Penulis: Agrizke Izharadila

Editor: Adi Swandana E.P.

Kehidupan di masyarakat selalu menghadirkan berbagai macam perbedaan dalam hal agama, budaya, sosial, ekonomi, politik, dsb. Namun, tak jarang juga bahwa perbedaan tersebutlah yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Konflik sosial yang dilihat dari perspektif agama seringkali disebut sebagai konflik bernuansa SARA. Konflik SARA bukan hanya merupakan suatu permasalahan di masa lalu, namun juga masih menjadi permasalahan yang terjadi hingga saat ini. Sebagai contoh konflik SARA yang terjadi di beberapa negara, seperti Irak, Suriah, Sudan dan Somalia telah menjadi momok bagi keamanan dan perdamaian dunia.

Konflik yang berbau SARA bisa menjadi ancaman serius bagi keharmonisan masyarakat. Konflik SARA pun dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, serta dapat menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kehidupan sosial di masyarakat. Selain itu, akibat dari hal ini tidak hanya mendatangkan potensi kekerasan dan kerusakan di lingkungan, tetapi juga dapat memicu ketidakpuasan dan permusuhan antarsesama.

Konflik ini juga seringkali terjadi karena adanya perbedaan keyakinan dan pandangan antara dua atau lebih kelompok yang berbeda. Dampak yang muncul kemudian dapat berupa kerusuhan, kekerasan, diskriminasi, hingga segregasi. Penyebaran informasi dan berita yang tidak akurat, serta penyebaran ujaran kebencian di media sosial juga bisa menjadi penyebab utama konflik SARA di masyarakat.

Tidak hanya di luar negeri, konflik SARA juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1998 saat di mana seluruh dunia sedang mengalami krisis moneter, Indonesia juga sedang mengalami krisis sosial akibat perebutan kekuasaan antar agama yang berbeda. Hal tersebut diawali dari krisis ekonomi yang dianggap merugikan oleh sebagian suku dan agama. Sementara itu, sebagian dari mereka mengambil kesempatan tersebut untuk melakukan kekerasan dan pemaksaan kepada kelompok yang mereka sebut “berbeda” dari golongan mereka.

Konflik SARA di Indonesia sendiri biasanya terjadi pada masa pemilihan umum atau perayaan hari raya keagamaan. Konflik bernuansa SARA seringkali menjadi masalah yang kompleks dan sensitif yang mudah timbul. Menurut Brock, kesukuan merupakan cara termudah untuk membakar emosi serta naluri primordial (Anwar, 2005: 391). Sementara menurut Clifford Geertz, agama merupakan unsur perekat yang dapat menimbulkan baik persatuan maupun perselisihan (Abdullah, 1987: 67). Oleh sebab itu, untuk mengatasi konflik SARA yang selalu berpotensi hadir menggerogoti integritas bangsa, maka sangat diperlukan adanya strategi yang efektif serta peranan pemerintah dalam mengantisipasi konflik agama di lingkup masyarakat.

Strategi dalam mengantisipasi konflik SARA

Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengantisipasi adanya konflik bernuansa SARA, di antaranya ialah sebagai berikut;

Pertama, menumbuhkan jiwa toleransi dalam masyarakat. Toleransi merupakan modal utama dalam menjaga harmonisasi kehidupan di antara umat beragama. Toleransi umat beragama dimaknai sebagai pemberian kebebasan pada sesama warga masyarakat yang menjalankan keyakinannya maupun mengatur hidupnya dalam menentukan nasib masing-masing, selama dalam menjalankannya tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat (Tanzila, 2018: 17).

Kedua, membangun interaksi positif antarkelompok agama. Interaksi positif antarkelompok agama di masyarakat sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik agama. Interaksi positif dapat diwujudkan melalui berbagai cara, seperti mengadakan forum diskusi dan dialog antarkelompok agama, pembentukan kelompok-kelompok persaudaraan antar agama, dan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial bersama-sama. Melalui kegiatan tersebut diharapkan anggota masyarakat dapat memahami bahwa perbedaan agama bukanlah hal yang harus memicu terjadinya konflik.

Ketiga, mengadopsi pendidikan nilai dan karakter. Pendidikan nilai dan karakter merupakan satu hal penting yang dapat digunakan dalam upaya mengantisipasi konflik bernuansa SARA di masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan nilai dan karakter harus dilakukan sejak dini, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga. Dalam pendidikan ini harus memasukkan nilai-nilai kesetaraan, perdamaian, dan toleransi yang menghindarkan terjadinya diskriminasi terhadap suku, agama, ras, maupun golongan.

Keempat, meningkatkan sosialisasi mengenai persatuan dan kesatuan. Hal ini menjadi salah satu strategi yang efektif karena dapat meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai persatuan dan kesatuan. Maka dari itu, hal tersebut kemudian akan mendorong terbentuknya sikap saling menghargai, menghormati, dan toleran terhadap perbedaan yang ada di antara keberagaman masyarakat.

