Penulis: Nayaka Inabimanthra Wiwudha
Editor: Moh. Faiqul Waffa
Pertanyaan pada mulanya merupakan salah satu cara memperoleh pengetahuan melalui yang ditanya. Di antara berbagai pertanyaan yang ada, terdapat sekumpulan kalimat klasik yang selalu dilontarkan dalam kalimat interogatif. Tanda tanya dibalik topik pernikahan, karir, dan cucu sering digunakan salah satunya ketika berkumpul bersama keluarga saat Idul Fitri. Hal serupa juga terjadi pada jurusan filsafat dan semacamnya, seperti “Habis lulus mau kerja apa?” dan “Jurusan apa itu, gak jelas!”.
Sayangnya jawaban yang diberikan tidak kalah klasik. Para warga dunianya seringkali menggunakan argumen ketidaksesuaian profil jurusan dengan nasib di masa depan ataupun fleksibilitas dalam memilih pekerjaan. Lebih hebatnya lagi, ketika ranah teologis dibawa dengan elegan seperti argumen bahwasannya Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan pemilik takdir absolut tanpa celah. Padahal, mustahil pula seseorang dokter yang akan melakukan operasi sunat, membius pasiennya dengan dongeng Achilles dan kura-kura Zeno atau ajaran Stoikisme.
Pernyataan sentimen tersebut sebenarnya tidak tepat apabila diarahkan pada filsafat saja. Tentunya dalam proses operasi medis, anastesi merupakan bidang yang diperlukan dan jangan menyalahkan disfungsi arsitektur ketika membius pasien. Filsafat juga memiliki perannya sendiri dalam dunia ini berikut implikasinya. Namun, pada kenyataannya sebagian pegiat filsafat maupun pihak eksternal memandang filsafat terlalu teoritis dan berfokus pada pembahasan tokoh. Perspektif ini tidak terlepas dari tindakan internal pelestari filsafat dan sistem pembelajaran filsafat itu sendiri, khususnya pada jurusan Aqidah dan Filsafat Islam di UINSA.
Terjebak dalam Romantisme Masa Lalu
Klaim filsafat yang melangit disebabkan pegiat filsafat itu sendiri yang – kalau meminjam isitilah Mohammed Arkoun (Arkoun, 1996) – termakan romantisme masa lalu. Kajian seputar filsafat difokuskan hanya untuk membedah pemikiran tokoh secara historis meliputi latar belakang hingga warisannya pada filsuf berikutnya. Sebagian yang lain tidak mengikuti pola itu, melainkan mengkotak-kotakkan filsafat dalam pembagian tertentu dan sibuk mendebatkan percabangan itu. Padahal, pembagian filsafat menjadi beberapa bagian tidak lebih dari kebutuhan klasifikasi untuk memudahkan pemahaman.
Sebenarnya tidak ada masalah dalam mengkaji filsafat secara historis ataupun tipologis. Justru metode pembelajaran filsafat melalui sejarah dapat membuka wawasan filsafat yang semula terbatas pada teori yang dibangun oleh berbagai tokoh, menjadi memahami latar belakang berikut implikasinya terhadap filsuf setelahnya. Pembagian filsafat berdasarkan objek kajiannya sama baiknya dengan pembelajaran filsafat melalui kacamata sejarah. Tipologi tersebut memudahkan pembelajaran filsafat berdasarkan ranahnya, baik epistemologi, ontologi ataupun aksiologi.
Problematika baru mulai muncul ketika proses diskusi filosofis terhenti pada konteks pemikiran filsuf secara mendetail dan pengelompokannya saja. Nilai-nilai dan semangat para filsuf tidak dapat diserap dan diterapkan dalam konteks diskusi itu terlaksana. Urgensi kontekstualisasi pemikiran merupakan masalah serius yang seharusnya dihadapi oleh para pemikir. Jika dilihat lebih lanjut, pembahasan filsafat dalam konteks tersebut ‘terhenti’ bukan ‘berhenti’. Artinya, terdapat faktor yang memaksa para pelajar terhenti, yaitu peletakan mata kuliah yang tidak tersusun dengan baik. Baik yang dikehendaki adalah tidak sedap untuk diikuti dan loncatan pemikiran antarsemester.
Mata Kuliah Formalitas
Susunan mata kuliah yang ada dirasa hanya untuk memenuhi tugas akhir yang dipuja bak Tuhan. Bagaimana tidak, hermeneutika, metode penelitian dan publikasi ilmiah merupakan mata kuliah yang diletakkan dari semester empat hingga enam. Padahal, semenjak semester awal, para mahasiswa dididik untuk menyelesaikan tugas pembuatan jurnal yang ala kadarnya. Sekadarnya yang dikehendaki adalah membuat tulisan ilmiah (yang diharapkan terbit di jurnal-jurnal yang TERAKREDITASI SINTA) tanpa mempelajari teknik kepenulisan ilmiah, metodologinya, dan sejenisnya. Konsekuensinya mahasiswa yang relatif baru tersebut terkejut dan berusaha mati-matian mempelajari terhadap sesuatu yang belum dipelajari secara khusus, ibarat anak kelas satu sekolah dasar yang diperintahkan untuk menulis paragraf argumentatif yang seharusnya diajarkan beberapa tahun kemudian.
Argumen munafik yang umumnya dilontarkan adalah pembelajaran otodidak dalam penulisan ilmiah. Ketololan yang hakiki bersinar terang dan sempurna dalam pendapat tersebut. Dengan mengamini pendapat tersebut, sesungguhnya kampus tidak lebih dari tempat formalitas di mana orang-orang berlomba-lomba mendapatkan ijazah bagaimanapun caranya. Tidak ada gunanya eksistensi pelajaran tersebut bila nantinya dituntut untuk memahami terlebih dahulu sebelum semester mata kuliah tersebut disampaikan. Dunia akademik perguruan tinggi tidak serta merta dapat dilihat semengerikan itu dengan mudahnya, meninggalkan kesan positif yang ada.
Tampak dengan jelas urgensi mendahulukan logika, critical thinking, dan hermeneutika sebelum beberapa mata kuliah lain. Apabila dirasa terlalu berat penyesuaian merupakan alternatif atas susunan mata kuliah tools of philosophy (ilmu sebagai alat dalam mempelajari filsafat). Saran ini setidaknya lebih logis dibandingkan meletakkan filsafat Islam mendahului filsafat barat klasik. Umumnya, mahasiswa semester dua akan bengong mendengar istilah emanasi Al-Kindi yang terinspirasi dari Plotinus yang dikaji nantinya di semester tiga.
Dengan memahami dasar-dasar alat yang dapat digunakan untuk membedah filsafat, kontekstualisasi dapat muncul dan eksis dalam kajian setiap pemikiran tokoh ataupun cabang-cabang filsafat. Filsafat akhirnya tidak dipahami menjadi embrio ilmu yang telah usang dan mati, melainkan dapat terus memproduksi ide-ide filosofis yang menjawab tantangan zaman. Filsafat terapan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri.
Filsafat diharapkan dapat berdikari, terlepas dari fosilisasi pemikiran dan tidak lagi menjadi momok yang teoritis mutlak. Kita dapat berbangga diri menyebut nama al-Ghazali dan Kant. Akan tetapi, sikap tersebut tidak akan mengubah kenyataan bahwa sebagian besar dari kita hanya menonton filsafat, bukan menghidupinya. Bangkitlah dari tidur kalian, wahai pembaca pergolakan zaman!
