Penulis: Erliana

Editor: Sabitha Ayu Nuryani

 

Sumber: google.com.

Sejak bertamunya wabah baru yang telah menjadi pandemi global dari akhir tahun 2019 lalu, manusia hidup diliputi oleh rasa cemas, takut, dan gelisah yang berkepanjangan. Eksistensi dirinya sebagai manusia pun turut dipertanyakan. Cara manusia mengada dan memberlangsungkan hidupnya di dunia, juga sebagai diri sendiri yang keluar dari dirinya (Harun Hadiwijono, 1980: 148), terlihat sangat serius menjadi sorotan seantero bumi tatkala datangnya wabah tersebut.

Wabah yang digadang-gadang berasal dari Wuhan, Cina itu bernama Corona Virus Disease (Covid-19) yang keberadaannya diasumsikan berasal dari hewan, kemudian menular ke manusia melalui produk-produk makanan, lalu menularkan ke sesama manusia salah satunya melalui droplet atau percikan ludah. Akibat ganas dan cepatnya penularan virus tersebut, angka kematian melonjak drastis dari kisaran tahun 2019 hingga 2021 ini.

Meskipun upaya-upaya pencegahan telah banyak dilakukan, bahkan penyelidikan terkait asal mula lahirnya virus tersebut juga terus-menerus diusahakan, virus itu tak mau pergi pulang. Malah mereka semakin betah tinggal, sambil mengajak saudara sevariannya menyerbu manusia di bumi.

Dalam kondisi demikian, tentu posisi manusia sebagai makhluk yang bereksistensi merasa dikejutkan. Pasalnya, beragam aktivitas yang biasa normal dilakukan, di masa pandemi justru dilarang untuk dilakukan demi kesehatan dan kebaikan bersama. Alhasil, di masa awal pandemi saat itu, yang terlihat hanya pemandangan lockdown dengan barisan putih petugas medis yang wira-wiri menangani para pasien Covid-19. Belum lagi meningkatnya jumlah pasien yang berjatuhan tak terselamatkan dari virus tersebut. Sampai mencekamnya suasana pemakaman yang dilakukan sangat ketat oleh petugas medis tanpa perizinan anggota keluarga untuk ikut menghadiri. Ditambah dengan kondisi hubungan sosial dalam masyarakat yang merenggang lantaran aturan untuk tetap menjaga jarak.

Tidak sampai di situ saja keterkejutan yang dialami para manusia bumi. Hal tersebut semakin diperparah dengan kondisi perputaran ekonomi negara yang berjalan tidak teratur. Mulai dari diberhentikannya aktivitas dagang yang mengakibatkan kontak fisik, seperti kegiatan di pasar, supermarket, sentra pariwisata; sampai banyaknya kasus PHK bagi para pekerja buruh. Melalui pemberhentian itu, kondisi negara bertambah buruk akibat semakin banyaknya pengangguran. Salah satu risiko yang terjadi dari perkara itu adalah merajalelanya para pelaku tindakan kriminal yang dilakukan dengan motif untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga. Ditambah lagi harus terpenuhinya kebutuhan pendidikan generasi bangsa dalam mendapatkan haknya, yang mana melalui kebijakan yang diberlakukan, membuat kegiatan para pelajar harus terhenti dan terpaksa belajar mandiri dari rumah dengan ketidakefektifan yang ada.

Fenomena-fenomena tersebut apabila ditinjau dari kacamata filsuf Muslim yang menyinggung terkait eksistensi manusia seperti Muhammad Iqbal, kurang lebihnya akan ditemui cara pandang yang mencerahkan. Muhammad Iqbal sendiri merupakan sosok filsuf Muslim yang lahir pada 9 November 1877 di daerah Sialkot, Punjab, India, yang sekarang beralih menjadi bagian negara di Pakistan. Meskipun Muhammad Iqbal tidak pernah mengklaim dirinya sebagai seorang filsuf, melainkan hanya seorang penyair, tetapi berkat syair-syairnya tersebut banyak kalangan cendekiawan yang kemudian menganggapnya sebagai seorang filsuf karena kualitas pemikirannya. Substansi filsafat Iqbal yang cenderung ke jalur eksistensialisme dinilai tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh eksistensialisme teistik Barat layaknya Søren Aabye Kierkegaard dan Gabriel Marcel. Sehingga, pemikiran-pemikiran Iqbal seputar eksistensi manusia yang diambil dari perspektif agama Islam dapat mencerahkan keburaman dan kesuraman berpikir orang-orang di berbagai belahan negara yang mayoritas Muslim, salah satunya di Indonesia.