Kelima, memperkuat peran masyarakat dalam menanggulangi konflik. Masyarakat harus diberdayakan untuk mengambil bagian aktif dalam pengembangan toleransi dan penanganan konflik agar tidak mudah terpengaruh oleh suasana. Hal ini dikarenakan masyarakat yang terlibat aktif dalam menanggulangi konflik dan dapat membawa dampak positif terhadap kelestarian persatuan dan kesatuan dalam masyarakat.

Peranan pemerintah dalam mengantisipasi konflik SARA

Peran pemerintah sangat penting dalam mengantisipasi terjadinya konflik bernuansa SARA di masyarakat. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mengantisipasi konflik bernuansa SARA.

Pertama, penguatan regulasi dan kebijakan. Pemerintah harus menerapkan regulasi dan kebijakan yang menyangkut perlindungan hak-hak agama, etnis, dan budaya serta menegakkan hukum yang adil bagi setiap individu. Regulasi yang diterapkan pemerintah juga harus memberikan keamanan serta jaminan hak-hak yang diatur dalam UUD 1945, tidak terkecuali hak-hak masyarakat yang terkait dengan agama, suku, etnis, bahasa dan budaya. Regulasi dan kebijakan tersebut harus menciptakan lingkungan yang kondusif dan mampu menghargai persamaan maupun perbedaan.

Kedua, pendidikan toleransi terhadap agama dan kebhinekaan. Pemerintah harus memperjuangkan pendidikan toleransi antar warga negara serta menjunjung tinggi keberagaman yang ada di Indonesia. Pendidikan yang benar dan tepat mengenai toleransi antar agama perlu diberikan secara dini pada keluarga, sekolah, lembaga pendidikan, media massa atau melalui komunitas-komunitas keagamaan, dan kebudayaan yang ada. Pendidikan dan dukungan dari berbagai pihak ini membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya sikap menghormati keberagaman dan menjaga kerukunan antar warga (Suardita, 2015: 33).

Ketiga, membangun lembaga-lembaga pengawasan. Pemerintah harus membangun lembaga pengawasan sebagai wadah untuk menangani dan mengawasi masalah konflik bernuansa SARA di lingkungan masyarakat. Lembaga ini harus mengetahui dan memperhatikan setiap sentimen maupun ideologi yang bisa memicu konflik. Selain itu, lembaga tersebut juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat dengan cara yang tepat dan efektif (Tanzila, 2018: 21).

Keempat, mengorganisir program-program perdamaian. Pemerintah harus menciptakan program-program yang bersifat menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Program tersebut sebagai bentuk pencegahan sebelum terjadinya konflik. Program perdamaian bisa berbentuk aksi sosial, kegiatan budaya, dan berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Program ini khususnya dapat dilaksanakan pada momen-momen besar yaitu saat perayaan hari raya keagamaan, kemerdekaan, dan lain sebagainya.

Kelima, meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Kegiatan ini sangat penting digunakan sebagai upaya menjaga kerukunan sosial. Pemerintah harus memberikan kesempatan bagi warga untuk melahirkan ide dan solusi serta menyelesaikan masalah. Pemerintah dapat membangun dialog dengan masyarakat dan kelompok-kelompok keagamaan, komunitas dan berbagai pihak yang terlibat dalam menjaga keamanan yang kondusif dalam masyarakat.

Keenam, memberikan pelatihan dan pendidikan pada aparat penegak hukum. Mengidentifikasi dan mengatasi konflik bernuansa SARA tentunya membutuhkan keterampilan khusus dari aparat penegak hukum. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan pendidikan dan pelatihan kepada aparat untuk mengatasi masalah konflik dengan cara yang baik dan efektif. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan bisa berupa cara menghindari berbagai tindakan yang dapat memicu konflik, serta penguasaan sikap dan wawasan tentang agama, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat.

Kesimpulan

Dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik SARA, masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mempromosikan toleransi nilai-nilai, keberagaman, dan penghormatan terhadap perbedaan. Komunikasi antaragama dan kelompok, pembentukan komunitas pengayom masyarakat, pendidikan multikultural, serta peran organisasi masyarakat dan keagamaan adalah beberapa strategi yang efektif untuk mencapai tujuan ini. Bekerja sama dan memiliki sikap terbuka merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mencegah dan mengatasi konflik bernuansa SARA yang mungkin dapat terjadi di masyarakat.

Daftar Referensi

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987.

Anwar, Dewi Fortuna. Konflik Kekerasan Internal . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005.

Suardita, I Ketut dan I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati. Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Sosial di Bali dari Perspektif Hukum . Laporan Akhir Hibah Penelitian Dosen Muda, Bali: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2015.

Tanzila, Elya, dkk. “Strategi Pemerintah Daerah dan Pencegahan Konflik Bernuansa Agama Guna Mempertahankan Status Zero Conflict di Sumatera Selatan Tahun 2017-2018.” Jurnal Diplomasi Pertahanan, Vol. 4, No. 3 (Desember, 2018).