Reporter: M. Akbar Darojat Restu Putra
Editor: Adi Swandana E. P.
Adanya acara pernikahan menjadi sebab dari pelaksanaan pertunjukan di akhir pekan. Meski harus diundur sehari, pentas “Simulakra” tetap digelar demi target yang dikejar dan kerja keras yang harus terbayar.
FORMA (11/07) – Jalanan menuju Gedung Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA) di malam hari Minggu (09/07) tampak lengang. Tiada satu pun manusia terlihat di jalanan itu. Angin berdesir menyapa pohon yang berderet di seberang Auditorium. Malam itu suasana di sekitar Auditorium terasa dingin, mencekam dan menggetarkan.
Puluhan sepeda motor dan dua mobil berjejal memenuhi muka Auditorium. Tanda banyak orang yang berada dalam gedung itu. Hanya ada dua hingga tiga orang berada di luar, seolah sedang menikmati gelapnya malam. Rembulan di malam itu memang tampak pelit menyiramkan sinarnya.
Di dalam Auditorium suasana semakin gelap. Tiada satu pun lampu yang dihidupkan. Sekitar lima hingga enam orang tengah duduk nyaman di bangku pintu masuk.
Salah seorang menyarankan untuk masuk ke dalam tempat berbentuk persegi berdinding kain di tengah ruangan gedung itu. Kain tersebut berwarna hitam yang seolah ikut mempertegas suasana di malam itu. Terdapat sekelompok orang yang mengisi tempat tersebut sambil duduk bersila menghadap sebuah panggung di hadapan mata. Mereka jelas sedang menunggu sesuatu.
Lampu mulai dihidupkan. Hanya panggung saja yang mereka sorot oleh lampu itu. Dua perempuan yang berada di panggung mengabarkan bahwa pertunjukan Teater-20 yang bertajuk “Simulakra” akan segera digelar. Mereka mencoba beramah-tamah kepada penonton sembari menceritakan sekelumit isi dari Simulakra tersebut.
Selagi menunggu pertunjukan dimulai, penonton menyantap makanan ringan yang dihidangkan oleh panitia sembari mengepulkan rokok hingga berbatang-batang. Dua perempuan itu mulai meninggalkan panggung dan kemudian masuk seorang laki-laki untuk tampil di muka umum. Dengan monolog layaknya seorang orator yang melakukan pengakuan dosa, laki-laki itu membuka pertunjukan Simulakra. Namun, suara yang dikeluarkan laki-laki itu makin lama makin lirih dan kemudian lenyap.
Sekonyong-konyong dua laki-laki gondrong memakai baju hijau masuk panggung bersamaan dengan denting suara musik pertunjukan yang menggetarkan, mengagetkan dan menyayat hati penonton. Mereka berdialog dengan tatapan muka yang serius sembari memainkan tiga tong yang tergeletak di tengah panggung. Mata penonton terhisap oleh pertunjukan mereka.
Sekitar lima belas menit kemudian, dua laki-laki lain masuk panggung. Yang satu berbaju putih dengan kepala terpasang televisi, sedangkan yang kedua dengan baju yang sama juga terpasang roll film di kepalanya. Mereka berempat kemudian memainkan pertunjukan dengan penuh khidmat, antusias dan totalitas. Pertunjukan mereka semakin menarik dengan dukungan penataan cahaya yang sesuai dan alunan musik yang mengarungi suasana.
Dua puluh menit kemudian, lampu panggung mati dan mereka berempat membisu. Semua orang kemudian bertepuk tangan dan lampu kini berganti menyorot penonton. Pertunjukan Simulakra pun telah selesai digelar dan tampaknya cukup memuaskan hati para penonton kala itu.
Tak Berniat Memilih Hari Minggu
Andi Suwarko, Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) yang hadir dalam pertunjukan tersebut beserta istri dan dua anaknya turut mengapresiasi karya dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater-20 ini. Ia hadir dalam acara tersebut karena selain diundang oleh pihak Teater-20 sendiri, juga ingin memotivasi karya-karya yang dihasilkan oleh Organisasi Mahasiswa (ormawa) yang di bawah naungan fakultas.
