Hei, Bangku Kampus, bagaimana kabarmu, setelah hampir tiga bulan lamanya tidak bersua? Jujur, aku merindukanmu. Sebagaimana kau merindukan mahasiswa yang menggunakanmu. Dari yang sekadar mencari presensi sampai yang serius mempelajari ilmu pengetahuan yang bervariasi. Mungkin ada yang merendahkanmu, dengan menganggapmu tak lebih dari penunjang para “budak akademik”. Lantas, pesonamu sebagai alat penunjang proses belajar dianggap tidak lebih berart daripada lantai warung kopi yang menjadi alas diskusi. Kau memang jarang disebut, terkadang hanya saat kau mulai sedikit rusak, golongan jurnalis kampus menyebut-nyebutmu dan mempertanyakannya kepada birokrasi yang bagian mengurus sarana dan pra-sarana.
Tapi ngomong-ngomong, belakangan ini kami selalu mempertanyakan suatu hal kepada pihak birokrasi. Hei, bukankah ini sebuah lelucon saat diri kami telah lama tak bersua denganmu, tapi masih tetap diberikan sebuah beban moral dan sosial berupa keharusan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dengan jumlah nominal yang sama pada saat kami bersua denganmu, hei Bangku Kampus.
Kami membayangkan adanya sebuah cerita fabel bernuansa kampus yang kami tempati. Di mana kau dan semua perabotan ruang kelas yang ada di dalam kampus tercurahkan oleh semacam mukjizat Tuhan berupa kemampuan tertawa sekencang-kencangnya. Ini mungkin akan menjadi lebih menarik apabila ditulis oleh novelis-novelis kondang, seperti Pramoedya Ananta Toer, Dee Lestari, Leo Totsky, Gabriel Garcia Marquez, dan lain-lain dengan tajuk “Gurauan Perabotan Kampus”.
Kami membayangkan, cerita fabel itu nanti berasaskan humor dan satire. Kau tertawa sekencang-kencangnya bersama dengan LCD Proyektor, Papan Tulis, Spidol, AC ruangan, serta Stopkontak yang dijadikan para mahasiswa numpang ngeces handphonenya. Atau jangan-jangan kau justru sudah memobilisasi semua barang-barang lain yang ada di dalam kampus dan bahkan telah melakukan konsolidasi atau konferensi untuk membuat seperti gerakan revolusi ala Bolshevik-nya Vladimir Lenin. Bukankah ini bisa saja terjadi, mengingat kau juga ikut mendengarkan, baik uraian-uraian dosen di dalam kelas ataupun diskusi-diskusi yang dilakukan oleh mahasiswa tentang keadilan, hukum, filsafat, dan isu-isu berskala global yang menyangkut negara dunia ke-3? Aku haqqul yaqin kau semestinya jauh lebih memahaminya daripada mayoritas di antara kami yang sibuk bermain benda kecil bernama telpon genggam saat kelas sedang dimulai.
***
“Tidak dapat menikmati fasilitas yang diberikan kampus, biaya kuliah dibayar full, proses kuliah online juga tak berjalan efektif; ada yang terkendala sinyal, ada yang terkendala media, dan ada yang terkendala kuota internet. Juga, tidak ada pengembalian atau paling tidak potongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 40% sebagai bentuk ganti rugi kepada mahasiswa yang setengah mati usaha mengikuti proses perkuliahan sesuai dengan prosedural yang telah ditentukan. Kemana kah larinya keadilan? Apakah keadilan sudah dikantongi oleh pejabat yang berkemcimpung di dalam dunia pendidikan?” Gumamku.
“Hei berhenti utopis Nak.” Ujar bangku kampus kepadaku.
“Tunggu, kau bisa berbicara?” Ujarku sedikit kaget. Apakah Tuhan sedang membuka gerbang metafisika yang tak dapat dipahami dengan rasionalitas manusia? Atau ini sebuah pengalaman spiritual? Apa ini petanda aku akan dibai’at menjadi seorang Nabi yang berkemampuan sama persis dengan kemampuannya Nabi Sulaiman? Ah, aku tak mengerti dan tak mau mengerti tentunya.
“Buang saja ocehan idealismu soal keadilan!” Ujar salah satu bangku kayu paling pojok. Nampak ia berbeda sendiri di banding yang lain. Mungkin bangku kayu lain yang seangkatannya telah berpetualang ke pelelangan.
“Bukankah kau telah diperingatkan sejak awal pada saat Pengenalan Budaya Hegemoni Akademi Kampus (PBAK)[1]? Asal kau tahu, ini adalah kampus yang tak cukup paham dengan kemampuan mahasiswa yang berada di golongan ekonomi kelas bawah, menengah ke bawah, kelas menengah ke atas, dan kelas atas!” Aku kembali teringat ketika masa orientasi kampus. Fakultas yang aku tempati ini memang berbeda dengan yang lainnya. Terpampang jelas sebuah banner besar bertuliskan, “Dehumanisasi Mahasiswa! Selamat Datang di Kampus Diaboli; Kala Mahasiswa Hanya Dijadikan Sapi Perah!” Aku mana tahu saat itu? Aku hanyalah mahasiswa baru (maba) yang masih polos kala itu, dan mungkin masih sampai saat ini dengan sikap yang sama (baca: Mahasiswa Apatis).
