Penulis: Zamzam Qodri
Editor: Azilatul Husna

Herman adalah seorang laki-laki yang di penjara karena tuduhan pelecehan kepada kekasihnya, Ratna. Herman menganggap dirinya tidak salah, karena ia hanya menuangkan hasrat seksualnya pada kekasihnya.
“Apa salahku hingga aku dikurung di tempat mengerikan ini? Dia kekasihku? Apakah aku salah jika aku ingin bercinta dengan kekasihku?” ujarnya pada salah satu kepala penjara.
“Kau ditahan dulu, sampai datangnya bukti bahwa kau memang tidak bersalah. Seret dia ke sel!” kata kepala penjara pada anak buahnya. Mendengar itu, Herman sangat kesal dan marah. Ia digeret oleh anak buah kepala penjara dengan muka memerah dan memberontak seperti anak kecil ingin beli eskrim, namun tidak dibelikan lantaran batuk.
Singkat cerita Herman meratapi nasibnya dalam penjara. Tak jarang ia marah habis-habisan. Jeruji besi dan tembok penjara menjadi sasaran amukan Herman. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya seorang NAPI (Narapidana). Bukan hanya itu, amarahnya muncul juga karena kondisi penjara yang mengerikan ditambah satu teman yang tak akan pernah bisa diajak bicara alias gila. Hari-harinya dipenuhi dengan amarah yang tak terkendali. Hingga suatu hari, dimana si gila akhirnya mengangkat suaranya,
“Hahaha…Sekarang anda menjadi jamaahku, jamaah orang gila, hahaha..” ujar si gila pada Herman.
“Heh.. Gila! Diam kau. Kau mana mengerti penderitaanku” balas Herman.
“Hei anak muda.. Kau jangan remehkan aku! Kau kira aku gila seperti orang yang bebal? Kau kira aku gila lantaran kehilangan harta benda duniawi? Tidak sama sekali. Aku gila lantaran cinta, anak muda! Aku sangat mengerti apa yang kau sebut penderitaan,” kata si Gila.
Mendengar itu Herman terdiam sejenak. Sampai si Gila tersebut melanjutkan kembali perkataannya.
“Kau kan masih muda, mengapa cintamu lemah? Mengapa akalmu tak bisa membawa pada hakikat cinta? Kau ini bodoh sekali! Yang kau sebut penderitaan, sebenarnya ia adalah rindu.”
“Bagaimana bisa begitu?” tanya Herman pada si Gila.
“Hmmm..Dari sekian orang yang ada di penjara bersamaku, hanya kau sepertinya yang akan mendapat pelajaran dariku, kau muridku, hahaha..” tawa bahak si Gila. Mendengar itu, Herman kembali kesal, namun kini ia hanya kesal pada si Gila itu. Dengan keras ia mengangkat kerah baju yang si Gila pakai. Ia sandarkan si Gila ke tembok.
“Hai, Gila! Jangan pernah bermain-main denganku. Aku akan bisa gila darimu jika kau bermain-main denganku, aku bisa membunuhmu” kata Herman dengan sangat marah.
“Cepat katakan bagaimana bisa kau menyebut penderitaanku sebenarnya itu rindu? Katakan yang sebenarnya! “
” Heh, Anak muda! Jika kau ingin mendapat pelajaran, jangan memaksa gurumu mengajar dong. Aku akan mengajar jika sudah jadwalnya, hahaha”
mendengar hal itu semakin bertambah kesal-lah si Herman pada si Gila. Namun, ia tak menambah tindakannya, ia tetap konsisten mengangkat krah baju si Gila. Sebelum si Gila kemudian melanjutkan ucapannya.
“Heh, Anak muda, ayo lepaskan aku! Kau ini terlalu kasar. Ooo… Aku tahu. Pantas saja kau dipenjara, kau kasar sih, hahaha..” tawa bahak si Gila kembali membakar pendengaran Herman. Hingga dengan spontan, Herman melepaskan genggamannya dan mendorong si Gila hingga tersungkur. Dan terjadilah perkelahian yang hebat. Aksi saling pukul dan saling menendang satu sama lain pun tak terelakkan. Hal ini membuat penjara terdengar bising sampai kantor dimana polisi penjara bekerja. Kemudian, salah satu polisi menghampiri mereka dan memarahi mereka.
“Heh, kalian berdua! Bisa diam tidak? Kalian mau disiksa? Hah?” mendengar ucapan polisi tersebut mereka berdua menghentikan tindakannya sampai polisi tersebut kembali ke kantornya. Namun tak berhenti disana, dari adu fisik berubah ke adu mulut. Kali ini si Gila yang memulainya.
