satu hal: rakyat hanyalah pion yang dijebak dalam permainan kuasa. Masa dibenturkan dengan masa, opini dipelintir, wajah aparat dijaga di depan kamera, sementara strategi lama kembali dimainkan persis seperti tahun 1998, ketika luka bangsa lahir dari manipulasi yang sama.

Pulang

Mari bertanya: apakah semua ini organik atau fabrikasi? Jika organik, mengapa polanya sama? Jika fabrikasi, untuk apa?

Ah, sudahlah. Mari pulang dulu. Rokokmu masih separuh, ceritakan pada bapakmu sembari menyeruput kopi buatan ibu. Sebarkan pada tetanggamu: perjuangan belum usai. Ingat, warga jaga warga. Jangan termakan narasi buzzer yang mengadu domba. Musuh kita adalah pejabat yang berkuasa.

Perjuangan masih panjang. Siapkan strategi baru, agar bangsa ini punya harapan.

Dan untuk para intel yang membaca ini, anggap saja ini fiksi, cerita dari negeri Konoha. Sebuah katarsis seorang demonstran yang muak pada pejabat dan aparat.

Karena peradaban takkan pernah mati, walau diancam, dibakar, atau dicaci. Ia akan berputar abadi, kebal luka bakar dan tusukan.

Ah iya aku teringat penggalan lirik lagu dari Feast

Karena peradaban takkan pernah mati

Walau diledakkan, diancam ‘tuk diobati

Karena peradaban berputar abadi

Kebal luka bakar, tusuk, atau caci maki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *