Penulis: Erliana
Editor: Sabitha Ayu Nuryani
Namun, penemuan vaksin yang seharusnya menjadi kabar baik bagi seluruh umat manusia di bumi, justru menimbulkan ketidakpercayaan dalam pikiran beberapa orang. Entah dari mana rumor tak sedap tentang vaksin ini mulai merebak. Namun, satu yang nampak jelas adalah orang-orang telanjur tertanam stigma negatif tentang vaksin, seperti yang terjadi di Indonesia. Jika melansir pernyataan Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta yang dikutip dari health.detik.com, pada intinya ia mengatakan bahwa timbulnya stigma negatif pada masyarakat tersebut adalah akibat pertanyaan-pertanyaan dari keraguan mereka terkait keampuhan vaksin dalam mencegah terpaparnya virus dalam tubuh yang belum mendapat penjelasan dari pemerintah. Sehingga, hal tersebut memunculkan spekulasi yang rawan sekali melahirkan berita hoaks. Dalam hal ini pun, Sukamta mengimbau agar pemerintah mampu memaksimalkan penggunaan media digital untuk mengedukasi masyarakat. Mengingat pula dalam keadaan saat ini, masyarakat sudah semakin banyak yang melek teknologi. Jadi, kehatian-kehatian juga diimbaukan oleh Sukamta kepada masyarakat agar menelaah dengan baik antara berita yang memang benar sumbernya dengan berita yang hanya sebatas isu.
Adapun faktor lain yang menyebabkan masyarakat enggan menerima kehadiran vaksin, selain karena kurangnya edukasi terhadap informasi yang menyebar luas ke masyarakat, juga disebabkan oleh testimoni dari beberapa orang yang telah divaksin tetapi tiada hasil. Jika sudah demikian, persoalannya bukan lagi apakah masyarakat paham atau tidak tentang vaksin, tetapi percaya atau tidak dengan upaya pemerintah untuk menyehatkan kembali warganya melalui vaksin tersebut. Sampai di sini dirasa jelas, bahwa terdapat dua sudut pandang yang berbeda arah antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan masyarakat awam sebagai pelaku kebijakan. Kesalahpahaman yang terjadi mengakibatkan masyarakat menilai buruk penguasanya dan semakin menampakkan bahwa pemerintah sendiri masih tak mampu menundukkan skeptisisme masyarakat terhadap otoritas mereka.
Struktur seperti ini, jika terus ditanamkan akan menimbulkan beragam intrik dan dramatik yang akan berkiprah ria di atas panggung sandiwara. Masyarakat awam yang tak tahu menahu pun harus turut mencicipi kepelikan politik dari oknum-oknum yang dirasa ingin nyentrik. Huru-hara tentang mana yang benar dan mana yang salah, mana yang pro dan mana yang kontra, semuanya akan semakin riuh. Sebagai kelompok yang tidak menyentuh kelas atas seperti pemerintah dan kaum borjuis, jangan sampai kita menjauhkan diri dari upaya untuk mencapai derajat tertinggi eksistensi manusia seperti yang dikatakan Iqbal. Sebab, dari sini tampaknya mulai terlihat relevan pandangan Iqbal tersebut, bahwa dalam upaya manusia mencapai hakikat eksistensi/kebebasan tertinggi/kesempurnaan ego, manusia harus melewati tiga tahapan.
Pertama, tahap ketaatan, di mana manusia harus menerima dan menjalani segala ketentuan dan hukum-hukum ilahiah yang telah diyakininya secara absolut sebagai bentuk pengabdian. Kedua, tahap kontrol diri, di mana manusia mulai skeptis terhadap dirinya sebagai subjek yang mengada di dunia dengan mencoba kemungkinan-kemungkinan ego baru sesuai tujuannya dan mengontrol dirinya melalui rasa cinta kepada Tuhan. Ketiga, tahap wakil Tuhan, tahapan ini merupakan puncak dari eksistensi manusia atau kesempurnaan ego, yang mana di tahap ini manusia telah menyerap sifat-sifat Tuhan, sehingga segala tindakannya mencerminkan kemauan Tuhan. Tahapan ini juga dikenal dengan tahap sempurnanya spiritual atau insan kamil (Alim Roswantoro, 2008.: 127-137).