“Asal kau tahu Nak, kami dibeli dari hasil pemerasan atas mahasiswa.” Agak lucu sebenarnya mendengarkan AC yang dapat berbicara seperti burung Beo. “Nak, jika kau mau sekali saja beranjak dari rebahanmu yang dulu-dulu kamu lakukan, lalu mencoba berdialektika dengan lingkungan yang ada di dalam kampus, dana untuk membangun gedung-gedung itu dari mana asalnya jika tidak dari keseluruhan UKT mahasiswa yang ditinggikan?” Tambahnya.
“Tidak ada keadilan yang merata di negeri ini, Nak. Biaya kuliah yang mahal seakan meneriaki para rakyat kecil dan menengah kebawah, ‘Bagi yang tidak berduit, kalian gausa kuliah!’ akses untuk menjadi pintar dan meraih mimpi hanya boleh dinikmati orang-orang kaya alias berduit saja! Persetan dengan yang namanya beasiswa dan bidikmisi. Karena pada akhirnya, mahasiswa yang menerima beasiswa atau bidikmisi tidak akan diperbolehkan menyampaikan aspirasi berupa gugatan-gugatan terhadap kebijakan kampus. Kalau mahasiswa semacam itu ketahuan melakukan aksi demontrasi, misalnya, beasiswa atau bidikmisinya akan terancam dicabut. Paradoks sekali bukan?” Aku melongo mendengar ucapan LCD Proyektor di atasku.
“Benar saja, bahkan beasiswa saja tidak merata. Terlebih hanya yang pintar saja yang mendapatkannya. Parahnya kepintaran terkadang hanya diukur dari sertifikat, ijazah dan angka belaka.” Ucapku menggebu-gebu. Lantas aku teringat satu hal, “Aku ingin ikut demo! Turunkan UKT!” namun seisi ruang kelas seakan menahan tawa mendengar ucapanku barusan.
“Lihat saja kakak tingkatmu, sudah dua tahun ini mereka selalu melancarkan berbagai demo mendesak pihak birokrasi kampus untuk secepatnya menurunkan biaya kuliah yang terlalu mahal. Hasilnya Nihil! Orasi mereka dianggap oleh birokrasi tak lebih dari sebuah masturbasi.” Mendengar perkataan papan tulis ini, seketika aku lemas.
“Tapi tunggu dulu, kenapa kamu mempermasalahkan hal ini? Kau kan termasuk penerima beasiswa? Jadi besaran UKT-mu sudah murah, lantas mengapa masih menuntut UKT murah?” Aku tersentak dan terheran-heran, darimana dia tahu besaran nominal UKT-ku?
“Jangan begitu. Ini namanya empati yang tidak dikaruniakan Tuhan kepada kita, para benda mati. Aku masih ingat ketika dia dan temannya menunggu datangnya dosen. Lantas temannya mengeluh kesulitan mendapat nominal UKT yang murah, padahal termasuk golongan menengah ke bawah.” Terimakasih, bangku belakang memang sahabat terbaik yang membelaku bahkan sebelum aku membuka mulut. “Lanjutkan Nak, tak sedikit orang yang apatis ketika berada di zona nyaman. Terkadang seseorang memikiran dirinya sendiri. Lantas abai terhadap permaslahan orang lain.”
“Oke, kembali tentang keadilan di kam..”
“Sudahlah Nak, untuk mewujudkan apa yang kau sebut keadilan itu, aku agak ragu.” Ujar sebuah bangku lainnya yang memotong pembicaraanku, “Pasalnya, tidak banyak mahasiswa yang menggunakanku dengan serius untuk menimba ilmu. Jika kau berbicara tentang mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk mengenyam perguruan tinggi. Pada saat yang sama, juga banyak yang menyia-nyiakan kesempatan emas pada saat duduk di bangku kuliah.”
“Itu benar, bisakah seseorang merubah sesuatu tanpa serius menimba ilmu? Paling-paling hanya gembar-gembor di status Whats App. Ingin mengubah sesuatu tanpa paham pendekatan metodologis dan tanpa dasar teori yang kuat. Itu sama aja misuh ‘jancuk’ tanpa pernah tahu di mana akar permasalahan yang harus dicabut. Kalau sudah begitu, jangan bicara omong kosong semacam keadilan!”
“Lantas apa yang harus kulakan?” Ucapku yang tiada berdaya dikritisi oleh benda-benda seisi ruang kelas sejak tadi.
“Mana saya tahu, saya kan cuma remot LCD Proyektor! Kamu kan manusia yang diberi akal. Mengapa kau malah menanyakan hal itu kepada kami yang tak berakal. Apa kau sudah gila?”
Ah benar juga! Ini tantangan bagiku yang mempertanyaan hal tersebut. Tak arif rasanya hanya mempertanyakan keadilan tanpa membuka buku, berletih-letih membaca jurnalnya dosen, memperbanyak diskusi di warung kopi, dan mengurangi chatingan dengan gebetan. Ah iya, kenapa juga aku bertanya kepada benda mati? Kenapa juga aku dapat berbicara dengan mereka? Mungin aku sudah gila karena terlalu lama dikarantina. Nampaknya aku harus mencari psikiater setelah ini.[]
Penulis: Muhammad Habib Muzaki | Studi Agama-Agama | mordovamy.blogspot.com
Editor: Achmad Fauzi Nasyiruddin
[1] Istilah lain untuk yang merujuk pada kegiatan pengenalan budaya di dalam kampus atau yang biasa dikenal dengan OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus).