Oleh: SabithaAyu
“Hei, Anak Muda. Kau ingin pesan nasi goreng? Atau bakmi goreng?” tanya Pak Ucok dalam bahasa daerah, menepuk pundak Wahyu hingga lamunannya buyar.
“Eh, saya tidak punya uang,” jawab Wahyu dengan malu-malu, berbahasa daerah pula.
“Halah, ya sudah nggak papa, aku kasih gratis! Hari ini makananku sedang laris manis. Aku ingin berterima kasih kepada Tuhan,” ungkap Pak Ucok. Tanpa banyak basa-basi, ia mulai menggoreng sepiring nasi goreng untuk Wahyu.
“Hei. Siapakah nama kau?”
“Wahyu, Pak.”
“Oh, kalau begitu perkenalkan, saya Ucok. Ngomong-ngomong,” tanya Pak Ucok, “kenapa kau luntang-lantung di sini? Dari jauhkah kau?”
“Tidak, Pak. Rumah saya di perumahan dekat sini. Saya baru kabur dari rumah, lupa tidak bawa apa-apa.”
Pak Ucok menoleh dan menunjukkan raut keheranan sedetik-dua detik, lalu kembali berpaling kepada wajan besar yang mengepul panas. “Hai, kenapa pula kau ini pakai kabur dari rumah? Kasihan itu Ibu kau, nanti mencarimu dan mengkhawatirkanmu, Nak.”
“Huh,” Wahyu cuma mendengus dan terkekeh kecil, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Sepiring nasi goreng itu akhirnya matang. Dihidangkannya beserta segelas teh panas kepada pemuda yang terlihat lesu itu. Wahyu mulai menikmatinya dengan lahap. Matanya berlinang air mata.
“Kenapa lagi sekarang kau menangis ketika makan ini? Asin kah?? Atau terlalu pedas kah??”
Wahyu tersedak. Ia meminum teh yang sudah hangat itu untuk melegakan kerongkongannya. “Tidak, kok, Pak. Nasi goreng ini enak sekali. Saya hanya terharu karena seseorang yang baru ku kena lmemberiku makan, sedangkan Ibuku justru memarahiku hanya karena tak setuju aku kuliah keluar negeri. Apa salahnya, sih, Pak, kuliah di luar negeri?” Wahyu jadi curhat ke Pak Ucok tentang masalahnya. “Bapak adalah seseorang yang baru ku kenal, tapi begitu peduli padaku. Ibuku tidak peduli denganku, dengan mimpiku.” lanjut Wahyu. Ia masih kesal. Mulutnya kembali penuh dengan sesendok nasi goreng.
Pak Ucok pemilik warung itu berkata, “Nak, mengapa kau berpikir begitu? Renungkan hal ini, aku hanya memberimu sepiring nasi goreng dan kau begitu terharu, sedangkan Ibumu telah memasak nasi, lauk, sup, dan segala macam makanan untukmu setiap hari sampai kamu sesehat ini sekarang, harusnya kamu lebih berterima kasih kepadanya dan menghormatinya… Bahkan walaupun kemauannya tidak sejalan dengan yang kamu impikan.”
Wahyu kaget mendengar teguran dari penjual kecil itu.
Mengapa untuk sepiring nasi goreng dari orang yang baru ku kenal, aku begitu berterima kasih, tetapi terhadap ibuku sendiri yang memasak untukku sejak aku kecil, bertahun-tahun aku tak pernah berterima kasih dan sore ini justru membentaknya begitu kasar? pikirnya. Betapa keterlaluan!
Setelah menghabiskan hidangan Pak Ucok dan berpamitan, Wahyu bergegas pulang. Pak Ucok mengantar kepergian Wahyu dengan senyuman bijak, hingga ia menghilang ditelan bayang pepohonan, lalu menutup warungnya.
Begitu sampai di ambang halaman rumah, ia melihat ibunya telah menunggu di sana dengan wajah cemas. Ketika melihat batang hidung anaknya, yang baru sore tadi membentaknya, kalimat yang pertama-tama keluar dari mulutnya adalah, “Akhirnya kau pulang juga, dasar bocah nakal. Cepat masuk, kamu belum makan sejak sore tadi. Ibu sudah siapkan makan malam di meja, baru saja Ibu hangatkan.”