” Jika kau bisa mengatakan bahwa jika aku mempermainkanmu kau bisa lebih gila dariku dengan membunuhku. Aku sudah gila sebelum kau ingin menjadi gila, Anak muda. Aku tentu juga bisa lebih gila daripada kegilaanmu membunuhku. Kau tahu apa yang akan aku perbuat? Ya… Aku akan menghantuimu, hahaha..”
“Heh, Gila! Diamlah! Aku tak ingin berdebat denganmu. Rupanya kau tak mengerti juga penderitaanku.” ujar Herman yang tadinya marah besar, kini berubah menjadi tangisan. Ia menangis lebih keras dari sebelumnya. Ia merasa tak akan ada yang mengerti apa yang ia alami. Dan ia pun kembali merasa kesepian. Berbeda dengan Herman, si Gila malah tertawa terbahak-bahak. Sama seperti Herman, tawanya kini lebih keras dari sebelumnya. Kemudian ia berkata,
“Hahaha.. Aku senang jika kau menangis begini, hahaha.. Heh, Anak muda, karena sudah jadwalku mengajar sudah tiba, maka akan aku katakan bagaimana aku menyebut penderitaanmu dengan kerinduan. Kau tahu orang sakit?” tanyanya pada Herman. Mendengar pertanyaan tersebut, Herman mengangguk tanda ia memberi jawaban iya atau sepakat. Sebelum kemudian si Gila melanjutkan perkataannya.
“Kebanyakan orang sakit mengatakan bahwa ia menderita karena sakit yang ditimpanya. Padahal ia sebenarnya sedang mengalami kerinduan akan kesehatannya. Orang miskin yang menangis karena kekurangan, ia sebut dirinya menderita, padahal ia sedang mengalami kerinduan pada kecukupan harta benda. Mahasiswa yang terlihat lesu dan menangis karena beratnya tuga-tugas yang mereka peroleh, mereka anggap itu penderitaan padahal ia sedang rindu akan kenikmatan kecerdasan. Pekerja yang mengeluh lantaran berat pekerjaannya di luar rumah, mereka sebut menderita, padahal mereka merindukan kepulangan mereka pada keluarga mereka. Sekali lagi apa yang kebanyakan orang sebut penderitaan, bagiku sebenarnya ialah kerinduan. Sama halnya orang tua di desa yang mengeluh dan menangis, ia tak pernah menganggap dirinya menderita lantaran kecil dan sepinya gubuk yang ia tempati, tetapi ia mengeluh dan menangis lantara rindunya ia pada anak-anaknya yang terlempar jauh ke tanah orang demi mencari sesuap nasi. Kau paham kan apa yang kukatakan, Anak muda? ” tanya si Gila. Dan si Herman kembali menganggukkan kepala.
“Bagus!” lanjut si Gila,
“Sama halnya seperti kau, Anak muda. Yang kau alami bukanlah penderitaan, kau hanya rindu pada kebebasanmu. Kau hanya rindu dengan apa yang kau akan lakukan setelah kau bebas dari sini.” terang si Gila dengan lugas.
“Lalu aku sekarang harus bagaimana, Pak?” ujar Herman dengan serius.
“Rupanya kau aktif juga dikelasku, hahaha.. Baiklah. Sekarang jadilah sepertiku, menjadi seorang pecinta. Rindu bisa dirasakan semua orang, tapi hanya bisa dinikmati oleh pecinta. Maka berbahagialah dengan pemberian cinta padamu, termasuk macam-macam rindu yang sudah kujelaskan padamu tadi. Apakah kau siap, Anak muda?” tanya si Gila. Herman awalnya masih ragu dengan pernyataan si Gila. Tapi setelah dipikir-pikir, ia lama-lama membenarkan apa yang dikatakan si Gila.
‘Menjadi gila terkadang juga dibutuhkan bagi orang yang hidup dalam kesengsaraan lantaran buruknya pikiran seseorang tersebut terhadap kenyataan’ gumam dalam hati Herman. Setelah itu ia menyatakan bahwa ia siap menerima tawaran si Gila untuk menjadi pecinta.
“Baik, Pak. Aku siap menjadi bagian dari jamaahmu, jamaah orang gila, hahaha… ” ucap Herman yang membuatnya dan si Gila tertawa terbahak-bahak bersama dalam penjara. Dan merekapun bahagia sampai waktu yang telah ditentukan.