Penulis: Moh. Faiqul Waffa

Editor: Lailatul Arifah

Amri Zerfanda, namaku yang tertulis di pintu kos tempat aku tinggal. Aku membuka pintu perlahan dan melempar tas ke sudut kamar, membiarkannya tergeletak begitu saja. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Aku terlalu lelah untuk peduli. Kuliah sejak pagi, lalu langsung bekerja hingga larut malam, membuat tubuhku serasa dihancurkan perlahan-lahan.

Kesunyian malam bercampur dengan bisingnya kipas yang berputar malas, menemaniku di tengah tumpukan tugas yang belum tersentuh. Cahaya layar laptop masih menyala, tapi huruf-huruf di dokumen terasa menari di depan mataku yang berat. Aku mengusap wajah, mencoba menahan kantuk, tapi setiap kali kepalaku hampir jatuh ke meja, ada sesuatu yang membuatku tersadar-entah itu suara samar dari sudut ruangan atau sekadar perasaan bahwa aku sedang diawasi.

Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Hanya bayangan lemari yang memanjang di bawah sorotan lampu redup.

Aku menghela napas. Mungkin hanya lelah.

Di tengah kantukku, aroma lavender menyelusup perlahan, menjerat kesadaranku dan menyeretku ke dalam dunia mimpi yang samar. Aku tidak ingat kapan tepatnya aku terlelap, hanya tahu bahwa saat ayam berkokok, aku terbangun dengan kepala berat. Aku membuka mata perlahan, menatap kipas yang berputar dengan pandangan kosong. Tangan kananku mati rasa, dingin seperti sudah lama tidak dialiri darah. Jari-jarinya terasa kaku, seolah ada yang menggenggamnya erat semalaman.

Rasa bersalah menyelusup di antara sisa kantuk dan kesadaran yang masih tercecer. Aku mengumpulkan kepingan nyawa yang terasa lepas, mencoba memahami mengapa pagi ini terasa lebih berat dari biasanya.

Seketika ingatanku tersentak – “aku belum salat!” Aku terlonjak dari tempat tidur, tubuhku bergerak sendiri. Seperti pelari yang berpacu dengan waktu, aku bergegas mengambil wudhu dan mengganti salat Subuh yang terlewat.

Setelah salat, aku menadahkan tangan, berharap keajaiban terjadi, tugas-tugasku selesai tanpa kusentuh. Tapi saat membuka mata, layar laptop masih menyala, tab tugas masih berderet tanpa berkurang satu pun. “Yah… bullshit,” gumamku pelan, menertawakan kebodohanku sendiri. Sempat atau tidak, nyatanya tugasku tetap tak tersentuh.

Angka di pojok layar laptop terus berubah – 05.40. Waktu berlari ke depan, tapi kantuk menyeretku ke belakang. Aku menghela napas panjang, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Meja penuh dengan gelas kopi kosong, buku-buku bertumpuk tanpa aturan, dan kipas yang berdecit malas. Kamar kos ini tak pernah benar-benar rapi, seolah mencerminkan hidupku sendiri – berantakan, tapi tetap berjalan. Aku menguap, merebahkan diri ke kasur. Aroma samar lavender menguar di udara. Aku mengernyit.  Sejak kapan aku punya pengharum ruangan?

“Ah, persetan dengan aroma,” gerutuku, menepis kantuk yang masih tersisa. Aku harus bangun, harus pergi ke kampus.

Kampusku terletak di tengah kota, sekitar satu kilometer dari kosan. Jarak yang tidak jauh, tapi cukup untuk membuatku enggan berjalan kaki setiap pagi. Angkutan umum adalah andalanku, teman sejawat yang selalu setia membawaku ke kampus, entah dengan nyaman atau penuh sesak

CityBus namanya, tapi aku lebih suka menyebutnya Tayo, karena warnanya biru cerah seperti bus dalam kartun. Bus ini memiliki sekitar 30 kursi, dengan pegangan berbentuk segitiga yang menggantung bagi mereka yang tak kebagian tempat duduk. Aku jarang beruntung mendapat kursi, karena rute kosanku berada di tengah jalur kota-saat bus sudah hampir penuh oleh penumpang dari halte sebelumnya.”

