Kancah Idealisme Masyarakat Ilmiah
Penulis: Nafa' Kamaliyah
Editor: Akmelia Rabbani
Di ruang sunyi, penuh dengan litani,
Kutulis sebuah diksi-
Indah, namun tak bercahaya
Ia terlalu tersembunyi,
Terlalu banyak enigma yang tersimpan.
Ia ada, namun tak semua mampu mengenalnya.
Ia diam, tapi cahaya sterus mencari jejaknya
Dan ia sepi, tapi mampu menyinari sekitarnya.
Pada lembaran kosong diatas canvas,
Ia hadir dengan segenap asa.
Datang tanpa suara, lalu menjelma dalam aksara,
Menorehkan gurat yang abadi dan rahasia.
Ia bagai cahaya di gulita malam,
Meski tak menyadari sinarnya sendiri.
Ia terlalu sibuk menyinari semesta,
hingga lupa bahwa ia pun layak bercahaya.
Diantara bisik angkasa yang sunyi dan megah,
Ia terbang mencari cahaya di cakrawala jauh tak tergapai.
Menggapai mimpi setinggi angan,
Bentala menyimpan sunyi yang sakral,
Dan ia percaya: ia mampu menempuhnya.
Menimbang antara tumbang atau tetap berpijak,
Dengan teguh, ia tak goyah meski digerus badai.
Walau bebatuan melukai tiap langkah,
Ia tetap tenang menari ditengah bara,
Sebab bisik direlung jiwa berkata: ia bisa melewatinya.
Kututup aksara yang sarat litani itu,
Di antara jeda dan titik.
Pada tiap paragraf yang kutulis tentang asa,
Tentang baris yang ku paksakan dalam diam,
Sebab jika setiap koma adalah ragu,
maka setiap titik adalah harapan yang siap menyudahi lara
Namun dalam benih matanya yang jarang tertangkap,
Tersimpan samudra luka yang nyaris tenggelam.
Ada badai yang tak sempat menguap,
Ia mengenggam riuh dalam sunyi yang tak bersuara,
Menjadi bumantara untuk ribuan mentari
Yang tak sempat ia peluk.
Saat itu dunia menjelma asing dan hening,
Ia tetap melangkah, meski arah kabur dari pandang.
Langkahnya lirih, cahayanya mulai redup,
Namun ia terus mencari ruang yang disentuh terang,
Ia seperti seberkas rasa yang enggan padam-
Dan semesta tahu: ia adalah cahaya itu sendiri.
Terkadang ia bertanya dalam hati,
Akankah semua ini akan usai?
Adakah ruang untuk diam yang tak harus dimengerti?
Adakah satu tempat yang menampung cahaya yang tak ingin dikenal?
Namun membuatku merasa cukup dan mengerti arti kata pulang?
Ia tak perlu sorak atau riuh tepuk tangan,
Ia tak butuh tuk menjadi spotlight utama.
Cukup satu peluk dari bumantala yang mampu menenangkannya,
Yang mengerti arti diamnya.
Sebab ia bukan ingin menjadi terang yang disembah,
Melainkan cahaya cahaya kecil yang tak padam-
Meski tak terpandang.