Mendengar hal itu, Wahyu tidak dapat menahan tangisnya dan menangis di hadapan ibunya.“Maafkan Wahyu, Bu…” suara Wahyu terlontar parau.
Ibu merentangkan tangannya untuk memeluk Wahyu, anak sematawayangnya. Kemudian ia lepaskan dan ditangkupnya wajah Wahyu dengan kedua telapak tangan. “Nak, kau tahu kenapa Ibu ingin sekali kau kuliah di Universitas Indonesia?”
Wahyu menggeleng, menatap kedua mata ibunya dengan penuh ketawaduan. “Tadi Wahyu tidak mengerti,” jawabnya.
“Kau ingat, Ibu pernah bercerita kalau Ayah mumeninggal saat masih memperjuangkan program magisternya? Kampus yang ditempuhnyaa dalahUniversitas Indonesia itu, Nak, dan Ayahmu pernah berwasiat kepada Ibu agar mengantarkanmu kuliah di sana dan menyelesaikan mimpinya yang berhenti di tengah jalan. Keinginanmu adalah kuliah di jurusan Biologi bukan? Kau sama cerdasnya seperti Ayahmu. Ibu yakin, dengan perjuangan keras kamu selama ini, dan dengan doa Ibu, kamu pasti bisa menjejakkan kaki di sana. Kau tak perlu khawatir, Ibu bukan tidak menyetujui mimpimu, tapi Ibu hanya ingin melaksanakan wasiat Ayah. Nanti kau bisa mengambil program Pertukaran Pelajar ke negeri mana pun yang kau mau sambil menjalani program sarjana. Setelah lulus, ambil program magister, selesaikan mimpi Ayah yang dulu berhenti. Barulah ketika program doktor nanti, Ibu akan mengantarkanmu ke depan pesawat terbaik di Indonesia, agar kau terbang dengan aman untuk merantau belajar keluar negeri sana. Tak peduli selama apa pun, sejauh apa pun. Itu maksud Ibu, Nak. Itu.” jelas Sang Ibu dengan panjang lebar.
Wahyu tak bisa berkata-kata. Andai saja ia tak memperdebatkan egonya di hadapan Sang Ibu, pasti ia akan mendengarkan semua ini sejak awal. Ia terlalu cepat naik darah, bahkan berani membentak ibu yang telah melahirkan dan merawatnya sampai sebesar ini.
“Wahyu tahu, ‘kan? Allah memerintahkan Wahyu agar berucap dengan lemah lembut kepada orang tua Wahyu. Bahkan uff(ah) saja Allah membencinya. Coba,tadi Wahyu udah ngelakuin apa aja ke Ibu? Sakit sekali hati Ibu, Nak, melihatmu menyala-nyala seperti singa, di depan Ibumu yang kini semakin tua dan semakin lemah. Ibu sempat takut, bagaimana bila Ibu sudah benar-benar renta nanti, akankah Wahyu mendengarkan omongan Ibu lagi? Akankah Ibu di hidupmu masih berarti?”
Air mata ibu menetes mengatakannya, menggambarkan betapa sakit hatinya. Begitu pula Wahyu, jatuh beribu-ribu rintik membasahi jemari ibu yang mengusap-usap pipi Wahyu ketika menasehatinya. Wahyu menghambur memeluk ibu dan ia hanya mampu berucap, “Maaf, maaf, maafkan aku, Bu… Aku tadi sudah menyakiti hati Ibu dan tidak mau mendengarkan perintah Ibu. Terima kasih sudah menyayangiku dan mendukung mimpi besarku… Aku janji aku akan melakukan yang terbaik untuk mewujudkan mimpi kita, juga untuk melaksanakan wasiat Ayah.”
Ibu tersenyum lebar, hatinya lega. Napasnya menghela selembut sutra, mengantarkan kasih sayangnya melalui sepoi angin malam. Tangannya yang putih mengelus-elus punggung Wahyu dengan lembut dan hangat. “Ya, Nak… Ibu selalu di sini. Doa Ibu menyertaimu kemana pun kau akan pergi. Kau tidak akan Ibu biarkan berjuang sendiri! Bismillah, ya. Semoga kamu menjadi anak yang sukses di dunia dan akhirat.”