Di sinilah bagian paling membosankan. Karena ramainya penumpang, aku seperti terhimpit tembok besar. Udara di dalam terasa pengap, bercampur dengan aroma parfum yang bercampur keringat. Pemandangan indah di luar sana tertutup oleh punggung-punggung orang yang bermuka serius, seolah mereka membawa beban dunia di bahunya. Aku menghela napas dan menyerah, memilih menatap layar HP yang setidaknya masih memberiku ruang bernapas.

Perjalanan tak lama, hanya beberapa video selesai kutonton, dan aku sudah sampai di tempat pemberhentianku, kampus. Tapi, turun dari bus ini bukan perkara mudah. Seperti biasa, aku harus adu ketangkasan dengan penumpang lain, menyelinap di antara tubuh-tubuh yang masih enggan bergeser. “Ahaha, aku sudah terbiasa dengan ini, bukan?” gumamku sambil menahan tawa kecil, berusaha keluar tanpa terinjak atau menginjak orang lain.

“Sepuluh ribu, Pak,” ucap kernet bus itu sambil mengulurkan tangan.

Aku terdiam sejenak. Ini bukan pertama kalinya aku dipanggil “bapak” olehnya, tapi tetap saja rasanya ada yang menusuk di hati. Aku menatapnya sekilas, berharap ada kekeliruan, mungkin sekadar salah sebut? Tapi tidak. Wajahnya santai, seolah ini memang panggilan yang pantas untukku.

Aku menghela napas, mengeluarkan uang tanpa protes. Sedikit geli, tapi lebih banyak enggan menerima kenyataan bahwa mungkin, wajahku memang lebih dewasa dari yang aku kira.”

Sesampainya di kampus, aku harus berjalan sekitar dua ratus meter menuju gedung fakultasku, sebuah bangunan di pojok kampus yang dikelilingi pepohonan besar. Pepohonan itu menjulang tinggi, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalan setapak. Udara pagi masih terasa sejuk, bercampur dengan aroma tanah yang sedikit lembap.

Setahun di sini membuatku terbiasa dengan suasana ini, gemerisik daun yang tertiup angin, suara burung sesekali bersahutan, dan langkah-langkah mahasiswa yang terburu-buru. Tapi tetap saja, setiap pagi perjalanan ini terasa seperti ritual kecil sebelum menghadapi hari yang entah akan melelahkan atau menyenangkan

Hari Kamis, hari di mana aku harus bertahan dengan enam SKS berturut-turut. “Semangat, semangat! You can do it!” gumamku, mencoba membakar semangat diri sendiri, meski dalam hati sudah terasa berat.

Setibanya di gedung, aku langsung menuju lantai tiga. Lift? Sudah lama mati di sini. Tangga adalah satu-satunya pilihan, meski sering terasa seperti ujian fisik sebelum ujian akademik. Setiap anak tangga dihiasi kata-kata motivasi dalam bahasa asing, entah Spanyol, Prancis, atau mungkin Jerman. Aku tak pernah benar-benar paham artinya, hanya tahu kalau maksudnya pasti sesuatu yang inspiratif. ‘Mungkin nanti aku harus menerjemahkannya,’ pikirku, sebelum akhirnya menyerah dan terus melangkah dengan napas mulai berat.

Temanku tak banyak, tapi di sepanjang lorong lantai tiga, setidaknya ada tujuh orang yang menyapa. Sebagian hanya sekadar anggukan, ada yang melambaikan tangan, dan satu-dua orang menyebut namaku dengan suara setengah berteriak. Aku membalas seadanya-senyum kecil, anggukan, atau sekadar mengangkat tangan seperti selebriti dadakan. “Ya beginilah orang terkenal,” batinku, menertawakan diri sendiri.

