Penulis: Achmad Fauzi Nasyiruddin
Editor: Habib Muzaki
Pencapaian terhebat Sapiens dalam tiga abad terakhir adalah keterhubungan. Dimulai mesin uap, lalu kereta api, mobil hingga jet; dari gelombang radio, telepon, hingga internet. Ruang dan waktu berhasil dirampatkan. Kita jadi mudah terhubung dengan banyak hal.
Lalu pandemi datang dan jarak mesti direnggangkan kembali. Pencapaian keterhubungan itu digoyang tepat di jantungnya karena berdiam diri dinilai lebih berdampak dari bergerak. Kita lalu sadar berdiam diri, apalagi sendirian, ternyata sungguh menekan. Belasan atau puluhan keterhubungan virtual yang diperantarai teknologi tak mampu melonggarkan tekanan itu.
Dari kebosanan, lalu terbit kesepian, dan akhirnya menggelepar oleh rasa cemas; itulah kondisi manusia, yang membuat kita rapuh sekaligus unggul. Kita didorong sampai jauh oleh naluri bergerak dan bukan berdiam, sehingga kita, kali ini saya mengutip sebuah kalimat dari buku berjudul Pensees dalam epigram ke-139 yang dilontarkan oleh pemikir rigor bernama Blaise Pascal. Beliau sudah sepuh dan tak tertarik lagi mencari jawaban atas rahasia-rahasia besar yang terkandung di alam semesta berucap, “Manusia lebih senang mengejar ketimbang menggali dan semua ketidakbahagiaan manusia muncul dari ketidaksanggupan kita diam di kamar masing-masing.”
Selaras dengan pernyataannya Pascal, Kepala Suku Mojok Institute dan penulis buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu, pada tujuh hari lalu (3/6) dalam akun Twitter pribadinya memposting tulisan, “Masalah dimulai ketika kamu berpikir harus menjadi orang yg luarbiasa.” yang sampai hari ini telah menerima 424 reetwet dan 1,1 ribu like.
Dua pernyataan dari mujtahid dalam bidangnya, merupakan sebuah otokritik pada diri sendiri bahwasannya, ketidakmampuan diam dan berdamai dengan pikiran sendiri, mungkin bukan masalah besar secara langsung, tapi kemampuan kita memang buruk dalam hal itu. Kita tidak bisa, atau lebih tepat: tidak sanggup, menjauh dari distraksi karena, jangan-jangan, berjumpa diri sendiri (ketakutan, kecemasan, harapan, kemarahan) memang sehoror-horornya duel.
Dulu saat masih SMA saya pernah menulis, “Dusta yang paling buruk adalah kepada diri sendiri” di bangku kelas menggunakan stipo. Hari ini saya ingin meralatnya: bukan, itu bukan yang paling buruk, tapi itulah cara kita bertahan terhadap seramnya suara hati.
Dari sana, dari ketidaksanggupan berduel dengan diri sendiri, kita memilih bertemu dan terhubung dengan dunia, dengan segala algoritmanya, tuntutannya, kebisingannya, juga racun dan madunya. Maka, bisa dipahami jika semua masyarakat modern termasuk saya, akhirnya mengenakan mask(er).