Beberapa hari sebelum pengenalan budaya akademik dan kemahasiswaan (PBAK) tahun ajaran 2018-2019 Uin Sunan Ampel Surabaya (UINSA), ada kasak-kusuk di kalangan mahasiswa dan ada semacamam analisis kecil-kecilan di antara mereka bahwa PBAK kali ini akan tidak meriah dan terkesan monoton dengan alasan minimnya ruang yang diberikan oleh pemangku kebijakan universitas terhadap mahasiswa dalam mengonsep acara ini dengan sebutan bahwa PBAK 2018 adalah gawe Universitas..
Saat itu penulis meng-amini saja apa isi dari kasak-kusuk itu, lagi pula penulis anggap itu cukup masuk akal juga. Namun saat penulis mengikuti kondisi dan situasi PBAK Universitas dari hari pertama hingga selesainya acara, penulis kira acara PBAK kali ini tidaklah monoton, justru bagi penulis, PBAK kali ini meriah dan ada warna disana, jadi penulis katakan kalau PBAK akan tidak meriah dan monoton hanyalah mitos.
Warna pertama PBAK penulis lihat saat sekelompok mahasiswa melakukan aksi senyap penggembokan gedung Twin Tower dari pintu utama bagian timur dan bagian barat. Di atas gembok itu tertera tulisan yang berbunyi “PBAK hanya milik rektorat”. Melihat dari tulisan yang tertera itu, kita bisa menebak bahwa aksi ini berangkat dari kekecewaan mahasiswa atas regulasi yang berlaku dalam PBAK kali ini yang seperti penulis sebutkan di atas, minimnya ruang yang di berikan pemangku kebijakan Universitas terhadap mahasiswa sehingga mereka mengatakan bahwa PBAK kali ini haya milik rektorat.
Warna kedua adalah aksi menolak UKT (uang kuliah tunggal) mahal yang di lakukan oleh mahasiswa, lebih banyak mahasiswa baru, yang pada hari terakhir melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Twin Tower. Aksi menolak UKT mahal ini penulis terjemahkan sebagai mengharap UKT murah atau terjangkau bagi perekonomian keluarga mereka.
Untuk bagian aksi yang kedua ini penulis sangat mengapresiasi dan sebagai sesama mahasiswa, sangat mendukung. Mengingat nominal UKT mahasiswa baru UINSA, terutama angkatan 2018, menurut penulis sangat tidak masuk akal karena sangat mahal, dan menurut berita yang beredar di kalangan mahasiswa, bahwa UKT Uinsa tertinggi di Indonesia dibandingkan PTKIN (pendidikan tinggi keagamaan islam negeri) yang lain.
penulis paham, universitas itu adalah lembaga pendidikan, sebagai lembaga pendidikan dia bernaung dibawah Negara, dan seharusnya dia menjalankan tugas Negara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mengingat Indonesia adalah Negara hukum maka selain mengajukan dalil ke-manusiaan untuk menolak adanya UKT mahal ini, penulis juga perlu mengajukan dalil undang-undang yang berlaku terutama tentang pendidikan tinggi ini.
Sebagai sesama mahasiswa, tentunya penulis sangat mengharapkan UKT ini haruslah diturunkan, kalau memang kampus tidak mau menurunkan UKT ini, maka setidaknya buatlah UKT ini terjangkau bagi perekonomian mereka, karena bagi penulis, saat UKT ini di buat mahal, maka penulis khawatir akan banyak kemudian mahasiswa yang berhenti kuliah atau putus di tengah jalan karena ke-tidak mampuan mereka untuk melanjutkannya di karenakan mahalnya biaya. Di samping itu, penulis sudah meyakini dari dulu kalau kampus itu adalah lembaga pendidikan, seperti penulis sebutkan di atas bahwa ia menjalankan tugas negara dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertera dalam pembukaan UUD 1945, penulis khawatir kalau UKT ini tetap mahal, maka tebakan penulis akan banyak mahasiswa UINSA terutama angkatan 2018 dan seterusnya, yang kuliah sambil bekerja, dan fokus mereka akan terbelah antara pendidikan dan pekerjaan, dan penulis yakin mereka lebih fokus pada pekerjaannya disamping pendidikannya untuk sambil berharap semoga bisa melanjutkan pendidikannya di semester berikutnya atau kalau gagal, harus rela berhenti kuliah.
Di samping itu penulis kemudian membuka kembali undang-undang yang berlaku perihal pendidikan tinggi ini, dan penulis kemudian menemukan dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 3 Pendidikan Tinggi berasaskan: a. kebenaran ilmiah; b. penalaran; c. kejujuran; d. keadilan; e. manfaat; f. kebajikan; g. tanggung jawab; h. kebhinnekaan; dan i. keterjangkauan.
Penulis memberikan perhatian pada bagian keterjangkauan, penulis berpendapat bahwa bagian keterjangkauan ini adalah keterjangkauan ekonomi, penulis tidak paham bagaimana logika hukumnya, hanya saja bagi penulis keterjangkauan disini titik beratnya adalah keterjangkauan ekonomi, hal ini kemudian yang membuat penulis sangat mendukung atas aksi yang dilakukan pada pada hari terakhir PBAK uinsa tersebut, disamping alasan kemanusiaan sebagai sesama mahasiswa. (Baharuddin)