Tapi lucunya, di balik semua sapaan itu, aku tetap merasa sendirian. Bukan karena aku benar-benar sendiri, tapi karena aku tahu, tidak semua interaksi berarti pertemanan yang sesungguhnya.

Aku bukan kutu buku, tapi aku suka sendiri. Meski begitu, entah kenapa banyak yang ingin mendekat dan mengajak berteman. Bagiku, semua orang adalah teman, tapi teman yang sebenarnya adalah diriku sendiri.

Salam dan sapa, diskusi kecil hingga perdebatan adalah makanan sehari-hariku di kampus. Kadang aku terlibat dalam percakapan panjang, kadang hanya mendengarkan dari jauh. Tapi satu hal yang selalu hadir adalah psikologi-bahasan utama setiap harinya, karena itulah jurusan yang kuambil sejak setahun lalu.

Ironisnya, semakin banyak aku belajar tentang manusia, semakin aku sadar bahwa memahami diri sendiri adalah hal yang paling sulit.

Waktu cepat sekali berlalu. Jendela yang terbuka, memancarkan sinar matahari yang perlahan ditelan bumi. Langit mulai berwarna jingga, menandakan enam SKS yang melelahkan hampir selesai. Tas yang tadi penuh dengan buku kini terasa lebih ringan, tapi pikiranku sudah beralih ke hal lain-jam kerjaku hampir dimulai.

Setiap hari Kamis, pukul lima sore menandai akhir dari enam SKS yang melelahkan. Dua jam setelahnya, pukul tujuh malam, adalah giliran pekerjaan menanti. Tempat kerjaku tidak jauh dari kosan, hanya sekitar satu kilometer, bisa kutempuh dalam sepuluh menit berjalan kaki. Beruntung, aku punya Edgar, sahabat dari fakultas sebelah. Dia seusiaku,19 tahun dengan postur 167 cm dan tubuh yang tegap. Dia selalu memberiku tumpangan, membuat perjalanan terasa lebih cepat. Di antara obrolan ringan dan lelucon yang hanya kami mengerti, aku merasa beruntung punya sahabat seperti Edgar.

Edgar adalah kutu buku. Aku pernah dipinjami novel berjudul Veil darinya, tentang seorang gadis cantik berkerudung yang dibuang dari kerajaan karena dianggap bodoh dan lemot. Setiap kali mengingatnya, aku sering bercanda dalam hati: seandainya dia ada di dunia nyata, mungkin aku akan mengadopsi dan menikahinya. Mungkin karena aku selalu merasa punya banyak hal untuk diajarkan, dan gadis itu akan jadi murid yang sempurna bagiku.

“Amri, jangan tidur! Kau ini kebiasaan tidur di motor,” teriak Edgar, membangunkanku.

“Heh, diamlah, kawan. Aku sedang menikmati khayalanku,” jawabku bercanda.

“Kau masih memikirkan novel yang waktu itu?” tanya Edgar.

“Aku memang tak pernah melihatnya, tapi ‘dia’ terdengar sangat cantik, bukan?” sahutku, tersenyum salting.

“Sepertinya kau sudah lelah, ahahaha,” balas Edgar, terkekeh.

Sepanjang perjalanan, kami terus membahas gadis dalam novel itu. Novel tersebut memang laris di pasaran, meski banyak orang enggan membacanya karena bergenre horor. Tapi bagiku, “selama ‘dia’ cantik, masih bisa lah,” bisikku dalam hati, tersenyum kecil.

“Sunyi malam terasa seperti taman surga saat aku membayangkan wajah gadis itu. Dalam lamunanku, satu kilometer terasa begitu dekat.

“Amri! Sadar, kita sudah sampai!” seru Edgar, membuyarkan lamunanku.

Aku menepuk pundaknya pelan, lalu mengangguk sebagai tanda terima kasih. Begitulah aku dan Edgar, seakrab itu.

