Penulis: M. Hadziq Hafidzuddin

Editor: Akmelia Rabbani

Tragedi robohnya Pondok Pesantren Al-Khozini merupakan pukulan telak bagi masyarakat luas, khususnya di dunia pesantren. Peristiwa ini tentu menyisakan luka yang mendalam. Pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi para santri justru menjadi penyebab hilangnya nyawa. Dalam pernyataan pengasuh Ponpes Al-Khozini, kejadian ini disebut sebagai bagian dari takdir. Pernyataan tersebut menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sejauh mana musibah harus diterima sebagai takdir? Dan sejauh mana manusia harus mempertanggungjawabkan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa?

Pada titik inilah, kita perlu menelaah tragedi Al-Khozini sebagai refleksi hubungan antara takdir dan tanggung jawab atas keselamatan manusia.

Menyandarkan musibah pada takdir merupakan sikap yang wajar bagi masyarakat religius. Dalam tradisi keagamaan, takdir adalah bagian dari iman yang harus diterima dengan lapang dada. Keyakinan ini dapat menjadi penguat bagi keluarga korban dan meminimalisasi potensi konflik, baik internal maupun eksternal. Dengan keyakinan tersebut, masyarakat diajak untuk menerima kejadian dengan hati yang lapang dan tidak saling menyalahkan. Dalam batas tertentu, sikap ini berfungsi sebagai penenang dalam menghadapi suatu peristiwa yang merugikan.

Namun di sisi lain, melihat tragedi Ponpes Al-Khozini secara berlebihan hanya sebagai “takdir” dapat menutup ruang evaluasi terhadap faktor kelalaian. Pihak pesantren seharusnya lebih memperhatikan rancangan konstruksi agar layak dan aman dihuni. Mengingat bangunan pendidikan yang ditempati ratusan santri, tentu wajib memenuhi standar keamanan konstruksi. Kasus serupa pernah terjadi di sebuah pesantren di Pamekasan. Meskipun tidak menimbulkan korban jiwa, bangunan yang sudah tua dan diguyur hujan deras menyebabkan sebagian bangunannya roboh. Peristiwa tersebut seharusnya menjadi pelajaran penting bagi khalayak umum, terutama kalangan pesantren.

Menganggap musibah semata-mata sebagai takdir bisa berakibat fatal karena berpotensi menormalisasi tragedi yang seharusnya bisa dicegah. Dalam perspektif hak asasi manusia, keselamatan adalah hak dasar yang wajib dipenuhi. Pihak pesantren memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin keselamatan para santri yang berada di bawah asuhannya. Dalam kacamata internasional, fatalisme atau sikap pasrah mutlak terhadap takdir dipandang sebagai paham yang problematis. Orang yang fanatik terhadap takdir cenderung menghindari evaluasi, padahal dari setiap bencana selalu ada sistem yang perlu diperbaiki.

Meski terlihat bertentangan, pandangan pihak pesantren yang menyebut tragedi ini sebagai takdir dan pandangan masyarakat yang menuntut pertanggungjawaban sebenarnya tidak harus dipertentangkan. Kedua pandangan tersebut justru bisa berjalan beriringan. Iman terhadap takdir bukanlah alasan untuk melalaikan tanggung jawab menjaga keselamatan santri. Begitu pula sebaliknya, menuntut tanggung jawab pihak pesantren bukan berarti meniadakan keyakinan terhadap takdir. Dalam ajaran agama, manusia diperintahkan untuk berikhtiar dan berusaha menjaga keselamatan, baru kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan.

Dalam konteks ini, tragedi Al-Khozini yang menelan korban jiwa dapat dijadikan pelajaran kolektif, terutama bagi lembaga pendidikan untuk memastikan keamanan dan kelayakan bangunannya. Negara pun perlu ikut andil dalam mengawal pembangunan lembaga pendidikan dengan memperketat regulasi dan pengawasan terhadap pembangunan asrama. Masyarakat sekitar juga perlu berani bersuara untuk menuntut hak atas keselamatan. Jika setiap individu dan institusi menjalankan tanggung jawabnya menjaga hak keselamatan, dan hasil akhirnya diserahkan kepada Yang Maha Kuasa, maka keyakinan religius terhadap takdir akan tetap terhormat, sementara tanggung jawab sosial tetap ditegakkan.

Bagi penulis, tragedi Al-Khozini bukanlah peristiwa untuk saling menyalahkan. Mengatakan peristiwa ini sebagai takdir adalah hal yang wajar, namun tetap harus disertai evaluasi yang rasional dan empiris. Pihak pesantren tetap harus bertanggung jawab terhadap keluarga korban yang kehilangan sanak saudaranya. Di sisi lain, masyarakat juga tidak sepatutnya menghakimi pihak pesantren yang menyebut peristiwa ini sebagai takdir, karena mereka pun sedang berduka dan berusaha menguatkan diri serta keluarga korban.

Kita dapat mengambil pelajaran berharga dari tragedi ini beserta segala dinamika antara pihak pesantren dan masyarakat yang memiliki pandangan berbeda. Iman terhadap takdir tidak boleh menjadi alasan untuk menghindari evaluasi dan tanggung jawab sosial, moral, maupun hukum. Dengan menggabungkan keteguhan iman dan akal sehat dalam menjaga keselamatan, kejadian serupa di masa mendatang dapat dicegah.

Penutup, setiap musibah adalah cermin bagi manusia: apakah kita hanya pasrah, atau belajar memperbaiki diri. Ketika iman bertemu dengan akal yang sehat, maka takdir bukanlah akhir, melainkan awal dari perubahan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *