Penulis: Hengki Fernando
Editor: Moh. Faiqul Waffa
Ketika kampus memilih diam, apakah mahasiswa benar-benar merasa nyaman? Di permukaan, mungkin serupa kedamaian tak ada keributan, tak ada gesekan. Namun di balik keheningan itu, ada ruang-ruang kritis yang mulai kehilangan suara. Seharusnya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Sunan Ampel (UINSA) menjadi medan pemikiran yang penuh gairah: wadah lahirnya argumen teologis-politik, laboratorium diskursus intelektual, dan ruang inovasi moral keagamaan. Nyatanya? Birokrasi masih kaku, pendidikan makin terasa komersial, fasilitas terbatas dan yang paling menggelisahkan: suara mahasiswa semakin meredup. Maka dalam tulisan ini saya mengambil judul sekaligus mempertanyakan kegelisahan saya, sebenarnya kampus yang diam atau mahasiswa yang terlalu nyaman?
Idealnya seorang mahasiswa progresif adalah mereka yang tidak hanya mementingkan IP (Indeks Prestasi) dan wisuda cepat, tetapi juga terlibat dalam pergulatan sosial-keilmuan, menuntut keadilan, dan berani bersuara. Sayangnya, di FUF UINSA, banyak mahasiswa tampak lebih fokus pada pencapaian akademik personal dalam mencapai IP 4.00, lulus cepat, masuk publikasi ilmiah, dan seterusnya. daripada mempertanyakan arah kebijakan fakultas atau kampusnya sendiri. Pergeseran paradigma ini bukan tanpa konsekuensi: ruang organisasi seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) FUF seharusnya menjadi cara mereka menyalurkan kritik dan aspirasi, tapi justru terkesan menjadi sekadar formalitas struktural.
DEMA mestinya menjadi garda depan ketika ada isu-isu nasional dan kampus: merespon isu isu nasional, menagih transparansi anggaran, menyoal kebijakan kurikulum, mengangkat problem kemahasiswaan, dan menjadi kekuatan advokatif. Tapi, seberapa sering DEMA FUF berbicara keras saat ada persoalan nyata mahasiswa? Dari pengamatan sejauh mata memandang, telinga mendengar dan tentunya bisik bisik tetangga (mahasiswa). seakan DEMA lebih sibuk dengan rutinitas internal dan event-event resmi yang itupun juga perlu dipertanyakan. bagaimana mungkin, sekelas DEMA Fakultas & Ushuluddin mengadakan event lomba Fashion Show? Esensinya dimana? Alih alih mengadakan ruang intelektual yang kini mulai mengalami degradasi, yang mungkin ini menjadi alasan ketidaaan kegiatan intelektual yang sepi peminat, seharusnya yang dilakukakan DEMA bukan meniadakan tapi memperbarui dan melakukan bukan malah mengadakan event yang tidak memiliki esensi dan korelasi dengan standar keilmuan fakultas. Maka Ketiadaan ruang intelektual dan gerak kritis ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah DEMA FUF UINSA sudah menjadi bagian dari birokrasi, bukan representasi mahasiswa?
Keheningan yang nyaman, tapi mematikan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA tampak rajin mengekspos prestasi: Publish Jurnal, yudisium, mobilitas mahasiswa internasional, dan lomba mahasiswa internasional termasuk lomba INISCOM yang diadakan oleh Fakultas sendiri. Ini penting dan harus diapresiasi, tapi jangan sampai prestasi menjadi topeng atas memudarnya aktivisme. Ketika semua sorotan diarahkan pada event kompetitif dan seminar glamor, tinggal sedikit ruang untuk kritik sistemik misalnya protes atas kebijakan fakultas yang tidak pro-mahasiswa atau perdebatan seputar komersialisasi pendidikan tinggi.
Keheningan yang menyelimuti kampus bukan sekadar suasana sunyi. Ia adalah tanda bahaya yang sering datang diam-diam. Ketika tidak ada satu pun suara yang menginterogasi situasi, kita berisiko menerima segala sesuatu apa adanya, seolah memang begitulah dunia akademik bekerja. Padahal, sejarah selalu membuktikan: perubahan tidak pernah lahir dari kampus yang nyaman melainkan dari kampus yang berani bertanya.
Bahaya pertama dari keheningan ini adalah lumpuhnya kesadaran kolektif. Mahasiswa perlahan terbiasa hidup tanpa mekanisme kritik. Mereka tidak lagi mencari tahu, tidak lagi merasa perlu memahami apa yang terjadi di sekelilingnya. Ketika sebuah fakultas kehilangan sensitivitasnya, ia kehilangan semangat intelektual yang seharusnya menjadi pondasi utama mahasiswa: kepekaan terhadap ketidakadilan, keberanian melawan ketimpangan, dan keteguhan membaca realitas.
Yang kedua, keheningan membuat masalah-masalah struktural mengendap tanpa penyelesaian. Isu mahasiswa hilang, ketidakjelasan keamanan kampus, hingga kebijakan yang tidak pro-mahasiswa dapat lewat begitu saja tanpa pernah tersentuh. Kampus akan menganggap semuanya baik-baik saja karena tidak ada yang menegur, sementara mahasiswa secara perlahan belajar bahwa lebih mudah diam daripada mempertanyakan.
Bahaya ketiga adalah normalisasi ketidakpedulian. Ketika mahasiswa tidak bersuara, organisasi mahasiswa tidak bersuara, dan fakultas pun tidak menggubris, kita sedang membangun generasi yang terbiasa menelan semua kebijakan kampus tanpa refleksi. Lama-lama, diam menjadi kebiasaan. Kebiasaan menjadi budaya. Dan budaya menjadi norma baru yang menyesatkan.
Di titik itulah keheningan menjadi jauh lebih berbahaya daripada kegaduhan.
Kegaduhan memaksa kita mencari solusi. Keheningan membuat kita lupa bahwa masalah itu ada.
Kampus yang sunyi bukanlah kampus yang damai, justru kampus yang kehilangan denyut intelektualnya. Di ruang seperti itu, mahasiswa bisa lulus dengan predikat cumlaude, tetapi gagal memahami dunianya sendiri.
Dan ketika keheningan ini dibiarkan, kita sedang mengubur watak kritis mahasiswa yang dulu menjadi kebanggaan FUF. Tidak ada yang lebih tragis dari fakultas filsafat yang kehilangan keberanian untuk berpikir kritis, dan mahasiswa Ushuluddin yang berhenti mencari kebenaran.
REFLEKSI UNTUK MENYALAKAN KEMBALI NALAR
Pada titik ini, kita perlu berhenti sejenak dan menatap cermin yang selama ini kita hindari.
Keheningan yang tumbuh di FUF bukan sekadar suasana, tetapi tanda bahwa sesuatu dalam diri kita sedang padam. Ruang yang dulu hidup oleh diskusi dan silang argumen kini lebih sering diisi rutinitas yang mekanis. Kita hadir secara fisik, tetapi tidak benar-benar hadir sebagai mahasiswa.
Paulo Freire pernah menulis, “Diamnya yang tertindas adalah kemenangan sang penindas.”
Dan entah bagaimana, kalimat itu kini terasa terlalu dekat dengan keadaan kita.
Keheningan bukan hanya absennya suara dia adalah absennya kesadaran.
Ketika kita berhenti bertanya, berhenti menggugat, berhenti mempersoalkan hal-hal yang seharusnya diperiksa, saat itulah kampus kehilangan denyut intelektualnya.
Di tengah kasus kemunduran demokrasi, ketidakjelasan informasi, kebijakan yang tidak transparan, atau berbagai masalah yang menimpa masyrakat dan mahasiswa lainnya, FUF seperti berjalan tanpa suara penuntut. Tidak ada tekanan, tidak ada desakan, tidak ada keberanian kolektif untuk mengatakan bahwa sesuatu sedang tidak beres. Padahal, bukankah fakultas ini rumah bagi nalar kritis?
Keheningan semacam ini berbahaya karena ia pelan-pelan menormalisasi ketidakpedulian.
Mulanya kita hanya diam. Lalu diam menjadi kebiasaan. Lalu kebiasaan menjadi budaya.
Dan tiba-tiba, kita menjadi generasi yang tidak lagi merasa perlu bersuara.
Inilah saatnya menyalakan kembali nalar yang sempat meredup.
Tidak perlu menunggu momentum besar, tidak perlu menunggu orang lain memulai.
Cukup dengan keberanian sederhana: mengajukan pertanyaan. Mengkritik bila perlu.
Menolak menjadi mahasiswa yang sekadar lewat.
Freire mengingatkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Maka mahasiswa yang kehilangan keberanian untuk bersuara sesungguhnya sedang kehilangan sebagian dari dirinya. Dan kampus yang membiarkan ini terjadi sedang kehilangan salah satu fungsi utamanya: melahirkan manusia yang berpikir.
Menyalakan kembali nalar berarti memulihkan kembali FUF sebagai ruang kritik, bukan hanya ruang acara. Menghidupkan kembali DEMA sebagai penjaga aspirasi, bukan penjaga poster dan seremonial. Menghidupkan kembali mahasiswa sebagai subjek, bukan peserta yang pasrah. Karena jika kita tetap diam, siapa yang akan merawat suara kita?
Terakhir dari saya sebagai penulis, bahwa tulisan ini adalah bahan refleksi bersama, agar kita tidak menjadi mahasiswa yang apatis dan nyaman dengan kekuasaan sedang disekitar kita banyak ketidakadilan. Tidak ada maksud dan kepentingan tertentu dari penulis, semua keresahan ini hanya untuk kebaikan bersama, maka jika ada yang tersinggung perlu dipertanyakan ulang sejauh mana anda nyaman?.
Sekian wassalam