Ini dia tempat kerjaku, angin berembus pelan, menyelinap ke pori-pori wajahku, seolah membawa pertanda suram yang menyambut kedatanganku.

Bangunan tua tempatku bekerja adalah cabang keenam dari sepuluh cabang di kota ini, bagian dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang editing dan desain logo.

Ruangan pertama yang terlihat dari depan adalah tempat para pelanggan memesan jasa. Sementara itu, para karyawan masuk melalui pintu belakang. Dari bibir pintu, terlihat deretan loker tempat menyimpan barang-barang pribadi. Aku segera menuju lokerku.

Di sana, sebuah tulisan mencolok tertempel: Amri, Kang Tidur. Aku terkekeh kecil. “Lucu sekali. Setidaknya aku sudah mendapat gelar setelah dua semester bekerja di sini,'” gumamku sambil membuka loker.

Sebelum sampai ke ruang tempatku bekerja, aku harus melewati lorong pendek yang seolah menjadi jembatan menuju dunia lain. Lampu di langit-langit berkedip lemah, seperti nyawa yang tertahan di ujung tanduk, seakan besok ia akan padam karena kelelahan.

Kegembiraan yang tadi terasa bagai surga seketika lenyap, berganti dengan kesunyian yang pekat, seperti tenggelam di rawa gelap yang mencekam. Mungkin karena perasaanku yang kurang suka terhadap pekerjaan ini.

Hampir tak kusadari semerbak aroma lavender menyelimuti ruangan, lembut namun menusuk, seolah bukan berasal dari sini. “Aroma darimana ini?” bisikku pelan, merasakan bulu kudukku meremang tanpa alasan

Aroma semakin pekat, lembut namun mendominasi. Biasanya menenangkan, tapi kali ini terasa ganjil. Aku pernah membaca bahwa aroma bisa membangkitkan kenangan, tapi ini aneh, aku tak punya ingatan tentang lavender.

Seketika, pikiranku melayang pada novel itu. Dalam salah satu bab, Veilora, gadis yang dibuang dari kerajaannya, mengenang wewangian lavender sebagai sesuatu yang menyesakkan. Dulu, para bangsawan perempuan di kerajaannya memakai aroma ini, tetapi baginya, itu adalah bau pengkhianatan dan pembuangan.

Aku bimbang. Ada kegembiraan aneh menyelip di antara ketegangan, apakah aku akan bertemu sosok yang selama ini kuimpikan? Ataukah justru dia hadir untuk menghantuiku?

Gemetar, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rasanya ada sesuatu yang mengawasi. Pandanganku akhirnya tertuju pada jam dinding dengan kaca bening yang memantulkan bayanganku sendiri. Jarum panjangnya menunjuk angka sepuluh. Sudah berjam-jam aku di ruangan ini tanpa kusadari.

Namun, ada sesuatu yang ganjil. Mataku mengernyit, menajamkan pandangan ke dalam pantulan itu.

Rambut panjang terurai… dengan selendang ungu yang melayang lembut di atasnya.

Aku mencoba mengalihkan perhatian ke layar monitor. Jari-jariku bergerak di atas keyboard, mengetik seperlunya. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin. Namun, entah kenapa, setiap huruf yang kuketik terasa semakin berat…

Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan-pelan, tanpa sepatu. “Itu dia, tak mungkin yang lain,” bisikku nyaris tanpa suara.

Mataku tetap tertuju pada monitor, mencoba mengabaikan rasa takut yang menjalar di tengkuk.

Lalu, sebuah sentuhan di pundakku. Seketika bulu kudukku berdiri.

Dengan napas tertahan, aku memberanikan diri menoleh.

“Amri! Kenapa melamun?” suara keras itu memecah ketegangan.

Bosku.

Aku menghela napas lega. “Untung saja bukan Veilora,” gumamku pelan.

“Cepat selesaikan, sebentar lagi kita pulang,” perintah bosku.