Namun, ia sebenarnya menyarankan bahwa pertunjukkan tersebut lebih baiknya dapat diselenggarakan di hari efektif saja, bukan hari libur. “Pertunjukan Teater-20 ini alangkah baiknya diadakan di hari efektif agar banyak mahasiswa, dosen pecinta seni atau bahkan pimpinan fakultas yang menonton”, kata Andi ketika diwawancari oleh kru LPM Forma. Sayangnya, Andi tak tahu persis mengapa Teater-20 memilih hari libur untuk pertunjukannya.
Sementara itu, Ketua UKM Teater-20, Muhammad Aji Setyawan menegaskan bahwa sebenarnya Teater-20 tak pernah berniat memilih hari Minggu untuk mementaskan pertunjukannya. Teater 20 sebenarnya mengajukan hari Jumat atau Sabtu kepada pihak Pusat Bisnis (PUSBIS) UINSA. Namun, pihak PUSBIS mengatakan bahwa hari Sabtu Gedung Auditorium akan dipakai untuk acara pernikahan dan meminta mereka (Teater-20) untuk mengundurkan acara pada hari Minggu.
Lantaran undangan sudah tersebar, mereka (Teater-20) mencoba untuk bernegosiasi kepada pihak PUSBIS. Sayangnya, pihak PUSBIS sendiri justru menegaskan bahwa acara mereka tak akan berjalan kalau mereka tak mau mengundurkan acaranya di hari Minggu. Alhasil, pihak Teater-20 sendiri akhirnya harus berlapang dada, sebab acaranya harus diundur satu hari dari waktu yang sudah direncanakan sebelumnya.
Aji pun juga mengakui bahwa memilih hari libur sebagai waktu pelaksanaan acaranya karena memang ingin mengejar target dari UKM Teater-20 sendiri. “Sepertinya kita (Teater-20) sudah proses dua bulan, tapi untuk pemolesannya itu, kita start pas anak-anak UTS (Ujian Tengah Semester),” ujar Aji ketika diwawancarai kru LPM Forma seusai acara.
Proses Yang Tak Mudah
Aji mengatakan bahwa pertunjukan ini digelar demi menyambung silaturahmi antar teater se-Indonesia, khususnya teater se-Jawa Timur. Sutradara sekaligus penulis naskah Simulakra tersebut turut menyatakan bahwa Teater-20 melalui pertunjukan ini membawa tajuk tentang revitalisasi yang bermaksud menggiatkan kembali produktivitas dalam berkarya. Ia pun mengakui bahwa ide dari kepenulisan naskah mengenai tema ini telah tebersit dalam dirinya sejak ia menginjak semester dua.
Saat itu ia merasa bahwa tema ini menarik untuk ditulis dan dipentaskan. Karena itu, ia banyak membaca artikel, jurnal dan berbagai referensi lainnya yang menjelaskan terkait tema ini. “Simulakra itu maksudnya sendiri adalah simulasi. Jadi, di era 5.0 seperti sekarang ini kemajuan teknologi bisa memudahkan sekaligus menghancurkan manusia sebagai penciptanya,” jelasnya.
Aji mengakui bahwa proses yang ditempuh oleh rekan-rekan Teater-20 untuk membuat pertunjukan Simulakra tak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sempat merasa pusing dengan tema yang akan diangkatnya. Belum lagi dengan adanya beberapa divisi di Teater-20 yang tak berjalan. Sehingga, ia meminta divisi lain untuk menutup kinerja dari divisi yang tak berjalan itu.
Walaupun sudah mementaskan pertunjukan ini, Aji tetap merasa bahwa masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Saya mengharapkan bahwa pertunjukan teater selanjutnya akan lebih baik dari sekarang. “Semoga Teater-20 semakin maju dan produktif dalam berkarya, baik melalui seni teater maupun lainnya”, harapnya.