Oleh: Che*

Doc. Google
Empat tahun lalu, aku menemukannya dalam lengang malam gerimis Tuhan, dalam kursi kosong.
Malam itu aku dan kawan karib seperti saat ini dan esok, bersimpuh dalam setiap bambu yang rapi, asap menghantarkan setiap harapan dan candu. Antara panas dan kelembutan kopi aku memperhatikannya yang berani, ia yang anggun dengan casual yang cool, bercakap-cakap dengan kawan sedikit tentangnya, ketika namanya terdengar, mengingatkanku pada Ibnu Arabi dengan teori filsafatnya, bahwa: dunia ini awal dari sebuah Alif yang tak terhingga.
Saat itu, kira-kira pukul sembilan malam, tawa tak pernah henti dariku, kawan karib, ia dan semua yang bersimpuh dalam dingin malam, setiap tarikan (HU) dan hembusan (ALLAH) aku berpikir ke mana pun yang aku pikirkan, namun bukan ia, melewati pikiran aku berfikir, aku hanya ingin bersentuh tangan secara dhohir. Tapi aku, waktu dan penampilan tidak memungkinkan, sebuah angan saja.
Sejak saat itu aku kosong tentang apapun dan siapa pun, berjalan dari jam jarum, jarum ke perjam. Aku sudah menjadi apa yang ditakutkan semua orang.
Sebuah jabatan strategis dengan pangkat pengangguran.
Debu jalanan menunjukan senja telah habis dilahap malam, kawan karibku bertambah, sepakat menambah kopi di warung bakso yang entah tutup atau sengaja bangkrut, desiran angin tidak menghambat jarum jam, hingga ia yang empat tahun lalu hadir dalam angan, saat ini hadir dalam sorot mata yang teduh, seperti memikul beban yang berat.
Canggung karena pertama, setelah lama tidak berkawan wanita.
Ungkapan apa yang pantas ?
Memang kata orang dulu, awal pertemanan agar lebih akrab jika sama sama mengisi perut.
Sorot mata saat ia turun, aku menangkap bahwa itu tanda yang tidak biasa, berjalan waktu, ketika aku terlalu jauh berjalan, bertapak, bertilas, ber-ber pokok, hingga aku sampai pada padang pasir yang barada di barat tapi seperti timur, utara seperti selatan, timur seperti utara dan selatan yang kebarat baratan, anehnya bin ajaib ketika padang pasir tandus ada sebuah pohon anggur segar.
Demi masa, setiap buah aku lahap dengan bungah, dan lagi aneh, tiba tiba anggur itu tidak pernah habis.
Hingga saat aku merasa jenuh, tak sengaja aku melempar dua buah anggur, lantas pohon itu bergeming, tiba tiba anggur itu surut ditelan tangkai.
Setiap malam aku melalui kerinduan,
Sampai senja bertemu fajar dalam bait-bait karanganku,
Apa maksud ini ?
Aku dan ia seperti saudara, selera humor kita tak jauh berbeda.
Hari bersama bulan, detik di dalam bundaran tiktok, aku menemukan ia sebagai seorang yang, ee seperti memanggul beban berat, entah aku tak berkata, karena posisiku tidak ingin dianggap telinga yang hanya mendengar dan mulut yang nyaman bercoloteh.
Hari yang dilalui olehku bukan sekedar aku, kamu, dan kita, tapi melebihi aku cinta dan kamu pelabuhan,
Entah ia merasa atau sekedar bertutup ria dengan balutan make-up.
Tapi aku rasa dunia membenci manusia yang berpijak dalam kebohongan, dan ia termasuk tawa yang sangat manis
Suatu malam, aku dan ia mendatangi pohon anggur yang bergeming, kami melihat pohon itu berbekas air anggur, aku menjerit bersayat, bersayap-sayap.
“Engkau tak berbuah lagi, kenapa?” Ocehanku
“Lantas kenapa kamu menyiakan dua buah anggurku?” Tanya si pohon.
“Anggurmu membakar cemburu” jawabku
“Alasanmu tidak tepat hai manusia dungu!” jawaban pohon mengena.
“Aku tau aku dungu, aku jenuh karena selama aku memakan anggurmu, engkau tak pernah menjelaskan maksudmu, memberi alasan kenapa engkau selalu berbuah tanpa henti padaku,
aku ingin tahu maksud dari semua ini.”
“Aku memberi hanya karena kamu dahaga, tidak lebih dari itu” Tegas si pohon.
27 November