“Siap, Pak,” jawabku, sambil menutup satu per satu tab yang masih terbuka di layar.

Rasa lelah sudah cukup membebani hari ini. Seluruh komputer dan lampu telah kumatikan, menyisakan ruangan dalam kesunyian. Aku adalah satu-satunya karyawan yang belum pulang.

Aku bergegas menuju loker, mengambil tasku dengan gerakan cepat, seolah ada sesuatu yang mengejarku dari belakang. Entah mengapa, perasaan tidak nyaman kembali menyelimutiku. Lorong sempit yang kulalui kini terasa lebih panjang dari biasanya.

Begitu keluar dari pintu belakang, udara malam yang dingin menyambut. Jalanan tampak sepi, hanya suara langkah kakiku yang terdengar menggema. Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, aroma lavender yang samar masih tercium, semakin pekat, seolah mengikuti di setiap langkahku.

Aku mempercepat langkah, hampir berlari, seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana.

Sepanjang perjalanan, aku berharap ada seseorang yang bisa menemaniku pulang. Walau hanya sepuluh menit berjalan kaki, rasanya terlalu jauh saat sendirian.

Langkahku terasa berat, bukan karena lelah, tapi karena perasaan ganjil yang sejak tadi tak mau pergi. Jalanan sepi, hanya suara gesekan sepatu dengan aspal yang terdengar. Aroma lavender yang samar tadi masih menyelinap di udara, semakin menempel dalam ingatanku.

Aku mencoba mengalihkan pikiran, memikirkan Edgar yang biasanya menjemputku. Tapi malam ini, dia tak ada. Aku merogoh ponsel di saku, mengirim pesan padanya, namun dia tak kunjung membalas.

Hanya ada aku, jalanan yang lengang, dan bayangan yang terasa lebih panjang di bawah lampu jalan yang redup. Aku mempercepat langkah, berharap tiba di kosan lebih cepat. Namun, di tengah sunyi itu, terdengar suara langkah lain-lirih, seakan mengikuti dari belakang.

“Amri, tunggu.”

Suara perempuan itu terdengar lembut, tapi asing di telingaku. Sepertinya aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.

Aku menoleh cepat, tanpa sempat berpikir.

Rasa lelah yang tadi membebaniku seketika lenyap begitu saja saat mataku menangkap parasnya. Wajahnya begitu menawan, begitu familiar, namun di saat yang sama, terasa asing.

Jantungku berdetak lebih cepat. Siapa dia? Dan bagaimana dia tahu namaku?

Dia tertawa kecil melihat ekspresi bingungku. “Jangan terlalu serius, aku hanya ingin menemanimu pulang.” Ucapnya dengan anggun.

Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Tapi… kita pernah bertemu sebelumnya?”

Dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Langkahnya ringan saat berjalan di sampingku, seolah-olah angin malam tak menyentuhnya sama sekali.

“Apa kau sering melewati jalan ini?” tanyaku, mencoba mengusir keheningan yang mulai terasa aneh.

“Sekali dua kali,” jawabnya santai. “Tapi aku tahu banyak tentangmu, Amri.”

Aku menghentikan langkah, menatapnya. “Dari mana kau tahu namaku?”

Dia berhenti juga, menoleh dengan mata kecilnya yang menyita perhatianku. tatapannya sangat dalam, seperti menyimpan sesuatu yang belum siap ia ungkapkan. “Aku hanya tahu,” katanya dengan suara lembut, lalu kembali melangkah.

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti.

Di bawah lampu jalan yang temaram, aku mulai merasa bahwa perjalanan sepuluh menit ini akan menjadi lebih panjang dari biasanya.

Langkah kami seirama, namun pikiranku tak bisa mengimbangi kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Aku melirik ke arahnya, memperhatikan wajahnya yang diterangi lampu jalan. Ada sesuatu yang membuatnya berbeda, bukan hanya cantik, tapi juga… tak biasa.

