Penulis: Luluk Farida
Editor: Habib Muzaki
Di era yang serba digital, seluruh masyarakat dituntut untuk menggunakan gadget. Tua, muda dan anak-anak dituntut untuk mengerti teknologi gadget saat ini. Tak heran bila semua orang telah dengan mudah mengakses situs ataupun aplikasi yang telah disediakan. Ditambah masa pandemi seperti saat ini, seluruh masyarakat diharuskan menggunakan teknologi sesuai dengan kebutuhan dirinya.
Pekerjaan saat ini pun lebih banyak yang online daripada yang offline. Perkuliahan bahkan sekolah pun saat ini sudah online semua. Anak yang tidak memiliki smartphone, tidak bisa mengakses kegiatan bersekolah dan terpaksa berhenti. Bahkan tak heran orang tua saat ini pun menyetop sekolah anaknya sampai masa offline kembali lagi.
“Saya setop dulu sekolah anak saya, cukup menyulitkan untuk orang tua yang tidak tau gadget bahkan tidak ada perkembangan apapun untuk anak saya,” ucap seseorang yang pernah penulis temui.
Bukan hanya untuk setop sekolah karena keadaan, bahkan ada yang rela untuk menikah karena jenuh dengan sekolah saat ini. Ada juga anak yang kekurangan biaya dan harus bekerja untuk membeli smartphone untuk dia bersekolah. Menjual barang yang ia miliki demi sebuah smartphone.
Tahun 2020 awal pandemi ini saya rasakan sendiri, dimana saya dituntut untuk mengajarkan adik saya sendiri bagaimana cara masuk google meet, google classroom, zoom dan lainnya karena orang tua yang buta teknologi. Meskipun seperti itu orang tua saya juga akhirnya belajar menggunakan gadget yang benar agar bisa melihat proses perkembangan anaknya. Cukup terberatkan karena harus melihat proses seoperti ini, dan minim pengetahuan teknologi.
Pandemi membuat masyarakat saat ini hanya mengandalkan gadget untuk kemana-mana. Mulai memesan barang, makanan. Sampai menggunakan jasa orang untuk mengantarkan barang yang ia beli. Bahkan memilih orang untuk keperluan tertentu pun saat ini sudah dengan gadget.
Pada akhirnya setelah hampir melewati satu tahun pandemi, saya cukup terbuka dengan beberapa pengeluaran anak bangsa sendiri. Namun juga kecewa dengan anak-anak saat ini. Saya rasa efek teknologi untuk anak-anak pun sudah meresahkan masyarakat.
Anak-anak saat ini pun bisa mengakses aplikasi yang sudah tersedia di play store mulai dari permainan, aplikasi perbelanjaan dan masih banyak lagi. Jika anak-anak zaman dulu, yang terbiasa bermain bola bekel, congklak, gobak sodor, engklek, kasti petak umpet lompat tali dan juga masak-masakan menggunakan daun dan tanah. Mungkin anak zaman sekarang tidak pernah merasakan hal seperti itu bahkan untuk keluar rumah pun sudah malas rasanya.
Hal ini juga berdampak kepada bagaimana interaksi anak dengan sesamanya juga pola asuh orang tua. Anak yang harusnya masih mendapatkan bimbingan penuh oleh orang tuanya harus terabaikan karena gadget itu sendiri.
Anak umur tujuh bahkan mungkin saat masih tiga tahun juga diberi gadget oleh orang tuanya supaya diam dan tidak mengganggu pekerjaan orang tuanya. Dan, berkembang menjadi pribadi yang egois, tidak terkontrol dan emosi yang berubah-ubah.
Anak Sekolah Dasar (SD) saat ini pun bisa membalas chatting, mengakses aplikasi konten kreator bahkan bisa berbelanja di aplikasi oren. Cukup terkejut dengan anak SD saat ini, di usia sembilan tahun bisa berbelanja di aplikasi oren tersebut ditambah dengan dukungan dari aplikasi tersebut yang bisa membayar dirumah atau lebih dikenal dengan sistem Cash On Delivery (COD).
Penulis memiliki pengalaman pribadi tersendiri. Chatting masuk yang awalnya saya kira hanya orang yang salah kirim karena memang terhapus oleh orangnya sendiri ternyata selang berapa menit. Voice note masuk dan kucoba dengarkan sendiri.