Wahyu mengangguk-angguk.
Bulan berlalu, dan ia berhasil bergabung dengan jajaran mahasiswa baru di Universitas Indonesia. Sepanjang 3.347,6 km jauhnya dari rumah, tapi tak akan pernah ia lupa dengan petuah ibunya malam itu sejauh apa pun kaki menjejak. Ia ingat betul doa ibu agar ia sukses di dunia dan akhirat.
Semester satu mulai berjalan dan kini ia tak hanya berjuang keras agar menjadi yang terbaik di jurusannya, di kampusnya, dan di UKM Badmintonnya. Namun, ia mulai bergabung dengan UKM Tahfiz Alquran pula dan menghafalkan Alquran perlahan-lahan. Ia kini tahu, kelak di Hari Kiamat Allah akan menghadiahkan mahkota cahaya kepada orang mukmin yang memiliki anak penghafal Alquran, dan penghafal itu sendiri juga diberikan mahkota kemuliaan. Ia mendengarnya dari Rio yang sejak sebulan terakhir juga mendaftarkan diri kesebuah pondok tahfiz Alquran di dekat kampus. Rio memanglah sahabat seperjuangannya sejak SMP, sekaligus rival sejatinya dalam mengejar prestasi di sekolah. Namun, meski kini mereka berkuliah di universitas yang sama, jurusan yang mereka ambil berbeda. Rio memilih masuk pada jurusan Teknik Informatika karena lebih mumpuni di bidang Matematika. Sedangkan, Wahyu di jurusanBiologi, merintis perjuangan sarjana sang ayah.
Di suatu sore, faedah menghafalkan AlquranRio sampaikan beserta hadisnya. Mereka sedang bermain Play Station di indekos Wahyu. Satu setengah jam kemudian, ah, gameover! Wahyu kalah. Merekapun menjeda permainan dan merogoh keripik tempe sembari mengobrol.
“Kau tahu, Yu? Jadi penghafal Alquran itu keren sekali. Aku sangat ingin mewujudkannya. Balasannya di akhirat indah sekali, Yu. Aku dengar dari ustazku di pondok yang kemarin aku masuki!”
“Apa memangnya?”
“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda, siapa yang menghafal Alquran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan, kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian, kedua orang tuanya bertanya, ‘Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?’ Lalu, disampaikan kepadanya, ‘Disebabkan anakmu telah mengamalkan Alquran.’[1]
Rio belum selesai dengan penjelasannya yang menggebu-gebu. “Terus, Yu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda, Alquran akan datang pada Hari Kiamat, lalu dia berkata, ‘Ya Allah, berikan dia perhiasan. ’Lalu Allah berikan seorang hafiz Alquran mahkota kemuliaan. Alquran meminta lagi, ‘Ya Allah, tambahkan untuknya. ’Lalu dia diberi pakaian perhiasan kemuliaan. Kemudian dia minta lagi, ‘Ya Allah, ridai dia.’ Allahpun meridainya. Lalu dikatakan kepada hafiz Alquran, ‘Bacalah dan naiklah, akan ditambahkan untukmu pahala dari setiap ayat yang kamu baca.’[2]
“Sakral sekali, ‘kan, Yu?” tambah Rio.
Beberapa detik hingga keheningan menyerbu di antara mereka, Wahyu tertegun. Itu hadiah yang spesial sekali dan paling mewah untuk kedua orang tuanya. Bagaimana tidak? Hadiah itu diberikan langsung oleh Allah subhanahuwata’ala!
Wahyu berlinang setiap mengingat target dan tujuannya yang kini ia tancapkan begitu jelas di benaknya. Ia cukup menyesal karena ketika SMP dan SMA telah dibutakan oleh ambisinya mengejar dunia. Wahyu… harus mendapatkannya. Memperjuangkan akhiratnya. Mengumpulkan banyak bekal sebelum habis waktunya dan menyusul Ayah tercinta kelak. Harus…
[1]HR. Hakim 1/756 hasan.
[2]HR. Turmudzi 3164 hasan shahih.