“Apa aku mengganggumu?” tanyanya, suaranya lembut, nyaris berbisik.

“Tidak, sama sekali tidak,” jawabku cepat, hampir gugup. “Aku hanya… merasa aneh. Aku yakin kita belum pernah bertemu, tapi entah kenapa rasanya aku mengenalmu.”

Dia tersenyum tipis, senyum yang mengundang tanya lebih dari jawaban. “Mungkin kita memang pernah bertemu, hanya saja kau lupa.”

Aku mengernyit. “Di mana?”

Dia tak menjawab. Hanya melangkah pelan, membiarkan keheningan menggantung di antara kami.

Semilir angin membawa aroma lavender yang samar. Aku menghirupnya dalam-dalam. Ada sesuatu tentang wangi ini… sesuatu yang membuat dadaku sesak dengan perasaan yang tak kumengerti.

“Namamu siapa?” tanyaku akhirnya, mencoba mengisi ruang kosong yang mulai terasa berat.

Dia berhenti sejenak, lalu menoleh dengan mata yang tak bisa kubaca. “Veilora.”

Jantungku berdegup kencang. Itu nama yang selama ini hanya kukenal dari lembaran buku.

Aku menelan ludah. “Itu… hanya kebetulan, kan?” tanyaku, setengah berharap dia tertawa dan berkata iya.

Tapi dia hanya tersenyum. “Mungkin.”

Perjalanan sepuluh menit yang biasanya terasa terlalu jauh kini terasa terlalu cepat. Kami sudah tiba di depan kosanku. Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi lidahku kelu.

“Terima kasih sudah menemaniku pulang,” ucapku, meski entah kenapa aku merasa justru akulah yang ditemani.

Dia mengangguk pelan. “Sampai jumpa lagi, Amri.”

Aku menatapnya, seolah memastikan dia nyata.

Lalu aku masuk ke kosan.

Saat aku menoleh kembali ke luar… dia sudah tak ada.

Aku masuk ke kamar dengan langkah yang masih ragu. Pikiran ini terus dipenuhi oleh sosoknya, Veilora. Aku mencoba mengabaikan keganjilan yang menyertainya, tapi semakin aku berusaha melupakan, semakin dalam bayangnya menancap di kepalaku.

Duduk di tepi tempat tidur, aku membuka ponsel dan mencari novel Veil. Sudah lama aku menamatkannya, tapi malam ini aku merasa harus membaca ulang, seakan ada sesuatu yang terlewat.

Lembar demi lembar aku buka, jari-jariku bergerak cepat menyusuri kata-kata. Hingga akhirnya, aku sampai pada bagian yang membuatku tercengang

Veilora, gadis yang dibuang dari kerajaan, berjalan sendirian di bawah cahaya bulan.

Rambutnya terurai, selendang ungu menutupi kepalanya, dan wangi lavender samar-samar mengikutinya ke mana pun dia pergi.

Aku tertegun.

“Selendang ungu. Aroma lavender.” Bisikku nyaris tak terdengar.

Aku buru-buru menutup novel itu, jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.

“Tidak mungkin…” bisikku sendiri.

Tapi aku tak bisa menyangkal. Semuanya terlalu cocok untuk hanya disebut kebetulan.

Aku mencoba berpikir logis, mungkin dia hanya seseorang yang kebetulan mirip, atau mungkin aku terlalu terobsesi dengan novel itu sehingga otakku mulai mempermainkanku. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya, dalam cara dia menyebut namanya, yang terasa begitu nyata… dan sekaligus tak nyata.

Malam itu, aku tidur dengan gelisah.

Dan di dalam mimpiku, aku melihatnya lagi.

Dia berdiri di tengah kabut, memandangku dengan mata yang tak terdefinisikan.

“Amri…”

Suaranya terdengar samar, seperti angin yang berbisik.

Aku mencoba melangkah mendekat, tapi setiap kali aku bergerak, dia semakin jauh.

“Lihatlah…” katanya pelan.