Pada insiden yang menjadi hiruk pikuk manusia di masa pandemi ini, bisa saja sangat rawan memunculkan manusia-manusia pembangkang seperti pada tahapan pertama. Terlebih lagi tentang prahara vaksin yang membuat masyarakat menjadi apatis terhadap aturan-aturan yang seharusnya ditaati. Skeptis mereka yang tak berujung pada perenungan dan jawaban nantinya dapat membutakan mereka kepada kebenaran yang tidak semestinya. Kepercayaan palsu yang telanjur dianggap benar juga dapat menjerumuskan mereka pada sikap seenaknya sendiri yang berakibat pada turunnya kualitas moral mereka. Harusnya, manusia dalam keadaan yang dirasa masih samar seperti ini, tetap melibatkan diri dalam aktivitas normalnya dan menanamkan pola pikir sehat, agar terlepas dari perkara-perkara yang jauh dari intervensinya itu. Menurut Iqbal sendiri, menjadi manusia autentik berarti harus berani menanggung segala konsekuensi yang telah dibuat, baik oleh kesadaran dirinya sendiri maupun diri manusia lainnya. Sebab, khudi atau ego manusia sejatinya mengungkapkan dirinya sebagai kesatuan dari keadaan-keadaan mental yang tidak mengekang satu sama lain, tetapi justru melibatkan diri yang satu dengan yang lainnya (M. Iqbal, 2016: 118-119). Dengan begitu, kita yang tidak tahu menahu terkait benar atau tidaknya berita yang beredar cukup diam dan tetap memberlangsungkan diri bereksistensi dengan segala kebijakan yang berlaku, serta selalu melibatkan Tuhan sebagai acuan cita-cita manusia untuk mencapai esensi eksistensinya.
Adapun dari ujaran Iqbal sebelumnya, apabila setiap orang mau menyadari, memaknai, menghayati, dan menjalankan dengan baik dan benar dari apa yang sedang terjadi di akhir tahun 2019 lalu hingga kini, tentu mengandung banyak sekali hal yang dapat dijadikan pembelajaran hidup untuk mencapai kesempurnaan ego. Dari huru-hara dan pesta panggung sandiwara yang semakin memasuki klimaksnya, sangat mengerdilkan hak bebas manusia sebagai individu yang hidup dalam pilihan. Meskipun nantinya manusia harus bertanggung jawab sendiri atas kebebasan apa yang telah dipilihnya, tidak menutup kemungkinan juga bahwa manusia akan berada pada titik jenuh, yang mana membuat eksistensi mereka hilang tak berarah. Kekhawatiran akan munculnya kembali manusia-manusia pembangkang yang tidak taat pada aturan juga hukum-hukum ilahiah, terlihat semakin nyata apabila manusia tidak dapat menjalani hidup dalam tahapan kedua, yaitu kontrol diri. Tahapan yang seharusnya tidak lagi berkutat pada kemauan akan kesadaran diri dalam menaati aturan Tuhan, menjadikan manusia harus lebih mengembangkan khudi atau egonya dengan kemauan di bawah alam sadarnya lewat dorongan jiwanya melalui rasa cinta kepada Tuhan. Sebab, cinta yang menggenangi substansi diri manusia akan membuatnya melakukan suatu hal tanpa perintah lagi dan bahkan kemauan diri. Sehingga bagi Iqbal, kemauan akan semakin menemukan maknanya ketika dilandasi oleh ‘isyq atau cinta (Khoirul Anwar, 2015: 12).
Apabila manusia dengan khudi atau egonya mampu melewati perjalanan hidup dengan kontrol diri bersamaan dengan rasa cintanya kepada Tuhan, maka harusnya tidak akan terjadi lontaran celaan antara masyarakat awam dengan pemangku kebijakan, juga tidak akan terlihat pemandangan masyarakat yang tak mengindahkan protokol kesehatan yang ditetapkan. Sehingga, hal ini dapat meminimalisasi penularan yang terjadi. Meskipun di tahapan kedua ini terbilang sulit, jika manusia mampu melewatinya, nyaris selangkah lagi manusia mencapai kesempurnaan egonya. Jika mengutip ungkapan dari Sartre yang menyatakan bahwa kita dihukum untuk bertindak bebas, maka pernyataan ini dapat terbantahkan dengan filsafat Iqbal pada tahapan ketiga, yaitu wakil Tuhan.