“ Hay kak, saya yang beli cincin di kakak. Kak bisa ngga kak beli gelangnya lagi, beli…… dari apa tuh, dari chat ini, soalnya teman saya ngga punya aplikasi oren jadi gak bisa beli dari shopee dan katanya mau dibelikan buat pacarnya,” ujar customerku.
Cukup terkejut dengan suara voice note yang penulis dengarkan. Mungkin menemukan customer anak-anak sudah pernah tapi yang membuat diriku terheran-heran adalah; dia ingin membelikan untuk pacarnya.
Cukup geli mendengarkan voice note tadi, anak sekolah sekarang sudah tau pacaran. Bahkan di lain kesempatan, ada yang dengan terang-terangan memposting isi chat mereka dengan panggilan.
“Ayah bunda, papa mama.” Bahkan pernah ada yang posting seperti ini, “ Hidup saat ini susah, masa pendewasaan yang penuh kekecewaan” Sampai, “ Kak, kira-kira nama yang cocok buat bayiku besok apa ya?”
Entah bagaimana respon orang tuanya jika melihat anaknya seperti ini. Bahkan secara psikologis pun ini cukup berbahaya untuk anak seumuran sembilan tahun. Efek dari gadget yang mungkin bisa disalahgunakan oleh orang-orang tertentu bahkan dari anak-anak sendiri.
Anak pada usia 6-10 tahun memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, rasa usil dan juga proses untuk menjadi pribadinya sendiri. Namun masih banyak orang tua yang mengabaikan anaknya sendiri karena kesibukan, rasa lelah dan banyak alasan lainnya.
Anak pada usia segitu justru harus dibimbing, bukan dibiarkan dengan begitu saja. Jangan salahkan anak saat dia telah dewasa menjadi pribadi yang tidak ingin harapkan .
Belum lagi efek pengabaian, dibully, dibandingkan dan juga stricth parent cukup berbahaya untuk anak seusia ini. Bisa saja dia memiliki pemikiran yang tidak-tidak untuk self harm (melukai diri sendiri) karena terlalu lama memendam perasaannya sendiri, terjebak pergaulan bebas, bahkan bisa saja dia hamil di luar nikah.
Pernah saya waktu cek aplikasi konten, dimana banyak dari orang-orang memperkenalkan bisnis kecil mereka dan saya cukup tertarik dengan satu komentar yang stich oleh pemilik akun tersebut, “Kak aku boleh minta kirim barangnya ngga? Dikasih gratis gitu.“
Mungkin bagi sebagian orang risih dengan pertanyaan seperti ini apalagi bisnis kecil yang baru merintis usahanya sendiri. Untuk mengembalikan modal saja susah apalagi untuk memberikan secara cuma-cuma ke orang lain. Memang, efek teknologi pada anak juga menghasilkan hal-hal yang demikian.
Penulis memiliki guru matematika yang dulu pernah bercerita tentang anaknya yang susah di atur dan keras kepala dan pada akhirnya dibawa ke psikiater. Baru sampai di depan dia sudah berontak tidak ingin ke tempat tersebut. Dan, akhirnya beliau kembali ke rumahnya untuk berbincang masalah anaknya. Keesokan harinya beliau di hubungi oleh pihak psikiater untuk datang ke tempatnya dan memberitahukan soal anaknya.
“Dari yang saya lihat kemarin, sebenarnya anak ibu tidak ada masalah. Namun, justru ibu yang harus saya beri bimbingan karena hal apapun yang anak lakukan itu selalu berkaitan dengan orang tuanya, “ kata psikiater yang dikunjungi oleh beliau. Ada pengunaan teknologi yang kurang baik di balik semua ini.
Dan, setelah beberapa kali berkunjung ke psikiater, hubungan antara guru saya dan anaknya pun membaik. Anaknya sudah bisa diberitahu tanpa harus ke psikiater lagi. Dari semua ini, kita bisa tahu bagaimana bahaya teknologi apabila tidak digunakan dengan bijak. Efeknya pun tidak main-main, mungki bagi beberapa orang, masalah-masalah di atas cukup sepele. Namun efek dari tekanan mental tidak pernah main-main. Bisa saja dia melakukan aksi bunuh diri karena tekanan yang ia terima dari orang sekitarnya.