Adapun pemikiran Iqbal sebagai sosok filsuf eksistensialisme teistik dari Timur terbilang berbobot. Sebab, pedoman berpikirnya yang kental mengacu pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits membuat hasil pemikirannya tidak melambung jauh layaknya tokoh idealisme Barat ataupun sangat antiteistik layaknya Sartre, Heidegger, dan Nietzche; serta lebih jelasnya lagi pemikirannya tidak keluar dari syariat agama Islam. Terkait pembahasannya terhadap manusia, Iqbal terkenal dengan pemikirannya tentang manusia ideal dan manusia autentik. Iqbal menyebutnya sebagai manusia ideal, karena sifat tersebut melekat pada diri manusia. Dalam hal ini, dirinya mengafirmasi idealisme Plato tentang dualismenya yang mengatakan bahwa manusia merupakan substansi yang terdiri dari jiwa dan raga. Sehingga bagi Iqbal, manusia ideal adalah wujud dari khudi atau ego yang di dalamnya telah terjadi keharmonisan dari dua unsur bertentangan. Dari pemikirannya tentang manusia ideal ini, kemudian dikenal dengan filsafat khudi atau ego yang berarti individualitas, persona, dan keegoan (Ehsan, 2008: 117).

Iqbal mengatakan bahwa manusia dengan egonya membuatnya menjadi makhluk yang bebas. Kebebasannya tersebut menjadikan manusia bertindak kreatif dan unik. Adapun konsep kebebasan yang dibawai Iqbal ini tidak jauh beda dengan konsep kebebasan dari para filsuf eksistensialis Barat. Bedanya hanya terletak pada pengakuan manusia akan adanya pemilik ego mutlak yaitu Khuda atau Tuhan—yang dari sinilah kata khudi sebagai ego terbatas berasal. Iqbal berpandangan, bahwa kebebasan adalah anugerah dari Tuhan (ego mutlak) kepada manusia (ego terbatas). Sehingga, khudi atau ego manusia harus memegang tanggung jawab atas bebasnya pilihan hidup yang dijalaninya. Dari sini, manusia membutuhkan pula kesadaran diri atau dinamakan Iqbal sebagai manusia autentik. Sehingga, penamaan konsep manusia ideal tidak dapat dijauhkan dengan keberadaan manusia sebagai manusia autentik.

Iqbal juga mengatakan bahwa khudi atau ego bersifat dinamis, berubah-ubah, kreatif, dan selalu bergerak mendekatkan diri pada ego mutlak Tuhan (K.G. Sayidain, 1981: 36). Pendapatnya ini sejalan dengan kondisi manusia di masa pandemi Covid-19 ini yang dituntut untuk terus bereksistensi di dalam bingkai-bingkai aturan kebijakan negara yang ketat. Kondisi yang sudah terbentuk demikian harus mereka ubah untuk menjadi bentuk baru yang tidak menjauhkan esensi manusia sebagai makhluk yang eksis. Sebab, hakikat diri manusia memang dinamis, berubah-ubah, dan terus menjadi. Sehingga, Iqbal menegaskan bahwa tujuan akhir dari diri manusia bukan untuk melihat sesuatu, tetapi untuk menjadi sesuatu (M.M. Syarif, 1993: 198). Dengan demikian, manusia pada prinsipnya merupakan individu yang identik dengan kebebasan. Maka, tentu setiap manusia akan menciptakan diri dan dunianya dalam suatu pilihan yang bebas, yang dipilih dan diputuskan oleh manusia itu sendiri (Zainal Abidin, 2003: 133). Terbukti dari pihak pemangku kebijakan sebagai manusia pemegang otoritas tertinggi dalam sebuah negara, yang kemudian memberanikan diri menciptakan gebrakan baru dengan terkonsepnya aktivitas normal di masa pandemi atau yang dikenal dengan masa new normal.