Semula, manusia hidup dengan memilih kebebasannya sendiri serta keberanian diri dalam mengambil keputusan, dan kemudian mempertanggungjawabkannya. Bagi Iqbal, hal itu selaras dengan ungkapan Sartre bahwa sebenarnya manusia yang berkehendak bebas itu telah hidup bersama dengan hukumannya. Oleh sebab itu, manusia harus mampu menaklukan kemauan dirinya dalam memilih dan mencoba kemungkinan-kemungkinan baru dalam kebebasannya dengan mengalihkannya terhadap kemauan Tuhan semata. Adapun untuk menempuhnya, jalan ini dapat ditempuh melalui dua tahap sebelumnya. Kenaikan derajat ego manusia yang semakin mendekat kepada esensi eksistensi manusia membuat manusia harus benar-benar taat pada aturan Tuhan dan membersamai rasa cinta kepada Tuhan dalam segala pilihan hidupnya. Sehingga, yang terjadi nantinya hanyalah kemauan Tuhan yang dapat dirasakan manusia melalui intuisinya.
Pemikiran Iqbal ini begitu relevan dengan insiden dan prahara-prahara dalam kasus Covid-19 saat ini. Melalui filsafat eksistensialisme Iqbal, kita hendaknya menjadi kelompok moderat saja. Dalam arti, tidak perlu intervensi terhadap apa pun keadaan yang terjadi, yang di luar wewenang dan tanggung jawab kita. Tugas kita hanya taat pada aturan dan hukum Tuhan yang berlaku, juga mengontrol diri terhadap berbagai pilihan hidup kita dengan rasa cinta pada Tuhan, yang mana dapat diwujudkan melalui kepatuhan kita terhadap peraturan pemerintah dan kepasrahan kepada apa yang dikehendaki Tuhan saat ini. Terkait kebenaran wabah pandemi yang terlihat masih samar, cukup diambil sisi positif dan dijadikan pelajaran hidup yang lebih bermakna, sekaligus menambah kualitas diri kita dalam eksistensinya.
Bahkan, nasib baik yang dirasa tidak memihak kepada kita. Juga rasa cemas, takut, dan gelisah yang masih menyelimuti kita terhadap ganasnya virus tersebut apabila sampai menyerang diri. Belum lagi testimoni dari para pro vaksin yang berujung pada tervonisnya mereka terserang penyakit Covid-19. Hendaklah semuanya itu tidak lagi tertanam dalam paradigma kita tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Biarlah itu semua kita serahkan kembali kepada Tuhan sebagai pemilik segala-galanya. Mengondisikan diri dengan menanamkan pikiran positif, hati yang rileks, dan jiwa yang tenang dirasa sangat perlu dalam situasi seperti ini. Sebab, jika merujuk pada pemikiran Rene Descartes tentang hubungan jiwa dan tubuh, betapa pentingnya mengikuti kehendak jiwa agar hidup senantiasa bahagia. Seandainya tubuh menolak kehendak jiwa, hasilnya akan menimbulkan konflik-konflik dari kecil hingga besar, yang secara biologis terjadi pada kelenjar pineal manusia. Apabila kelenjar pineal terganggu, risikonya akan menyebabkan seseorang menjadi depresi. Adapun depresi yang berkepanjangan dapat menjadikan manusia mudah terserang penyakit akibat turunnya kualitas imun tubuh.
Maka dari itu, menghindarkan diri dari prasangka tidak baik terkait kasus-kasus Covid-19 sangatlah penting, agar hidup senantiasa bahagia dan terhindar dari penyakit. Lantas, sebagai masyarakat awam, lebih baik bersikap netral dan menjalankan kehidupan sebagaimana adanya saja, serta selalu bersyukur dan menyerahkan segalanya pada Tuhan. Cukuplah bercermin pada realitas Tuhan yang selalu mengasihi setiap makhluk-Nya. Melalui hal ini, manusia telah mendapatkan vaksin hakiki yang terpenuhi secara fisik dan psikis sebagai modal hidup di masa pandemi agar terus bereksistensi. Seperti yang dikatakan oleh Iqbal, puncak dari konsep kebebasan manusia mengarah pada eksistensi diri tertinggi sebagai niyabati ilahi atau khalifah Allah di bumi. Sehingga Iqbal menyebut bahwa hakikat manusia yang ideal adalah mereka yang bisa menjadi khalifah atau wakil Tuhan di bumi (M. Iqbal, 1976: 72). Dengan demikian, kiat-kiat manusia mencapai kesempurnaan ego atau insan kamil telah berada pada titiknya.