Aku mengernyit. “Apa?”

Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah sesuatu di belakangku.

Aku menoleh. Dan terbangun dengan napas memburu.

Aku menelan ludah, mencoba memahami pertanyaannya. Apakah aku ingin dia nyata?

Seharusnya, aku mundur. Seharusnya, aku takut. Tapi nyatanya, aku justru semakin mendekat.

Veilora tetap tersenyum, senyum yang misterius namun menenangkan. “Kau selalu mencariku, bukan?”

Aku mengangguk pelan.

“Aku sudah lama ada di sini, Amri. Kau yang akhirnya menemukanku.”

Jantungku berdegup lebih kencang. Aku ingin bertanya banyak hal, tapi bibirku kelu. Wangi lavender semakin pekat, membuat kepalaku sedikit pening.

“Kau berasal dari novel itu, kan?” tanyaku akhirnya.

Veilora mengangkat alis. “Novel?”

Aku mengeluarkan ponsel dan mengetikkan “Veil”, judul novel yang Edgar pinjamkan padaku. Tapi tidak ada hasil pencarian. Aku membuka aplikasi bacaan digital, mencari di rak buku elektronikku.

Kosong.

Tak ada buku berjudul Veil. Tak ada cerita tentang seorang gadis yang dibuang dari kerajaan.

Aku mundur selangkah. “Ini… ini lelucon, kan?”

Veilora hanya tersenyum. Cahaya lampu jalan berpendar aneh, dan seketika, udara di sekeliling kami menjadi lebih dingin.

“Kau menciptakanku, Amri.”

Aku menggeleng. “Tidak mungkin. Aku tidak menulis apapun.”

Dia tertawa pelan. “Tapi kau mengingatku, membayangkanku, merindukanku.” Dia melangkah maju, dan tiba-tiba aku merasa tubuhku semakin berat, seolah ada sesuatu yang menarikku ke arahnya.

“Kau memberiku kehidupan…Amri.”

Mataku melebar. Aku mencoba mundur, tapi tubuhku membeku. Wangi lavender semakin kuat, menusuk sampai ke paru-paru.

Aku terdiam saat Veilora melangkah mendekat. Mata gadis itu begitu dalam, seolah ada lautan kelam di dalamnya, namun ada kehangatan yang entah mengapa membuatku enggan berpaling. Aroma lavender semakin pekat, menyelimuti kami dalam keintiman yang tak biasa.

“Kau menggigil,” bisik veilora, tangannya terulur perlahan.

Tangannya melingkari tubuhku, detak jantungku terasa berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Dalam kebimbangan antara rasa takut dan ketertarikan, aku membiarkan tubuhku terserap dalam dekapannya.

Pelukan itu sehangat rumah. Lembut, nyaris membuatku lupa akan segala keresahan. Pelukan itu semakin erat. Terlalu erat.

“Veilora…” Aku berusaha bersuara, tapi suara yang keluar begitu lemah.

Tiba-tiba, rasa sakit menyeruak dari dalam tubuhku. Dingin menggantikan kehangatan. Perlahan, kekuatanku terkuras, dan kesadaranku mulai mengabur.

Lalu, dalam hitungan detik, semuanya gelap.

Aku terbangun di tempat yang asing. Langit kelam dengan bulan besar menggantung rendah. Udara dingin menusuk tulang.

Aku mencoba bergerak, tapi tubuhku terasa berbeda. Pakaian yang kukenakan… baju lusuh dan selendang ungu menutupi kepalaku.

Aku merasakan wajahku sendiri, dan saat melihat pantulan di danau yang tenang di dekatku, aku tercekat.

Aku bukan lagi Amri.

Aku adalah Veilora.

Dan di kejauhan, di dunia tempatku berasal, seorang pemuda yang kukenal berdiri di bawah lampu jalan dengan senyum misterius.

Dia mengenakan jaketku. Dia memegang ponselku.

Dia… adalah aku.