Saat masa new normal berlangsung, para pemangku kebijakan kembali mengeluarkan kebijakan barunya. Peraturan yang semula sangat ketat, di masa ini sudah sedikit luwes. Isolasi mandiri di masing-masing rumah mulai ditiadakan, kecuali bagi mereka yang memang terindikasi paparan virus corona. Kemudian, prosesi pemakaman pasien Covid-19 yang semula hanya dilakukan olah satuan tugas penanganan Covid-19, di masa normal baru anggota keluarga diizinkan untuk ikut serta dalam prosesi pemakaman. Hubungan sosial antarindividu juga turut kembali normal. Beragam aktivitas dagang dan sentra-sentra pariwisata pun mulai beroperasi kembali. Sekolah-sekolah formal yang sebelumnya ditutup total juga sudah mulai diaktifkan dengan beberapa sekolah tatap muka dan via Daring. Kesemuanya itu berjalan rapi dan sukses dengan tak lupa untuk tetap menerapkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.

Kebijakan baru tersebut pun kemudian membawa pengaruh positif pada sebagian lapisan masyarakat. Namun, tak menafikan juga bahwa tentunya ada sebagian lain yang tidak mendapat dampak positif dari hal tersebut. Seperti pada hakikatnya, bahwa dalam setiap perkara, akan selalu ada pihak yang merasa diuntungkan dan pihak lain yang dirugikan. Di masa normal baru pun demikian. Dari kondisi lockdown sebelumnya yang sempat mengacaukan cara berpikir setiap orang, ada sebagian orang yang justru merasa diuntungkan dari kondisi kala itu. Kacaunya cara berpikir sebelumnya, berhasil mengajak masyarakat untuk berkreatif dalam merealisasikan ide-idenya menjadi lebih trendi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Mereka mulai membanting setir melalui insiden tersebut, di mana sebelumnya sesuatu yang terasa tidak mungkin untuk dilakukan, lalu menjadi mungkin untuk dilakukan lantaran paksaan suatu kondisi. Segala bentuk kegiatan langsung pun, telah beralih via Daring yang lebih praktis, canggih, dan mutakhir. Dari hal itu pula, turut menyerukan pada seluruh lapisan masyarakat untuk melek teknologi. Tiada alasan lagi untuk setiap orang tidak memahami teknologi yang ada, terlebih tentang cara mengoperasikan gawai yang sudah menjadi teman hidup setiap orang. Dampak positif yang terbentuk pun membawa SDM negara pada kemajuan peradaban yang tidak jauh lagi dari ketertinggalan.

Namun, pada lapisan masyarakat yang lain, ada yang justru merasa dirugikan dengan adanya kebijakan baru tersebut. Salah satunya dari para pekerja yang telah diputuskan hubungan kerjanya dengan pekerjaannya, yang mana kemudian menjadikan mereka pengangguran dan sulit mendapat pekerjaan baru. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah untuk wajib memakai masker sesuai standar yang ditetapkan. Meskipun mereka sendiri tak tahu bagaimana cara membeli masker berstandar itu, aturan yang diberlakukan menuntut mereka untuk harus memakai masker. Belum lagi anak-anak mereka yang secara tidak langsung dituntut untuk mempunyai gawai demi keberlangsungan proses belajar mengajar. Dengan begitu, keadaan mereka yang merasa dirugikan akan semakin besar pasak daripada tiang. Tidak tahu bagaimana cara untuk mendapatkan penghasilan, tetapi justru harus terus mengeluarkan uang untuk membayar kepatuhannya pada kebijakan pemerintah.

Melalui keadaan tersebut, orang-orang yang merasa dirugikan mencari cara untuk membebaskan dirinya dari beban batin dan pikiran. Namun, kebanyakan cara yang mereka cari bukan malah membebaskan dirinya, tetapi justru menjerumuskan mereka dalam pikiran negatif kepada para pemangku kebijakan. Akibatnya, pandangan sinis dan kritik tajam mereka kepada para pemangku kebijakan semakin keras dan lantang disuarakan. Banyaknya keuntungan yang dirasa memihak pada pemangku kebijakan dan kaum borjuis di masa pandemi ini, dipandang oleh mereka sebagai bagian dari teori konspirasi yang digunakan untuk kepentingan isi perut sendiri. Ditambah lagi setelah hadirnya vaksin virus corona yang memperkeruh situasi yang sedang terjadi. Padahal, dengan adanya penemuan vaksin tersebut, komunitas manusia penemu vaksin tengah mencoba mengimplementasikan konsep kebebasan menurut Iqbal, yang mana dengan mengadakan hubungan baik dan rasa humanisme kepada kebebasan ego orang lain, manusia telah menjadikan momentum tersebut sebagai sarana untuk mencapai kebebasan sejati (Elvira Purnamasari, 2017: 130).

***
(Bersambung ke bagian 2)